20. Dosa Karma
1357 M, Majapahit|1306 Words
Aura memacu kudanya cepat. Setelah mengganti pakaiannya dengan baju zirah, tidak membuang waktu dia segera menuju ke Pasanggrahan Bubat.
Bukan yang seperti ini yang Aura inginkan. Dia hanya ingin kedamaian dan menghentikan pertumpahan darah, bukan sebaliknya. Aura kira Gajah Mada akan tetap pada keputusannya mengingat wataknya yang keras. Aura sama sekali tidak menyangka jika pria itu akan mendengarkan pendapatnya.
Tidak. Aura sama sekali tidak bisa menyalahkan Gajah Mada atau Hayam Wuruk. Ini semua adalah salahnya. Jika saja dia bisa sedikit mempercayai Gajah Mada, dan jika saja ia tidak lekas-lekas mengajukan permohonan hanya karena dia datang dari masa depan dan tahu seperti apa sejarahnya, mungkin ini tidak akan terjadi. Sekarang Aura sadar jika dia hanyalah gadis bodoh. Coba dia tidak menghindari Gajah Mada, dan coba saja dia tidak sok tahu tentang sejarah padahal dia sama sekali bukan orang yang suka sejarah. Aura bodoh.
Aura meneguk salivanya berkali-kali. Dia tahu ini sudah cukup lama dari waktu keberangkatan Gajah Mada dan Aura hanya bisa berharap hal-hal buruk belum terjadi atau setidaknya ... Gajah Mada menolak perintah Hayam Wuruk.
Aura mengusap air matanya yang jatuh sedikit demi sedikit. Bagaimanapun ... jika Perang Bubat benar-benar terjadi, maka dia adalah orang yang harus disalahkan atas semuanya. Dia yang memohon pada Hayam Wuruk untuk menolak apa pun pendapat Gajah Mada. Dia yang sok hebat ingin merubah sejarah. Dan dia adalah penyebab semua ini terjadi. Dan jika akhirnya sejarah tidak pernah berubah, maka Aura pantas dimasukkan sebagai oknum pemicu runtuhnya Majapahit.
"Tuhan. Sekali ini aja tolong bantu hamba." Aura memejamkan matanya, masih memacu kudanya secepat mungkin.
Aura tidak yakin dia akan datang tepat waktu, tapi dia berharap keajaiban itu benar-benar ada. Setidaknya untuk kali ini Aura benar-benar berharap semuanya akan baik-baik saja.
Aura menarik tali kendali kudanya, membuat si kuda berhenti mendadak.
Jantungnya tiba-tiba berdegub hebat dan tubuhnya seolah-olah kehabisan daya ketika di langit depan sana asap-asap membubung tinggi. Aura mematung di tempatnya dan seketika matanya memanas. "Tolong ... pasti bukan apa-apa."
Aura menarik napas, lalu melajukan kudanya lagi. Semakin lama, asap-asap semakin tebal. Semakin dekat, semakin terdengar suara besi beradu disertai teriakan-teriakan dan erangan-erangan kesakitan. Aura membekap mulutnya di tempat dengan air mata yang mengalir deras.
Perang ... sudah terjadi.
Aura meraung di atas pelana kudanya. Bukan seperti ini yang dia harapkan. Lihatlah semua ini adalah kesalahannya. Hasil kecerobohannya. Aura tidak yakin, tapi dia mulai berpikir jika kegagalannya di masa depan adalah bentuk penebusan dosa-dosanya di masa lalu. Mulai dari Mama-nya yang meninggal, dibenci dan dijauhi teman-temannya saat kecil, hingga kegagalannya masuk timnas. Apa ... itu semua karmanya?
Aura harus menghentikan ini semua. Dia harus menghentikannya, dan jika dia tidak bisa melakukannya, maka atas dosa-dosanya pada Majapahit, dia akan memberikan nyawanya untuk negeri ini. Majapahit ... tidak seharusnya runtuh seperti ini. Hayam Wuruk masih harus menjadi raja dengan negeri yang makmur dan Gajah Mada masih harus menjadi Patih yang dihormati.
Aura menghapus air matanya, menarik pedangnya dari sisi pinggang, kemudian memacu kudanya lagi. Jika dia tidak bisa menghentikan perang ini dan malah menjadi penyebabnya, maka sebagai Bhayangkara, Aura akan berperang untuk Majapahit dan sebagai penebusan dosanya atas Pajajaran, Aura akan mengikuti Balamati yang gugur meski Aura harus berakhir di ujung pedang mereka.
Aura melompat dari kudanya, segera mengayunkan pedang ke depan ketika seorang pasukan menyerangnya. Aura mematung di tempat, menatap lumuran darah dan mayat Pasukan Balamati yang tergeletak setelah ditebasnya, dan tiba-tiba semua dunianya jadi berhenti.
Apakah begini akhirnya? Bukannya menghentikan perang, Aura malah menghabisi nyawa mereka dengan tangannya sendiri. Aura ... tidak lebih dari bajingan brengsek. Penjahat kejam. Pembunuh biadab.
Ya, pembunuh biadab. Dia bukan pendekar. Dia hanyalah pembunuh.
Aura terjatuh bersamaan dengan pedangnya yang terlepas. Kemudian bersimpuh di tanah sementara orang-orang sibuk berteriak dan mengadu pedang di sekelilingnya. Semuanya terlihat bergerak cepat tanpa suara.
Pedang yang beradu, asap dan jelaga membunbung, saling tusuk, saling pukul, darah menebar ke mana-mana, korban-korban mulai berjatuhan, tenda-tenda porak-poranda, dan yang paling menyesakkan, Aura tidak bisa melakukan apa-apa.
"Lo begok, Aura!" rutuknya kemudian meremat kepala. Aura akui dirinya hanyalah gadis bodoh yang sok tahu. Sok paling benar dan lihat apa yang terjadi sekarang.
"DEWI!"
Aura terguling ke samping ketika seseorang mendorongnya kuat. Lalu setelahnya tubuh prajurit yang mulutnya menyemburkan darah beserta mata membelalak ambruk ke tempatnya tadi.
Gajah Mada dengan raut panik menghampiri Aura, membantunya untuk duduk. "Kenapa Dewi bisa ada di sini?" tanyanya menggebu-gebu.
Aura menatap wajah Gajah Mada. Mengamati wajah yang penuh jelaga dan darah itu. Bahunya mengalirkan darah diikuti dengan bagian dada yang juga tampak basah penuh cairan merah. Aura tiba-tiba merasa sesak dan mau tidak mau, air matanya kembali mengalir. "Bagaimana mungkin aku bisa tetap di rumah ketika sudah menyebabkan kekacauan ini," ujarnya parau.
"Dewi-"
"Ini semua salahku, Mahapatih. Semua ini karena aku." Aura memukul-mukul dadanya yang terasa nyeri. Membuat Gajah Mada semakin panik.
"Ini bukan salah Dewi," ucapnya. "Berhenti memukuli dirimu."
Aura menggeleng. "Tidak. Ini semua salahku. Jika aku tidak meminta Paduka untuk menolak apa pun permintaanmu, mungkin ini tidak akan terjadi. Aku terlalu besar kepala sampai-sampai menganggap diriku yang paling benar. Ini semua ... salahku, Mahapatih."
Gajah Mada terdiam. Ada sedikit denyutan di sudut hatinya ketika mengetahui gadis yang sangat dicintainya meragukan dirinya. Namun, Gajah Mada tidak bisa berbohong jika perasaannya lebih sakit lagi ketika melihat Aura yang seperti ini. Aura yang sangat kuat bisa jadi terlihat serapuh ini. Sehancur ini. "Ini semua bukan hanya salahmu, Dewi. Bukan salahmu semuanya. Ini juga kesalahanku yang tidak bisa melakukan apa pun."
Gajah Mada mengusap air mata Aura. Namun, belum selesai tangannya menyeka air mata gadis itu, Aura segera menarik tubuh Gajah Mada ke samping, membuatnya menghindar ketika seorang prajurit mendekati mereka dengan keris yang terarah ke jantung Gajah Mada dari belakang. Aura mengerang di tempat. Dia memang berhasil menyelamatkan Gajah Mada, tetapi dia tidak berhasil menyelamatkan dirinya sendiri.
Keris itu menancap ke bahunya, membuat darah menyembur seketika disertai erangan Aura.
"Dewi!" Gajah Mada yang baru sadar mereka diserang segera berdiri menghunuskan kerisnya pada prajurit yang kelihatan juga terkejut itu.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir menyelidiki tubuh Aura yang terluka. "Dewi kau harus pergi. Di sini berbahaya."
Aura menggigit bibirnya, kemudian mencabut keris yang menancap di bahu kirinya itu dengan berusaha keras menahan rasa sakitnya. Setelahnya dia merobek sudut jariknya, melilitkannya ke sana. Lalu menggeleng tegas dan berdiri. "Aku tidak bisa jadi lebih pecundang lagi, Mahapatih. Aku ... harus menebus dosaku."
Gajah Mada menatap Aura gusar. "Dewi-"
"Aku lebih baik berakhir di sini dari pada harus hidup menanggung rasa bersalah, Mahapatih." Aura menatap Gajah Mada lurus.
Di luar dugaan. Aura kira Gajah Mada akan memarahinya dan memaksanya kembali. Namun, alih-alih begitu pria itu hanya menghela napas kemudian berdiri. Menatap manik Aura dalam, kemudian memegang bahu Aura. "Jangan mati," katanya, "Jangan berani mati di sini, Dewi. Jika kau pergi, aku akan mengejarmu ke dunia mana pun itu."
Aura balas menatap mata pria itu. Memelas.
Kalimat macam apa itu?
"Bhattara Guru memberi tahuku bahwa kau memang tidak berasal dari dunia ini, Dewi. Meski begitu, aku tidak peduli kau berasal dari dunia yang mana. Hatimu untuk siapa. Dan bagaimana akhirnya. Yang jelas, aku mencintaimu. Meski kau tidak mencintaiku Dewi, aku akan tetap mencintaimu. Aku hanya butuh kau tetap di sini, hidup, dan dapat selalu kulihat. Karena selain Majapahit, hidupku hanya untukmu, Dyah Aura."
Aura tiba-tiba merasa bingung. Apa situasi saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyatakan perasaan? Karena Aura tidak tahu harus menjawab apa sementara jantungnya kembali berdegub kencang, dia segera membelalakkan mata. "Awas!" pekiknya kemudian berlari ke arah Gajah Mada dengan pedang terhunus. Tepat mengenai seseorang yang lagi-lagi hendak menikam pria itu.
Aura berdiri tepat di samping Gajah Mada yang masih terkejut, mendekatkan kepalanya. "Aku tidak yakin, tetapi jika perang ini berhasil dihentikan, aku janji akan menghentikan perasaanku untuk orang lain dan memberikannya hanya padamu. Entah di dunia yang ini, atau dunia berikutnya," ucapnya pelan setelahnya Aura ikut lebur ke tengah medan pertempuran.
Tuhan ... kali ini, tolong beri keajaiban. [ ]
Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot
\(*°-°*)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro