Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Patrem Adinda

1357 M, Majapahit | 1463 Words

Mereka tidak jadi membangun tenda di tepi hutan dan memilih kembali ke desa, menumpang bermalam di rumah kenalan Gajah Mada yang tadi ia sebutkan. Sementara para Rantai Ireng yang tadi mereka lumpuhkan sudah digiring oleh prajurit yang menjaga desa, membawanya ke istana lebih dulu sebelum memutuskan hukuman apa yang pantas untuk mereka.

Sang pemilik rumah, Ki Warta yang seorang Thani dan istrinya Nyai Sara tentu saja menyambut kedatangan Hayam Wuruk dan Nertaja dengan gembira, merasa terhormat gubuk kecil (yang sebenarnya cukup besar) mereka dikunjungi oleh Sri Rajasenagara Yang Agung dan Tuan Putri Nertaja. Semua abdi di rumah itu segera sibuk mempersiapkan segala sesuatunya agar sang maharaja merasa nyaman dan kerasan di sana.

——————

[Thani: pemerintahan Majapahit setingkat desa. Dipimpin oleh Thani atau Petinggi.]

——————

Langit sudah gelap sejak tadi. Nertaja dan Hayam Wuruk segera mendapatkan perawatan dari tabib di desa itu sementara Aura sendiri menolak untuk diperiksa dan mengatakan dia baik-baik saja padahal Gajah Mada dan Hayam Wuruk sudah memaksanya untuk diperiksa sang tabib.

Aura duduk di dipan depan rumah yang menghadap langsung ke jalan setapak kecil dinaungi oleh pohon mangga rindang di sisi sampingnya setelah membersihkan dirinya dari percikan darah, membasuh tubuhnya, dan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang dipinjamkan Nyai Sara. Aura terpaksa harus menggunakan jarik lagi dan dia tidak akan bisa bertarung kali ini kalau-kalau ada hal tidak terduga yang terjadi. Karena, jangankan sport legging, celana dalam saja bahkan dia tidak pakai. Pfftt.

Aura menjuntaikan kaki di sana, mengangkat pedangnya yang masih berlumuran darah dan kemudian mengelapnya dengan kain yang dimintanya pada salah satu abdi di rumah ini. Dengan lembut, Aura mulai mengusap darah pertama yang berhasil mengotori pedang barunya. Pencahayaan dari obor besar yang terpasang pada tonggak bambu satu meter darinya sudah cukup terang untuknya bisa duduk tenang dan melakukan aktivitas. Tidak ada bulan yang muncul malam ini, entah tertutup kabut tebal di atas sana atau memang saat ini sedang fase bulan mati, Aura juga tidak memperhatikannya.

"Dinda sedang apa malam-malam begini di luar? Apa tidak dingin?"

Aura menoleh ke kanan, ke arah pria yang menatapnya sambil tersenyum lembut. Kain kasa putih melingkari dadanya cukup tebal.

"Tidak sama sekali, Kanda. Saya suka aroma udara malam hari," jawab Aura sejujurnya. Kemudian menyarungkan pedangnya yang telah bersih kembali. "Kanda sendiri kenapa di luar? Kanda, kan, sedang tidak sehat. Nanti bisa lebih lama pulihnya, lho."

Hayam Wuruk terkekeh pelan, kemudian menggeleng. Lalu menghampiri Aura dan duduk di sampingnya. Setelahnya, dia membentangkan kain jarik yang dibawanya, menyelimutkannya ke bahu Aura yang terbuka. "Selama ada Dinda, semua suasana akan terasa hangat. Kehadiran Dinda saja sudah menjadi ramuan pemulih buat Kanda," katanya setelah menyelimuti tubuh Aura sepenuhnya.

Aura tidak tahu harus merespons bagaimana. Pertama, meski dia terlihat keras dan pandai bela diri, hatinya sama seperti hati anak perempuan lain yang mudah luluh bila diperlakukan dengan baik. Kedua, tiba-tiba semua pasokan katanya habis padahal dia bisa saja mensarkasi ucapan tebu jalanan Hayam Wuruk barusan. Ketiga, Aura merasa jika dirinya senang diperlakukan dan mendengarkan kata-kata manis Hayam Wuruk, jadi tidak ada salahnya untuk mengikuti aturan mainnya saja. Dan lagi, jantungnya tiba-tiba berdebar kencang ketika Hayam Wuruk menyelimutinya dengan kain agar tidak kedinginan dan tersenyum semanis itu padanya.

"Terima kasih." Akhirnya hanya kata itu yang mampu Aura ucapkan sebelum akhirnya memalingkan wajah karena tiba-tiba pipinya memanas, meletakkan pedangnya ke sisi kiri.

Hayam Wuruk kemudian meluruskan pandangannya, menerawang jauh ke atas, setelahnya berujar, "Setelah pertarungan seperti tadi, apa Dinda sama sekali tidak merasa takut?"

"Hn?" Aura menoleh sebentar ke arah pria itu, kemudian ikut-ikutan menerawang ke atas, ke arah kabut-kabut tebal. "Tidak. Karena ... ini memang resiko yang harus saya tanggung. Sejak awal, saya sudah tahu jika akhirnya akan begini, jadi saya sudah menyiapkan diri sejak jauh-jauh hari."

Hayam Wuruk masih terlihat diam, setelahnya mengangguk-ngangguk kecil. Lalu, menatap Aura dalam. "Mungkin, Dinda tidak takut sama sekali. Tetapi, pernahkah Dinda memikirkan tentang orang-orang yang mengkhawatirkan Dinda? Orang-orang yang takut kehilangan Dinda?"

Aura tercenung sebentar. Benar. Apa yang diucapkan Hayam Wuruk itu benar seandainya dia tidak terlempar sebatangkara ke dunia ini. Aura balas menoleh ke arah Hayam Wuruk, kemudian memberikan senyuman lembut. "Saya pernah memikirkan tentang hal itu, Kanda. Dan karena di dunia ini saya hanya hidup sebatangkara, maka saya memutuskan untuk benar-benar mengabdikan diri pada mimpi saya untuk menjadi pendekar sejati. Menyibukkan diri saya dari kesepian yang kadang melanda. Rindu rumah yang kadang menggebu. Dan pikiran menyesakkan yang menghimpit dada saya terus-menerus."

Hayam Wuruk memberikan tatapan lembut, dan sesekali keningnya berkerut, kesulitan memahami tentang maksud ucapan gadis itu. Aura seolah-olah berkata jika ada dunia lain dari dunia ini, dan dia berasal dari sana. Terlempar ke dunia ini—Majapahit—sendirian. Ha ha ha. Pikiran ngawur macam apa itu. Jelas-jelas gadis di sampingnya ini sedang berkeluh-kesah, menceritan tentangnya, sedikit demi sedikit mulai membuka diri pada Hayam Wuruk.

"Tidak, kah, Dinda berpikir untuk mencari keluarga? Teman untuk menemani Dinda di dunia Dinda yang penuh nestapa itu?"

Aura tiba-tiba tertawa. Setelahnya dia menggelengkan kepala pelan. Kenapa pula Hayam Wuruk bertanya begitu? Apalagi raut wajahnya sangat serius, seperti Gajah Mada tempo hari. Apa ... Hayam Wuruk ingin mengangkatnya jadi adik juga?

Aura menutup mulutnya, lalu membuyarkan pikiran ngawur seperti itu. Kalau ini Gajah Mada, mungkin Aura akan dengan senang hati jadi keluarganya. Tapi kalau Hayam Wuruk? Tolong, ya. Di dunia yang menjunjung tinggi kasta ini Aura jadi merasa insecure bahkan hanya untuk berpikir demikian. Jadi adik penguasa? Yang benar saja. Bisa-bisa, seluruh keluarga kerajaan memusuhinya. Rakyat yang tak jelas asal usulnya dan secara kebetulan dianggap bangsawan hanya karena namanya mana bisa jadi anggota kerajaan. Ahaha.

"Kenapa Dinda tertawa? Apa itu terdengar seperti lelucon buat Dinda?"

"Tidak, Kanda. Tidak sama sekali," jawab Aura cepat sembari mengayun-ngayunkan tangan di depan dada segera agar Hayam Wuruk tidak salah paham. "Hanya saja ... untuk ukuran manusia rendahan seperti saya, rasa-rasanya tidak akan ada yang mau menjadikan saya keluarganya."

"Jika ternyata ada bagaimana? Dinda tidak bisa selamanya merasa rendah diri. Dinda tahu, Dinda punya banyak daya tarik. Memangnya siapa yang tidak akan mau jadi keluarga Dinda? Teman sehidup semati hingga Sang Hyang memanggil?"

Aura mengerutkan kening. Sebentar. Dia tidak paham dengan konteks pembicaraan Hayam Wuruk barusan. Jadi, Aura rasa tidak ada salahnya jika sekarang otaknya mulai berpikir keluarga seperti apa yang Hayam Wuruk maksud?

Hayam Wuruk tersenyum kecil ketika menangkap raut kebingungan di wajah gadis itu. "Jika saya bilang, saya jatuh hati pada Dinda Aura bagaimana? Saya terpikat oleh pesona Dinda, dan saya ingin selalu berada di sisi Dinda, menjadi keluarga yang akan mengkhawatirkan Dinda dan orang yang takut kehilangan Dinda—bagaimana?"

Wah.

Aura tiba-tiba merasa tuli. Semua udara terasa kedap dan jantungnya mulai menggila lagi. Apa ... barusan Hayam Wuruk menembaknya? Atau mungkin melamarnya?

Tiba-tiba ada rasa gugup yang merayapi tubuh Aura, bibirnya bergetar sampai-sampai dia berusaha menahannya dengan cara mengulum. Ini ... tiba-tiba. Dan ini pertama kali buat Aura. Mendapatkan pernyataan cinta secara langsung, dengan tatapan serius dari seseorang ternyata bisa semendebarkan ini.

"Apa ini terlalu mengejutkan buat Dinda? Apa Dinda keberatan dan tidak merasakan hal yang sama dan ... Dinda takut mengutarakannya?" Hayam Wuruk lagi-lagi tersenyum kecil. Namun, kali ini ada sedikit getir di wajahnya ketika memikirkan Aura jangan-jangan menolaknya.

Aura masih bergeming, sampai kemudian Hayam Wuruk menarik sesuatu dari belakang punggungnya. Lalu meraih tangan kanan Aura, meletakkan benda itu di sana. "Karena saya tahu Dinda tidak akan suka jika saya beri bunga, jadi saya berikan patrem ini pada Dinda. Ini akan lebih berguna bagi Dinda yang suka hal berbahaya. Karena saya tidak bisa selalu berada di samping Dinda, saya harap, saya bisa melindungi Dinda dengan patrem ini."

——————

[Patrem: senjata berbentuk keris yang berukuran lebih kecil dari keris pada umumnya. Biasanya  dimiliki oleh putri-putri bangsawan. (CMIIW)]

——————

Aura menggerakkan kepalanya yang kaku, menatap keris kecil yang ditaruh di tangannya lurus.

"Apa ... Dinda tidak suka?"

Aura yang masih tercekat, mengangkat kepalanya lagi pelan, lalu maniknya beradu dengan manik Hayam Wuruk. Aura masih tergugu, namun mendapati raut Hayam Wuruk yang mulai harap-harap cemas menatapnya, Aura menggeleng pelan. "Saya rasa ... hati saya juga tidak bisa berbohong. Saya ... suka patrem ini sama seperti saya menyukai impelementasinya," aku Aura sejujurnya.

Hayam Wuruk memalingkan wajah kemudian, menyembunyikan senyum lain yang tiba-tiba membuat jantungnya berdegub lebih hebat. Setelahnya menatap Aura dengan senyuman yang sangat sulit dihapus. Aura mengulumkan bibirnya. Tiba-tiba jadi salah tingkah. Setelahnya, mereka sama-sama tertawa pelan melihat reaksi masing-masing.

Tatapan dan tawa mereka tidak hanya membawa angin segar, namun juga membuat seseorang yang berdiri tak jauh sambil memegang nampan di ujung sana berusaha menahan diri agar tidak membuat dua orang dengan tatapan khas orang jatuh cinta itu menyadari kehadirannya dengan meremas nampan itu erat-erat, bahkan terdengar bunyi retakan kecil di sana. Tidak hanya nampan yang retak, namun hatinya juga.

Melihat bagaimana dua orang itu saling menatap, Gajah Mada sadar jika dia tidak akan punya kesempatan untuk menyela. Jadi, daripada menyakiti hatinya lebih lama lagi, pria itu memilih berbalik pergi dengan luka berdarah-darah di jantungnya. [ ]

Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/

Eum———anu. May cuma mau nanya, kalian Tim GajahMadaAura apa HayamWurukAura?

Atau ngikut2 aja maunya May?

Wkakak

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro