2. Uluran Sempena
1357 M, Majapahit| 1282 Words
Aura membuka matanya perlahan ketika tangannya tak sengaja merasakan dingin, seolah-olah sedang menyentuh air. Dan ketika matanya terbuka, tidak hanya air, tubuhnya sudah tergeletak di atas rerumputan masih dengan sport bra hitam dan sport legging hitam panjang yang memiliki dua garis putih di sampingnya. Seingatnya, tadi sebelum terbangun dia tidur di atas matras di samping rumahnya setelah keletihan melakukan boxing. Tunggu———ini bahkan bukan rumahnya.
Halaman luas yang dipenuhi rumput hijau. Gelap dan dipenuhi obor yang menyala besar di beberapa sudutnya. Bulan purnama bersinar terang di atas sana dikelilingi taburan bintang-bintang. Sesekali kabut tipis bergerak-gerak menutupinya.
Aura tiba-tiba merasa takut. Pikiran negatifnya keluar semua. Gadis itu berdiri, kemudian merangkul bahunya yang tidak tertutup apa-apa. Dingin. Udaranya begitu dingin dan menusuk kulit.
Aura menatap sekitar jelalatan, mengamatinya kemudian berjalan pelan. "Ini gue mimpi, kan? Serem amat dah ini mimpi. Untung mimpi doang," gumamnya terus berjalan, mendekati bangunan dengan bata merah yang agaknya di depannya banyak obor terang. Tidak segelap di bagian belakang sini.
Ada beberapa bangunan kecil yang atapnya menyerupai pura seperti yang sering dilihatnya di buku sejarah. Atau———itu memang pura, ya?
Aura melewati sepetak taman yang menguarkan bau harum, dipenuhi bunga-bunga yang warnanya tidak jelas, di tengah-tengahnya ada kolam kecil yang memantulkan cahaya bulan. Aura terpana untuk sesaat, menatap takjub ke arah kolam itu. Seolah-olah ada rasa sejuk yang menenangkan hatinya setelah dua bulan dipenuhi emosi dan kemarahan.
"Siapa kamu?"
Aura tersentak ketika tiba-tiba suara berat nan tegas menginterupsi penderangannya. Segera ia berbalik, mendapati sosok pemuda dengan pakaian aneh. Ada kalung berkilauan besar di lehernya hingga ke dada, serta sesuatu yang melingkari kepalanya. Dia tidak mengenakan baju melainkan hanya sehelai jubah tebal dengan bulu-bulu hitam di bagian kerahnya, dan pinggangnya dililiti kain. Namun, di luar hal itu, wajahnya Aura akui cukup rupawan, bersinar diterpa cahaya rembulan.
Aura mengernyit. Aneh, pikirnya. Lagi, orang ini berpakaian seperti aktor-aktor film kolosal yang sering ditonton Rafi di kelas. Aura ingin menertawai mimpinya. Bisa-bisanya dia bermimpi hal semacam ini padahal dia bukan pecinta film kolosal Indonesia, menontonnya saja tidak pernah. "Saya Dyah Aura. Biasa dipanggil Aura," jawab Aura akhirnya memutuskan untuk menjawab baik-baik.
Meskipun ini mimpi, menilik dari pakaiannya orang ini bukan sembarang orang. Jika Aura tidak menjaga sopan-santunnya, bisa saja mimpi indah ini berubah jadi aksi kejar-kejaran pedang dengan dia sebagai sasarannya. Kan, tidak lucu.
Namun, orang itu mengernyitkan dahinya. "Dyah Aura?" cicitnya seolah-olah tidak percaya sambil menatap penuh selidik. "Dinda dari kerajaan mana? Kenapa bisa tersesat kemari?" tanyanya lagi, kali ini lebih lembut.
Aura tiba-tiba merasa bingung dengan pertanyaan itu. Dia tentu tidak berasal dari kerajaan mana pun walaupun———keluarganya termasuk salah satu old money. Dan lagi, ada satu hal yang baru Aura sadari. Dari tadi mereka tidak menggunakan bahasa Indonesia. Aura seperti pernah mendengar logatnya, tapi dia tidak yakin jika itu adalah bahasa Jawa. Atau memang bahasa Jawa, ya? Tidak tahulah, tetapi yang jelas Aura memahaminya dan bisa berbicara menggunakan bahasa itu.
"Saya———tidak tahu," jawab Aura sejujurnya. Kemudian memeluk bahunya semakin erat, merasakan dinginnya semakin menusuk. "Lagian ini cuma mimpi, kan," monolognya sendiri. "Sebentar lagi palingan Mbak Iyem bangunin."
"Mimpi?" beo cowok itu masih dengan kening berkerut. "Adinda tidak sedang bermimpi. Sekarang Adinda sedang berada di halaman belakang Keraton Majapahit."
Aura nyaris membelalakkan mata ketika mendengar kata Majapahit. Ini terdengar sangat-sangat tidak mungkin. Aura tidak percaya dengan kata-kata cowok itu. Jangan-jangan ini prank.
"Untung mimpi, kalau asli udah gue tonjok lo," ketusnya sambil menatap cowok itu tajam. Berani-beraninya cowok asing berbohong di dalam mimpinya. Apa katanya barusan Majapahit? Majapahit yang itu? Kerajaan yang ada di buku sejarah yang ada Patih Gajah Mada-nya? Ha ha ha. 18 tahun Aura hidup dan ini adalah mimpi ter-absurd. Mau tidak mau, Aura tertawa pelan, tapi tangannya yang melingkari bahu diam-diam bergerak mencubit kulitnya.
"Shit!" Aura meringis sambil memicingkan mata ketika tangannya yang dicubit terasa sakit.
"Adinda? Adinda kenapa? Apa baik-baik saja?"
Aura kembali membuka matanya, kembali mengamati sosok pria di hadapannya itu. Setengah dirinya masih percaya jika ini mimpi, tapi setengah lainnya yakin jika ini bukan mimpi sama sekali karena———hei, di mimpi mana seseorang bisa merasakan sakit, hah?!
Aura meneguk salivanya getir. "Kamu———kamu siapa?" tanya Aura akhirnya memberanikan diri, masih mencoba meyakini jika ini hanyalah mimpi.
Dia tersenyum lembut, setelahnya berjalan mendekat, menghampiri Aura kemudian melepaskan jubahnya dan memasangkannya ke tubuh Aura yang kedinginan, membiarkan dada lebar beserta perut atletisnya terekspos. "Saya Hayam Wuruk, Sri Rajasanegara penguasa tanah Wilwatikta yang agung," jawabnya kembali berdiri dengan tegap setelah berhasil memasangkan jubah tersebut ke tubuh Aura. "Dan Dinda Aura sendiri berasal dari mana? Apa Dinda tersesat hingga sampai kemari? Mohon maaf, tapi melihat pakaian Dinda, apakah Dinda berasal dari negeri antah-berantah? Tetapi, negeri mana yang memakai pakaian yang memperlihatkan pusar dan celana ketat?"
Aura tiba-tiba merasa sesak. Mulutnya kelu dan tidak tahu harus berkata apa. Ketakutan tiba-tiba merambati tubuhnya. Jika benar, berarti yang di hadapannya ini adalah raja Majapahit yang terkenal membawa Kerajaan Majapahit ke puncak kejayaannya bersama patihnya, Gajah Mada. Tidak———tunggu, ini masih terlihat tidak logis bagi Aura yang memperhitungkan segalanya dengan sains. Dia tidak pernah menyukai pelajaran sejarah dan hanya mendengarnya sambil lalu. Bagi Aura, sejarah terdengar seperti dongeng penghantar tidur, dan Aura tidak suka hal kekanak-kanakan seperti dongeng. Dan lagi, seingatnya Majapahit berada di Jawa Timur, dan dia tidak tinggal di Jawa Timur, tidak pernah ke sana, bukan tidak pernah ke sana, Aura pernah ke Museum Trowulan dan Candi Prambanan serta beberapa tempat destinasi wisata sejarah lainnya ketika mengikuti study tour di SMP. Hanya itu saja.
Aura menatap tubuhnya, mengamati pakaiannya. Lalu, ketika menyadari seterbuka apa pakaiannya untuk zaman yang terbilang sangat kuno ini, Aura tiba-tiba merasa malu. Gadis itu menyilangkan tangan di depan dada lalu menggeleng kecil. "Saya———saya tidak tahu berasal dari mana," jawab Aura akhirnya setelah mencubit lengannya untuk yang kedua kali. Jika benar ini kenyataan dan dia terlempar ke peradaban kuno ini, Aura tentu tidak bisa mengatakan dengan blak-blakan bahwa dia dari masa depan. Bisa-bisa dia dianggap gila atau paling buruk dipenggal karena mencemooh pertanyaan raja dengan jawaban ngawur. Tidak, ya, Aura tidak ingin mati muda di saat umurnya baru 18 tahun. Bagaimanapun, Aura tetap punya mimpi untuk masuk timnas lewat seleksi PB FORKI dua tahun lagi.
Duuuh, gue harus gimana, nih. Apa pura-pura pingsan aja, ya.
Aura menggigit bibirnya, sambil terus memikirkan bagaimana cara menghindari mendapat pertanyaan lebih banyak dan membuat dirinya mati kutu diinterogasi. Aura ingin melarikan diri, namun itu sangat tidak mungkin. Bisa-bisa dia dianggap mata-mata, dikejar-kejar, lalu dijadikan buronan. Dan akhirnya tertangkap lalu dipenggal dan berakhir mati muda lagi. Tidak.
"Uhuk——uhuk-uhuk!" Aura mendesis pelan sambil menutup mulutnya, meletakkan tangannya ke kepala, memicing-micingkan mata seolah-olah kepalanya terasa begitu ngilu didukung oleh mimik kesakitan yang mumpuni. Oke, Aura beralih profesi dari atlet menjadi aktris profesional.
Lalu, seolah-olah kehilangan keseimbangan tubuhnya, Aura pura-pura sempoyongan.
"Dinda?!" Hayam Wuruk terpekik, segera menyambar lengan Aura dan menahan punggungnya dengan raut gusar. "Dinda baik-baik saja?"
Aura meringis, tidak menjawab dan seolah-olah sibuk menahan rasa sakit agar aktingnya terlihat sungguhan. Untuk menyempurnakan aktingnya, Aura mencengkram lengan Hayam Wuruk dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri sibuk meremat kepala.
Maaf Paduka. Maafkan rakyat jelata yang berani menyentuh tubuh agungmu, Paduka. Tolong jangan penggal hamba, batinnya masih terus meringis. Setelahnya Aura menghilangkan keseimbangan tubuhnya dan limbung, menjatuhkan diri seolah-olah pingsan.
"Dinda?! Dinda! Hey!" Hayam Wuruk yang menahan tubuh Aura memanggil-manggil namanya semakin gusar sambil terus mengguncang-guncang tubuh gadis itu pelan, menepuk-nepuk pipinya.
Dalam hati, Aura terus melantunkan doa.
Tolong jangan penggal gue, Paduka Raja. [ ]
Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro