Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Maafkan Dewi

1357 M, Majapahit|1610 Words

Sejak tadi, Aura berputar-putar gelisah di tempat tidur kayunya. Bergerak seperti jarum jam. Memutar kepala ke sana dan ke sini sampai akhirnya ia tiba di posisi kaki diluruskan ke atas dan menumpu dinding sementara badannya terbaring. Aura resah sejak semalam dan seingatnya dia hanya tidur sekitar dua jam setelah letih memikirkan bagaimana hasil idenya yang kemarin sore diajukan pada Hayam Wuruk dan bagaimana keputusan akhir Gajah Mada.

Utusan Pajajaran diberi waktu sekitar dua hari dan jika sampai tengah malam nanti mereka tidak memberi kabar baik, dan Gajah Mada tetap pada pendiriannya yang sebelumnya, Aura yakin peperangan tidak akan bisa dia hentikan.

Aura menghela napas berat.

Selama ini, Aura pikir apa yang dilakukannya benar. Namun, jika ternyata ini salah dan Aura tidak akan pernah bisa merubah sejarah bagaimana?

Maksudnya, ini semua bukannya memang sudah terjadi saat di masa depan, kan? Sejarah yang seperti ini yang mengawali kehidupan Aura di masa depan. Sama halnya seperti saat dia ingin tetap bersama Hayam Wuruk dan Hayam Wuruk yang ingin menjadikannya istri. Namun, dalam sejarah tidak ada yang namanya Dyah Aura sebagai permaisuri atau selir Hayam Wuruk. Bukankah sebelumnya Aura sudah memikirkan hal ini? Tentang teman-teman dan keluarganya yang mungkin saja menghilang jika sejarah berubah?

Tapi tetap saja Aura ingin menghentikan pertumpahan darah!

"Argh!" Aura meremat kepalanya, kemudian meringkuk.

"Dewi."

Aura mengangkat kepalanya ketika pintu kamarnya diketuk beserta suara lembut yang memanggilnya. Aura mendengkus. Tiba-tiba saja ia merasa kesal dengan Gajah Mada yang keras kepala. Dan lagi, tiba-tiba Aura kepikiran tentang ucapan Gajah Mada kemarin, hal yang juga membuatnya kesulitan tidur tadi malam. Aura memang berusaha menyangkal dan meyakinkan diri bahwa saat itu Gajah Mada salah bicara, tapi tetap saja Aura tidak bisa menghentikan otak kecilnya itu untuk memikirkan banyak kemungkinan-kemungkinan.

Apalagi sebelum Ayu Anarawati pergi di sempat mengatakan, "Kau harus lebih memperhatikan sekitar, Dinda. Kau terlalu acuh sampai-sampai mengabaikan perasaan pria seperkasa Mahapatih Gajah Mada yang sudah ditunjukkannya terang-terangan." Saat itu Aura hanya menganggap Ayu Anarawati membuat lelucon, jadi Aura hanya tertawa terbahak saja karena setelah kepergian Arya Pati, Ayu Anarawati sangat jarang tertawa. Jadi Aura pikir saat itu hal yang mereka bicarakan cukup menghibur, tetapi jadi berbeda ketika Gajah Mada yang mengatakannya langsung entah secara sadar atau tidak, mengingat saat itu mereka sedang bersitegang.

"Kau di dalam? Aku tahu kau di dalam."

Aura masih tetap diam. Karena Aura sedang marah pada Gajah Mada, maka dia akan tetap diam di dalam sini hingga Gajah Mada berubah pikiran dan mau mengikuti sarannya (meski terdengar tidak mungkin, sih).

"Kau marah?"

Aura masih tetap diam, lalu kembali ke posisi tidur yang benar. Menarik selimutnya ke atas dan memejamkan mata.

Gajah Mada menatap sendu ke arah pintu berwarna cokelat itu. Setelahnya menarik napas pelan. Dia tidak menyangka jika Aura akan mendiamkannya seperti ini, bahkan menolak untuk menjawab panggilannya. Gajah Mada tentu merasa bersalah sudah membentak gadis itu kemarin. Padahal Gajah Mada adalah orang yang pandai mengendalikan diri, tapi kemarin entah ke mana pergi kemampuannya itu dan malah ikut-ikutan tersulut mendengar ucapan Aura, dan sekarang, Gajah Mada menyesali diri. Jika dia tidak ikut-ikutan emosi, mungkin Aura tidak akan mendiamkannya seperti ini dan menolak berbicara dengannya. Karena Gajah Mada tahu sekeras kepala apa Aura terhadap pendiriannya, dia memilih mengalah dan kembali. Mungkin besok gadis itu akan bersedia bicara dengannya.

Aura membuka matanya, duduk, setelahnya menguap, dan melakukan peregangan. Lalu berdiri ke arah jendela, membukanya, dan mendapati langit sudah berubah jingga. "Gila aja. Gue ketiduran beneran sampe udah mau malem lagi." Aura menepuk keningnya. Seingatnya, tadi dia hanya akan berpura-pura tidur, tapi malah berakhir tidur sungguhan.

Aura menumpu kedua tangannya ke bingkai jendela, menghirup udara dalam-dalam sambil memejamkan mata setelahnya melepasnya perlahan. Ternyata udara di Majapahit masih semenyegarkan ini. Aura menatap ke arah langit, tersenyum ketika mendapati awan-awan yang berimpitan dengan semburat-semburat jingga dilatari langit biru yang mulai redup. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Lalu, kemudian perhatiannya teralih dari bunyi keriutan di bawah sana, di perutnya lebih tepatnya. Aura memeluk perutnya, teringat jika seharian ini dia belum makan apa pun.

Dengan berat hati, Aura membuka pintunya perlahan. Mengintip kecil di sana dan setelah memastikan tidak ada Gajah Mada ataupun anak buahnya yang disuruh untuk memata-matai Aura, yang setelah dipikir-pikir lagi itu terlalu berlebihan, Aura keluar dari biliknya. Mengendap-endap ke arah dapur, menyelinap dari satu tembok ke tembok yang lain. Membuatnya sudah seperti agen intelijen yang sedang menyelinap ke markas musuh saja, padahal dia hanya ingin ke dapur.

Aura sampai di dapur, dan kebetulan di sana ada Tili, salah satu abdi di rumah ini yang mengurus dapur. Dia tampak terkejut, tapi segera paham ketika Aura meletakkan tangannya ke bibir dan mendekati wanita paruh baya itu.

"Ada apa, Ndoro?" tanyanya.

Aura bersemu, kemudian mengulum bibirnya sebelum akhirnya menggaruk kepala. "Anu—itu. Apa masih ada makanan? Saya ... lapar," cicitnya.

Tili nyaris saja tertawa melihat tingkah Aura, tapi dia berusaha mengendalikan diri agar tidak dianggap lancang. "Sebentar, biar saya ambilkan. Ndoro mau saya antarkan makanannya ke kamar?"

Aura menggeleng kemudian melambai-lambaikan tangannya cepat. "Tidak-tidak. Saya makan di sini saja."

Tili mengerutkan kening. Kenapa pula Aura mau makan di dapur. Namun, karena tidak ingin banyak tanya, dia segera mengambil piring, menaruh nasi beserta lauk-pauknya di sana dan memberikannya pada Aura.

Aura mengambilnya dengan mata berbinar, setelahnya berjalan ke dipan di pojok dapur dekat tungku. Naik ke sana dan mulai makan dengan lahap.

Tili memang tidak paham bagaimana cara pikir teman majikannya yang satu ini. Biasanya kebanyakan bangsawan akan menjunjung tinggi tata krama, memilih tempat yang nyaman untuk makan, dan minta dihidangkan ini itu. Tapi gadis ini malah dengan santainya makan di dekat tungku, dengan lahap pula. Tili menggelengkan kepala, setelahnya mengambil cerek beserta cangkir untuk Aura, menaruhnya di samping gadis itu.

"Terimakasih, Bibi. Padahal aku bisa ambil sendiri," ujarnya masih lahap mengunyah dengan mulut penuh. Tidak Aura pungkiri jika perutnya amat sangat kelaparan.

Tili terkejut ketika Aura memanggilnya Bibi, tapi dia tidak jadi berbicara ketika gadis itu berdiri dan berlalu, membawa piringnya yang sudah kosong pergi beserta cereknya. Menaruhnya di tempat piring-piring kotor berada. "Terimakasih atas makanannya, Bibi. Saya pergi dulu," setelahnya berlalu begitu saja sambil tersenyum cerah.

Aura baru saja kembali terbangun. Membuka jendela dan mendapati langit masih gelap. Aura tidak tahu ini pukul berapa, tetapi yang jelas matanya tidak bisa tidur lagi. Mungkin efek kemarin dia tidur seharian. "Berasa jadi beruang hibernasi gue," ujarnya kemudian menguap. Lalu berjalan ke arah meja riasnya. Duduk di sana menghadap kaca. Mematut dirinya dalam.

Dia ... masih Aura. Dia ... masih anak Jakarta Selatan yang nyasar ke zaman Majapahit. Dia ... masih orang yang sama. Namun, di saat bersamaan juga berbeda. Aura yang ini sudah pasti jauh lebih kuat dari Aura yang dulu. Aura juga sudah mengerti bagaimana caranya menghargai hidup dan menjaga orang-orang yang kita sayangi karena kita tidak akan pernah tahu kapan mereka akan pergi, atau lebih tepatnya kapan kita akan pergi. Entah itu menghadap Ilahi atau terlempar ke masa berbeda seperti dirinya.

Aura mengambil daun lontar,mulai menulis di sana dengan sayap unggas yang ujungnya dilumuri tinta. Menuliskan semua perasaannya saat ini. Semua keluhannya, dan semua keinginannya.

Tanpa Aura sadari, langit sudah mulai terang sejak tadi dan dia baru selesai menuliskan entah apa saja itu pada dinding kamarnya karena daun lontarnya sudah habis dan tentu saja tidak cukup untuk menampung keluh kesahnya yang segunung.

Aura menyimpan tintanya. Lalu bersiap-siap dan mengambil pedang. Dia akan melatih diri lagi mulai hari ini. Aura baru saja membuka pintu, namun langkahnya terhenti ketika ada sehelai kain putih terlipat di depan pintunya. Aura memungutnya, kemudian membukanya. Ada coretan tinta di dalamnya. Hurufnya menggunakan Aksara Kawi bukan alfabet. Namun, Aura dapat memahami dan membacanya.

Dewi, maaf jika aku mengecewakanmu sebelumnya. Maaf sudah membuat perasaanmu terluka. Namun, sebenarnya bukan seperti itu niatku. Aku akui aku bersalah dan tenggelam dalam angkara murka saat itu. Aku sungguh-sungguh minta maaf jika hal itu sangat melukai perasaanmu sampai-sampai kau tidak ingin bicara padaku lagi. Sebagai seorang pria yang amat sangat menyayangi Dewi, aku akhirnya paham dengan kegundahanmu. Aku mengerti kau hanya tidak ingin aku salah mengambil jalan.

Aku mencoba memikirkan pendapatmu sebagai seorang Mahapatih Wilwatikta, dan agaknya, kau benar, Dewi. Negara mana yang akan tetap diam jika harga diri bangsanya dihina. Meski itu Majapahit sekali pun, mereka pasti tetap berjuang hingga akhir membela negerinya.

Sebagai seorang pria yang mengagumi kepribadian dan cara pandangmu, aku tentu akan berdiri di sisimu, Dewi. Namun, sebagai Mahapatih Wilwatikta, meski pendapatku berbeda dengan Maharaja, aku tetap harus mengikuti perintah mutlaknya pada akhirnya. Dan Paduka Sri Rajasenagara menolak pendapatku dan dengan tegas memerintahkanku untuk membela Majapahit hingga akhir.

Maafkan aku untuk ini, Dewi. Tetapi sebelum aku menjadi pria yang mencintaimu, aku adalah milik Wilwatikta dan abdi Paduka Sri Rajasenagara. Aku tidak bisa membenarkan pendapat pribadiku dan mengabaikan Negara Majapahit ini. Bagaimanapun, aku adalah Majapahit itu sendiri.

Ketika Dewi menemukan surat ini, mungkin aku sudah bertolak ke Bubat dan bersiap menerima semua konsekuensinya di sana. Aku akan pergi sebagai pembela bangsa yang setia. Meski itu dengan nyawaku, aku akan tetap berdiri dan berjuang untuk Majapahit.

Aku ingin berpamitan langsung, tetapi aku tahu Dewi tidak ingin bicara denganku. Aku tidak meminta perasaanku berbalas darimu, aku juga tidak meminta kau bersedia memaafkan aku, tapi aku hanya ingin kau tetap menjadi dirimu dan selalu menjaga dirimu sendiri.

Semoga aku dapat kembali dengan selamat dan bisa menemuimu lagi, Dewi.

Aura memucat. Bagaimana maksudnya? Apa keputusan Hayam Wuruk? Di mana Gajah Mada? Dan bagaimana akhirnya?

Aura tersaruk ke belakang, lalu setelah beberapa saat dia berlari masuk ke dalam biliknya. [ ]

Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot
\(*°-°*)/

Sad ending apa happy ending?

Walau sebenernya aku sudah punya ending yang pas. Ehehe //smirk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro