16. Jodoh Paduka
1357 M, Majapahit|1655 Words
Aura menghela napas berat, menatap jauh ke dalam kolam sambil mencabuti kelopak bunga mawar satu per satu dan membiarkannya terbang begitu saja setelah dicabut. Pikirannya kosong dan ternyata move on dari Hayam Wuruk itu sesulit ini. Padahal ... Aura sudah berusaha menghindari Hayam Wuruk setiap hari, menyibukkan diri melakukan patroli setiap hari, mengambil latihan tambahan, dan baru kembali ke keraton malam harinya saat semua orang sudah tertidur kecuali prajurit yang berjaga. Sudah hampir lima hari, dan perasaan Aura bukannya membaik, malahan semakin hari semakin hancur ketika para dayang dan abdi kerajaan lainnya sibuk mempersiapkan ini-itu untuk keperluan pernikahan orang nomor satu Majapahit.
Insiden di Hutan Gambiran tiga hari lalu sedikit banyaknya masih membuat Aura terpukul karena melihat sosok pendahulu Rafi satu-satunya teman masa depan yang dia temui di sini meninggal di depan matanya, dan Aura tidak bisa melakukan apa pun untuk menolong pria itu.
Melepas seorang teman lama pergi untuk selamanya, setelahnya Ayu Anarawati juga memutuskan untuk pergi dan terus berkelana, membuat beban Aura terasa semakin berat saja. Tetapi Aura tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegah kakak angkatnya itu pergi karena Aura tahu bagaimana rasanya tinggal di tempat yang membuat kita merasa dihantui dan terus-menerus teringat tentang orang-orang terkasih yang sudah tidak bersama kita lagi. Kenangan-kenangan itu menyiksa. Aura paham betul itu.
Sekarang dini hari, mungkin jika ada arloji, sekarang pukul tiga. Aura menyendiri ke Taman Bulan, menenangkan pikirannya karena meskipun Aura ingin, dia tetap kesulitan untuk tidur. Aura mendadak terserang insomnia. Selain alasan tersebut, Aura tidak bisa mengunjungi Taman Bulan saat siang atau senja karena ... yah, Hayam Wuruk pasti akan menemukannya di sana. Jadi, menyendiri setelah lewat tengah malam atau dini hari adalah pilihan.
Aura mengenakan jubah cokelat tanpa motif yang menyelimuti tubuhnya, karena bagaimanapun, Aura tetap tidak kebal udara dingin. Rambutnya dibiarkan tergerai. Aura menghela napas berat sesekali, membuat asap kelabu keluar mengepul dari mulutnya. Kelopak terakhir dari bunga yang entah keberapa itu akhirnya habis. Aura memutar-mutar tangkainya sebelum akhirnya membuangnya ke arah rerimbunan pohon bunga yang lain. Aura bersedekap, menerawang ke atas, ke arah bulan purnama yang bersinar terang di atas sana. Baru dua purnama di dunia ini, dan Aura sudah ingin pergi saja rasanya. Atau paling tidak kehidupannya yang di dunia ini berakhir saja. Aura ... jadi ingin kembali ke kehidupan normalnya. Bersekolah, mengikuti turnamen, les, menonton bioskop, atau paling tidak menghabiskan waktu seharian di kamar sembari bermain game. Jadi Aura yang dulu, yang hidupnya masih seru dan asik. Bukan Aura yang seperti ini, yang bucin dan patah hati setengah mampus sampai-sampai ingin mampus sungguhan karena terlalu sesak dan sakit.
Melihat seberapa terangnya sinar rembulan di atas sana, tanpa ditutupi awan atau kabut apa pun, tidak sama dengan saat hubungannya dan Hayam Wuruk masih bersemi, Aura jadi berpikir jika dia dan Hayam Wuruk memang tidak ditakdirkan. Semesta menolak hubungan mereka terang-terangan. Dan lagi ... pemikiran yang baru-baru ini muncul dari hasil renungannya, pemikiran yang membuat Aura setidaknya berusaha melapangkan dada karena, jika seandainya dia dan Hayam Wuruk bersatu, maka otomatis sejarah akan berubah. Seperti butterfly effects. Sedikit perubahan, bisa membuat perubahan besar pada hal lainnya. Katakanlah dia bersatu dengan Hayam Wuruk, lalu meski mereka saling mencinta, namun semesta pasti menolak keras, lalu hal-hal yang tidak diinginkan semakin banyak terjadi. Perpecahan, pertumpahan darah, dan Majapahit runtuh sebelum masa kejayaannya tercapai sepenuhnya. Tidak akan ada persatuan Nusantara dan ... yang terburuk tidak akan ada Indonesia karena Majapahit terpecah belah, negara bawahan bergabung dengan negara lain atau membentuk negara sendiri. Tidak akan ada Aura. Tidak akan ada klub karate. Tidak akan ada sekolahnya. Dan tidak akan ada teman-teman sekelasnya.
Aura mendesis, kemudian menggelenglan kepala. Menghembuskan napas lagi sambil terus menatap bulan di atas sana.
"Apa rembulannya seindah itu, Dinda? Sampai-sampai Dinda tidak berkedip dan terus menatapnya?"
Aura terkesiap, jantungnya berdegub kencang ketika tiba-tiba seseorang memeluknya dengan lembut dari belakang. Tangan kokoh itu melingkari pinggangnya dengan kepala yang ditaruh di ceruk leher Aura. Ada desiran hangat yang menerpa leher Aura secara teratur, membuat tubuhnya semakin kaku, lidahnya kelu, dan jantung Aura semakin berpacu.
"Kenapa sulit sekali menemui Dinda akhir-akhir ini? Dinda seperti hilang ditelan bumi. Tahukah Dinda betapa Kanda merindukan Dinda, hm? Semuanya terasa hampa dan semu. Menyesakkan. Melelahkan. Dan rasanya ... semua terlalu menyiksa karena tidak ada Dinda. Tidak, ternyata Kanda yang tidak bisa selalu berada di sisi Dinda itu salah, yang benar adalah Kanda tidak bisa bernapas tanpa Dinda, Kanda tidak bisa berjalan tanpa Dinda, dan hidup jadi seberat yang Dinda katakan jika Dinda tidak ada. Jadi, tolong ... jangan pernah menghilang lagi, Dinda."
Aura menghela napas, berusaha menahan napasnya yang tiba-tiba mencekat. Tenggorokannya terasa terganjal duri dan Aura berusaha susah payah untuk menengguk saliva. Hanya dengan mendengar suaranya, semua usaha yang dilakukannya selama beberapa hari ini, semua perasaan yang berusaha disusun dan ditatanya agar baik kembali, seketika hancur, lebur, dan berantakan dalam sekejap.
Aura mengulum bibirnya, menggigitnya kuat-kuat ketika perasaan menyesakkan itu semakin mendesak ke kelopak mata. Aura tidak boleh menangis di sini. Tidak di depan Hayam Wuruk. Aura tidak boleh terlihat lemah dan hancur di hadapan pria itu. Aura ... adalah gadis kuat, kan? Lalu, berusaha keras mengumpulkan perasaan dan kesadarannya yang tercerai-berai, Aura menghela napas berat, berusaha terlihat tabah, lalu memegang tangan Hayam Wuruk yang menumpuk di atas perutnya, memegangnya lembut kemudian berusaha sepelan mungkin untuk melepasnya. Namun, bukannya lepas, Hayam Wuruk malah semakin mengeratkan rengkuhannya.
"Tidak, Dinda. Tolong biarkan seperti ini sebentar lagi. Jika perlu, kita akan terus begini karena Kanda tidak ingin Dinda kembali menghilang. Kanda takut ... Dinda akan pergi lagi dan kali ini, Kanda takut tidak akan berhasil menemukan Dinda. Kanda ... tidak akan melepaskan Dinda lagi." Hayam Wuruk membenarkan letak kepalanya di pundak Aura, memejamkan matanya, dan berusaha menikmati eksitensi seseorang yang amat sangat dirindukannya itu. Jika bisa, Hayam Wuruk tidak akan melepaskan gadis ini lagi dan tidak membiarkannya hilang dari pandangan. Tiga hari tanpa Aura itu ... terasa seperti satu abad tanpa energi. Dia hidup, namun terasa mati karena semua semangatnya lenyap bersamaan dengan kehadiran pujaan hati yang tiada.
Aura memejamkan matanya masih terus menggigit bibirnya semakin kuat. "Jangan begini, Paduka," lirihnya. "Ini ... jadi semakin menyakitkan buat saya. Saya ... bisa saja saya jadi lupa diri lagi."
Hayam Wuruk mengangkat kepalanya, lalu melepaskan rengkuhannya, membalik tubuh Aura, dan menatap mata kecil yang kini terlihat sayu itu. Tidak ada lagi binar penuh semangat di sana yang membuat Hayam Wuruk berhasil tersenyum sendiri saat membayangkannya. Tidak ada lagi rona ceria di wajahnya. Yang tersisa hanya mata sayu sarat kesedihan, dan wajah murung yang tiba-tiba membuat jantungnya terasa diremas kuat. Apalagi ketika gadis itu kembali berlaku sangat formal padanya. "Dinda?"
Aura menurunkan tangan Hayam wuruk yang memegang bahunya lembut. "Maafkan jika karena saya Paduka merasa demikian. Saya mohon dengan segenap jiwa raga saya agar Paduka dengan senang hati memaafkan kelancangan saya dan melupakan semua apa yang pernah terjadi di antara kita. Anggap saja itu tidak pernah ada. Paduka tetap Maharaja Wilwatikta Yang Agung dan saya tetap Bhayangkara yang mengabdikan diri untuk negara."
Hayam Wuruk mengerutkan dahi. Mencelos ketika mendengar ucapan yang baru saja dikatakan Aura. "Apa maksud Dinda?"
Aura berusaha memasang senyum, berusaha agar terlihat baik-baik saja, dan berusaha agar terlihat ikhlas. "Saya dengar, Paduka akan segera menikah dengan Putri Pitaloka Citraresmi. Saya ... ingin mengucapkan selamat untuk Paduka. Semoga pernikahan kalian diberkahi Sang Hyang dan dilimpahi karunia. Maaf, saya tidak bisa memberi apa-apa selain doa yang tulus ini. Karena ... yeah, Paduka tahu sendiri penghasilan saya sedikit. Hahaha."
Hatinya kembali remuk. Dadanya kembali sesak. Dunianya kembali runtuh. Dan perasaannya kembali hancur berantakan. Ada ribuan sembilu yang menikam ketika kalimat terakhir berhasil Aura ucapkan dengan tenaganya yang hampir tak tersisa. Namun, seolah yang sebelumnya belum cukup, Aura kembali menghancurkan perasaannya sendiri dengan memasang senyum lebar yang ditulus-tuluskan.
"Dinda———" Hayam Wuruk tercekat. Tidak tahu harus mulai menggunakan kata yang mana ketika melihat gadis pujaannya tersenyum begitu lebar, namun sorot matanya terlihat sangat hancur. "Jadi ... Dinda memang sengaja menghindari Kanda selama ini karena berita itu?" Hayam Wuruk memegang kedua bahu Aura lagi sambil terus menatap manik gadis itu dalam.
Lagi-lagi, dengan senyum yang sama, Aura menurunkan tangan Hayam Wuruk dan menggeleng kecil. "Saya bukan menghindari Paduka. Memangnya siapa saya berani berlaku kurang ajar begitu pada——"
"Kau bukan orang lain, Dyah Aura. Kau kekasihku, belahan jiwaku, calon istriku. Jadi ... jangan pernah berkata begitu," sela Hayam Wuruk cepat kemudian dengan segera nyaris memeluk gadis itu, jika saja Aura tidak dengan lembut menahan dada Hayam Wuruk dan beringsut mundur.
"Bagaimana bisa Paduka berbicara begitu sementara calon istri Paduka sedang berada dalam perjalanan. Tidak, kah, Paduka berpikir bahwa dia akan merasa terhianati ketika calon suaminya berkata begitu pada gadis lain?"
Hayam Wuruk menggeleng. "Tidak. Kanda sedang tidak membual, Dinda. Kita masih bisa tetap bersama. Toh, Paman-Paman dan Kakek Kanda sebelumnya bahkan punya banyak istri. Kanda tidak bisa menghentikan penyatuan dua kerajaan ini, namun Kanda tetap hanya ingin bersama Dinda, tidak ada yang lain. Hanya Dinda seorang," lalu menatap Aura meyakinkan.
Aura lagi-lagi memasang senyuman ketika dadanya terasa semakin sesak. "Dan akhirnya saya tetap jadi yang kedua," ucapnya. "Mohon maaf, tapi dalam hidup ini saya percaya jika pasangan itu hanya ada dua orang. Tidak ada yang ketiga dan kesekian. Setabah apa pun Putri Pitaloka merestui kita, tapi saya juga perempuan. Tidak ada perempuan yang ingin cinta laki-lakinya terbagi, Paduka. Jadi, tolong cintai Putri Pitaloka dengan sepenuh hati. Perlakukan dia dengan baik. Dan hapus tempat saya di hati paduka, jadikan semuanya hanya untuk dia."
Hayam Wuruk menggeleng lagi. Sorot matanya penuh harap menatap Aura. Berharap agar Aura kembali menarik kata-katanya dan akhirnya mereka tetap bersama. Namun, Aura tetaplah Aura, yang akan memegang teguh keputusannya meski harus menghancurkan perasaannya sendiri. "Jodoh Paduka ... bukan saya," ujarnya lalu berbalik dengan segera dan berjalan cepat ke biliknya, mengabaikan Hayam Wuruk yang terus menatapnya berharap agar Aura berbalik dan kembali ke pelukannya. [ ]
Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/
Bye. Saya panas dingin cuma nulis adegan pelukan doang. Pffttt
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro