Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Armor: Bubat

1357 M, Majapahit|1256 Words

Aura berlari. Mengayunkan pedangnya cepat. Menyerang ke depan, ke samping, berkelit, lalu berputar. Menebas lagi.

Peluh membanjiri pelipisnya. Napasnya memburu dan darah mulai memenuh zirah yang dia kenakan.

Aura berlutut di tanah dengan pedang ditancapkan di sebelah lututnya yang ditegakkan dengan napas terengah-engah. Menelisik sekitar yang masih kacau. Menatap beberapa mayat yang bergelimpangan setelah ditebasnya dengan pedang. Bibirnya bergetar. Aura meneguk ludah getir, menatap telapak tangannya yang berlumuran darah. Wajahnya yang kumal tertutup debu.

Lihat. Dia bukan lagi Aura. Dia hanya monster pembunuh.

"Dewi! Awas!"

Aura menoleh ke belakang sambil memejamkan mata.

Gajah Mada terengah-engah. Untung ia bergerak cepat ketika menangkap seseorang mendekati Aura siap menikamnya. Jika terlambat sedikit, mungkin hal buruk yang sama sekali tidak pernah ingin dia bayangkan akan terjadi pada gadis itu.

"Fokus, Dewi!" teriaknya kemudian membantu Aura berdiri.

Aura hanya diam, berdiri, dan mencabut pedangnya lagi. Mereka berdiri saling membelakangi.

"Sudah kubilang jangan mati," ucap Gajah Mada sambil menatap ke depan tajam. "Tidak akan kubiarkan kau meninggalkanku sendiri."

Aura terkekeh sumbang sembari menundukkan kepalanya. "Pria bodoh," umpatnya.

Gajah Mada maju ke depan, mengadu pedangnya dengan pedang tentara musuh, berkelit ke samping, setelahnya melompat dan menebaskan pedangnya, lalu kembali ke posisinya tadi.

"Untukmu, bahkan aku rela jadi pria gila, Dewi."

Aura tertawa kemudian menggelengkan kepalanya. Memang terlihat sangat tidak etis tertawa dalam keadaan perang. Namun, kalimat Gajah Mada benar-benar menggelitiknya di tengah besarnya rasa bersalah yang Aura pikul.

Aura bergerak ke depan, mengelak ke samping ketika seorang tentara menyerangnya. Kembali mengelak ke sisi lain ketika si tentara menyerangnya lagi. Lalu menebas pedang ke samping ketika dari arah lain tentara lain datang. Berkelit ke kiri setelah yang tadi tumbang guna menghindari serangan baru. Aura menebaskan pedangnya. Mengadunya di sana sehingga terdengar bunyi dentingan kuat.

"Argh!" Aura terdorong ke samping ketika seseorang dari sisi lain berhasil menggores bahunya sangat dalam. Aura berusaha kembali berdiri tegap, menyeimbangkan tubuhnya. Lalu menghunuskannya ke depan ketika tentara yang tadi mencoba menyerangnya, menyerang kembali. Belum selesai Aura kembali ke posisi semula, tangannya kembali bergerak menebas lincah ke sisi lain, menjatuhkan setiap Balamati yang hendak menyerangnya. Namun, agaknya kecepatan dan ketepatan Aura sedikit meleset ketika tiba-tiba saat Aura mengadu pedangnya dengan pedang prajurit lain, dari belakang seseorang menebas punggungnya.

Aura terdorong ke depan beserta darah yang seketika menyembur dari mulutnya. Tubuhnya tiba-tiba terasa remuk dan rasa sakit seketika menjalar setelah beberapa saat sampai akhirnya luka itu mengalirkan darah deras.  Aura sempoyongan masih berusaha menahan bobot tubuhnya yang tiba-tiba kehilangan kendali. Kakinya seperti tidak memiliki tenaga.

Aura hendak berputar ke belakang sembari mengayunkan pedangnya, hanya saja gerakannya jadi sedikit melambat dan prajurit tadi kembali lebih dulu menyambar dadanya dengan tebasan pedang.

"AURAAA!"

Gajah Mada yang melihat Aura dalam keadaan seperti itu langsung berlari menghampirinya setelah berhasil mengalahkan Anepaken dan beberapa prajuritnya. Langsung saja dia menyerang prajurit-prajurit yang ada di sana, mengayunkan senjatanya tanpa ragu, lalu setelah semua prajurit berhasil dikalahkan, Gajah Mada segera berlari menghampiri Aura yang tergeletak lemah di tanah.

"Dewi!" pekiknya langsung bersimpuh di tanah dan membawa kepala Aura ke dalam dekapan. "Kau harus bertahan. Kau harus bertahan, Dyah Aura. Bukankah sudah kubilang jangan mati di sini. Kau dengar?"

Aura meringis, kemudian terkekeh pelan sebelum akhirnya tersedak darah yang kembali mengalir dari mulutnya. "Maafkan aku—"

"Tidak. Jangan bicara apa pun. Kita sudah menang. Mereka sudah kalah, Dewi. Kita hanya perlu kembali ke Majapahit."

Gajah Mada mengulum bibirnya, lalu bersiap hendak mengangkat tubuh Aura. Namun, Aura menahan dada Gajah Mada, setelahnya terbatuk beberapa kali. "Katakan—pada Paduka—aku—uhuk—uhuk. Aku—minta maaf. Aku—pantas dicap sebagai penghianat—uhuk-"

"Tidak! Kubilang jangan bicara lagi!" Gajah Mada semakin panik. "Kau sudah janji akan memberikan perasaanmu padaku jika perang berakhir. Lihat, pertempurannya sudah berakhir, Dewi!"

Aura tersenyum kecil, setelahnya sedikit meringis. Tubuhnya semakin mati rasa dan kesadarannya perlahan mulai menghilang. Jadi ... apa dia akan berakhir di sini?

Aura mengangkat tangannya yang sudah lemah, berusaha meraih wajah sang Amangkubhumi. Gajah Mada dengan cepat menangkap tangan kecil yang lemah itu. Tangan kecil yang penuh luka dan kasar karena terlalu sering memegang pedang. Tangan yang selalu Gajah Mada harapkan agar kembali kokoh dan kuat. Memegang pedangnya dengan gagah berani lagi. Menatapnya dengan penuh rasa percaya diri.

Tidak apa jika ia harus berakhir di sini. Dianggap sebagai provokator dan namanya tidak akan pernah dikenang. Aura rela jika semua itu terjadi karena memang itulah dia saat ini. Dia ... memang benar-benar bajingan. Dia ... pantas untuk semua ini. Untuk memanfaatkan perasaan Hayam Wuruk padanya. Untuk meragukan kepercayaan Gajah Mada. Untuk kedamaian Majapahit. Dan untuk orang-orang Pajajaran dan Bhayangkara yang harus gugur di sini. Bahkan ... Aura rasa nyawanya saja tidak cukup untuk menebus semuanya. Meski dia harus mati beberapa kali pun, Aura rasa semuanya tidak akan pernah terbayar lunas.

"Aku—orang jahat, Patih," rintihnya. Sesak. Napas Aura semakin terasa sesak dan udara semakin menipis. Pandangannya mulai memburam.

"Tidak! Tidak, Dewi! Kau bukan orang jahat." Gajah Mada meraung. Perih. Dadanya perih. Bahkan ... meski dia adalah pendekar tersohor yang sudah banyak melewati asam garam dunia ini, Gajah Mada tetap tidak bisa mengendalikan perasaannya ketika seseorang yang begitu berarti berada di ambang kematian. Di depan matanya. Di dalam dekapannya. Terlihat begitu lemah dan kesakitan sementara dia tidak bisa melakukan apa pun.

Aura lagi-lagi tersenyum lembut. Jika dia berada di masa depan, mungkin orang sepertinya sudah lama dibuang. Tidak akan ada yang peduli dan akan terus dicibir dan dicap buruk. Dianggap menjijikkan dan tidak akan ada yang sudi melihatnya lagi, malahan mereka akan menyumpahinya supaya cepat mati. Tetapi ... semenjijikkan apa pun Aura, sejahat apa pun perbuatannya, sebanyak apa pun nyawa tak berdosa yang Aura hilangkan hanya karena kecerobohannya, pria ini tetap saja berdiri di sisinya. Menerimanya. Mengatakan berulang-kali jika itu semua bukan sepenuhnya salah Aura. Mengatakan bahwa Aura adalah orang yang baik. Mendekapnya. Bahkan memintanya untuk terus hidup karena dia berharga.

Apa ... cinta memang semembutakan itu? Apa ... memang karena cinta Gajah Mada tidak bisa melihat keburukan Aura? Tetapi, Gajah Mada adalah Mahapatih negeri ini. Orang cerdas yang bisa meninjau dari banyak perspektif. Dan kenapa pula dia tetap mempertahankan Aura bahkan hingga saat ini? Sebesar itu kah perasaannya? Aura memang merasa dia dan hidupnya tidak berguna. Tetapi, sudut hatinya punya kata lain yang setidaknya ... sebelum Tuhan benar-benar mempertemukannya dengan ajal, dia harus mengatakannya pada pria ini. Bahwa ... "Aku—mencintaimu, Gajah Mada."

Dan terakhir, seiring dengan helaan napas lembut yang mengudara, erangan Sang Mahamantri Mukya Rakryan Mapati Gajah Mada menggema, membelah belantara Pasanggrahan Bubat bersamaan dengan burung-burung beterbangan dan daun berguguran. Sudah terbenam mentari yang pernah bersinar terang, layu bunga yang pernah mekar. Jantungnya remuk bersamaan dengan raga yang redam. Semua sendi nadinya melemah, bersamaan dengan pulangnya arwah sang pujaan kepada Sang Hyang. Meninggalkannya bersamaan dengan luka pilu dan hati yang berdarah-darah.

Gajah Mada akhirnya mendapatkan balasan atas perasaannya, bersamaan dengan helaan napas terakhir Dyah Aura; kekasih terkasih yang hanya meninggalkan cinta tanpa raga.

"Ke mana pun kau pergi, demi Sang Hyang Widhi aku bersumpah akan menemukanmu lagi, Dyah Aura. Dan jika saat itu tiba, tidak akan kubiarkan kau pergi, bahkan barang selangkah pun." [ TAMAT ]

Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot
\(*°-°*)/

Yeay! Alhamdulillah akhirnya tamat.

Apa kabarnya setelah sampai di sini?

Terimakasih sudah baca hingga ke titik ini kalian semua. Aku sayang kalin /send hug and love ( ˘ ³˘)♥

Ngomong-ngomong waktu aku nulis ini langitnya lagi nangis kencang, makanya aku kebawa suasana. Buuuut, its okey. Ini ending yang bahagia kok ^^ //plak

Mau epilognya pas lebaran aja apa gimana? Sekalian buat THR?

Insyaallah nanti bakal kukasih extrachap juga. Eum—kira2 dua chapter? Ya ... Segitulah. Semoodnya May aja. Wehehe //dilempar batu.

Mau bilang sesuatu gak buat tokoh-tokoh hebat di sini?

Hayam Wuruk

Dyah Aura

Gajah Mada

Putri Nertaja

Eum—siapa lagi?

Oh iya, buat May juga boleh kok. Di sini ya ^^

Okey, segitu aja. See you soon. Wuff you guys ꒰⑅ᵕ༚ᵕ꒱˖♡

Wet Kiss,

May

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro