Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Rantai Ireng

1357 M, Majapahit | 1396 Words

Matahari sudah lewat dari atas kepala sejak tadi, dan mereka sudah melewati beberapa desa. Semuanya masih tampak normal. Tidak ada masalah yang terjadi. Masyarakat hidup seperti biasanya. Yang berjualan menjajakan dagangannya, yang bertani mengurus kebunnya, dan yang beternak menggembala kambing-kambingnya. Perjalanan kali ini membuat Hayam Wuruk dapat tersenyum lega. Ternyata masyarakatnya dapat hidup dengan damai dan layak, membuat beban di pundaknya sebagai raja negeri ini sedikit meringan. Setidaknya dia bukan raja gagal yang mengantarkan rakyatnya ke jurang kesengsaraan.

Namun, mereka harus segera kembali dan mereka harus mencari tempat menginap segera karena tidak memungkinkan untuk kembali ke istana sekarang. Bisa-bisa mereka kemalaman di jalan.

"Kita akan membangun tenda di mana, Kanda?" tanya Nertaja pada Hayam Wuruk yang terus berjalan sambil menggenggam tangannya di belakang punggung.

"Ada padang rumput di tepi hutan ini. Nanti kita menginap di sana. Ayo cepat atau kita bisa kemalaman di tengah hutan," ajak Hayam Wuruk agar mereka segera mempercepat jalannya.

Mereka melewati jalan setapak yang di kiri dan kanannya dipenuhi pohon-pohon besar dan rimbun. Kebanyakan pohon beringin, pohon mahoni, pohon kersen, dan pohon lainnya.

Aura berjalan dengan tenang di belakang dua orang itu. Berusaha menjaga jarak agar kehadirannya tidak disadari dan mereka tidak melihat wujudnya. Sejak tadi, sejak keluar dari kedai tadi tepatnya, Aura hanya berbicara seperlunya dan menjawab seadanya. Berusaha menghindari tatapan menyelidik Nertaja dan tatapan lain Hayam Wuruk.

Tolong, perjalanan ini jadi tidak nyaman.

Nertaja menjerit ketika semak-semak di sisi kiri jalan bergoyang-goyang, setelahnya gadis itu bersembunyi di belakang Hayam Wuruk yang langsung memasang posisi siap. Aura juga segera menyiagakan diri, memegang tangkai pedangnya sambil matanya terus mengamati ke arah semak-semak.

"Apa itu Kanda?" cicit Nertaja ketakutan.

"Tenanglah, Dinda," ucap Hayam Wuruk menenangkan adiknya.

Tidak lama, segerombolan pria dewasa keluar dari semak-semak tersebut. Mereka berlima, dan kelimanya memiliki wajah sangar dan angkuh yang menatap mereka seolah-olah baru saja mendapat mangsa.

Hayam Wuruk menyipitkan mata, menatap ikat kepala kumal yang mereka pakai. Ada gambar rantai hitam di sana. "Mereka ... Rantai Ireng," ujarnya datar.

Mendengar itu, Nertaja semakin bersembunyi ketakutan di belakang Hayam Wuruk. "Ra-rantai Ireng?" cicitnya gemetar.

"Hn." Hayam Wuruk mengangguk.

Aura menyipitkan matanya. Dia pernah mendengar tentang gerombolan ini. Mereka adalah sekelompok perampok kejam dan bengis yang meresahkan warga dan menyebut dirinya sebagai Rantai Ireng. Mereka tidak segan untuk membunuh atau merusak apa pun. Mereka juga memiliki niat untuk menghancurkan Majapahit—para pemberontak. Yang Aura dengar desas-desus dari Jala, bahwa Gajah Mada dan anak buahnya, Laskar Pendem—para pasukan rahasia, sedang melakukan penjaringan diam-diam untuk memusnahkan kelompok ini.

"Waah. Ada adik manis-manis di sini rupanya. Kenapa Adik secantik ini bisa nyasar ke tengah hutan, hah? Tidak takut diculik wewe gombel, ya?" ujar salah satu pria yang perutnya buncit. Setelah mengatakan itu, dia tertawa terbahak-bahak diikuti teman-temannya.

Aura mendesis di tempat.

"Kalau begitu, bagaimana kalau Diajeng sekalian ikut Kakang saja. Akan Kakang lindungi Diajeng dengan sepenuh hati, dan sebagai gantinya temani Kakang bersenang-senang malam ini, ya. Ahaha."

"Diam kalian, Bedebah! Selama aku di sini, tidak akan kubiarkan kalian menyentuh mereka barang seujung kuku sekali pun." Hayam Wuruk mencabut keris yang terselip di pinggangnya dengan tatapan tajam.

"Kanda—" Nertaja menahan bahu Hayam Wuruk, lalu menggeleng kecil.

"Kita tidak bisa lari, Dinda. Tenang saja. Kanda akan mengalahkan mereka. Dinda larilah ke desa tadi dan minta bantuan selagi Kanda menghadapi mereka." Hayam Wuruk menenangkan adiknya. "Kau juga ikutlah dengan Nertaja, Dinda Aura. Mereka berbahaya."

"Tidak. Aku akan tetap di sini. Inilah tugasku sebagai Bhayangkara, Kanda. Kanda tidak perlu mengkhawatirkanku." Aura menatap meyakinkan pada Hayam Wuruk, lalu menarik pedangnya keluar.

Hayam Wuruk menatap Aura sebentar, kemudian setelahnya dia mengangguk kecil. "Baiklah. Kau dengar, Dinda? Segera pergi ketika Kanda dan Dinda Aura melawan mereka."

Nertaja yang entah sejak kapan sudah menangis, akhirnya mengangguk patuh lalu melepaskan cekalannya pada bahu Hayam Wuruk.

"Wela dalah! Cah wadon kok main pedang," seloroh yang lainnya ketika melihat Aura menarik keluar pedangnya, setelahnya terbahak.

Aura rasa, seluruh otak mereka isinya hanya bahakan saja.

"Diam mulut rasis kalian itu, brengsek!"

Aura segera berlari ke depan, kemudian dua orang menyerangnya sekaligus, sementara Hayam Wuruk melawan dua orang lagi.

Aura berkelit ke samping, menuju yang lebih kurus untuk kemudian mengayunkan pedangnya. Si Kurus menghindar, kemudian Aura menunduk lalu berkelit ketika dari belakang yang berperut buncit mengayunkan kampak ke arahnya.

Aura maju kembali, mengayunkan pedangnya dengan cepat ketika si Kurus hendak menyerangnya dengan gada berduri bertali rantai yang dililitkan ke tangan. Aura segera berputar, salto ke udara ketika si Kurus menghindar kemudian mendarat di belakangnya dan tanpa membuang waktu, segera Aura menebaskan pedang ke arah punggung si Kurus. Selesai dengan itu, Aura berputar cepat ke belakang sambil menyabetkan pedangnya. Tepat mengenai dada si Buncit.

Sementara si Kurus perlahan ambruk di belakangnya dengan luka sayatan dalam melintang di punggungnya yang tidak tertutup baju itu mulai menganga, mengalirkan banyak darah. Si Buncit juga menatap Nanar ke arah dadanya. Setelah itu darah menyembur dari mulutnya.

Aura berdiri dengan kuda-kudanya sambil memegang pedang yang sudah bernoda darah itu. Dan ketika si Buncit tampak masih sanggup memegang kapaknya, menatap tajam ke arah Aura, Aura tanpa buang waktu segera maju ke depan, mengadu pedangnya dengan kampak, lalu tersaruk ke belakang. Si Buncit kembali menyerang, namun tubuhnya semakin lemah karena kehabisan banyak darah. Aura maju ke depan lagi, tanpa ragu dia mengayunkan pedangnya yang tepat menyayat bahu kanan Buncit. Membuat pria itu mengerang dan menjatuhkan senjatanya. Setelahnya dengan cepat Aura mengayunkan kaki, menendang kepala pria itu yang langsung terpental ke tanah; jatuh tak sadarkan diri.

Aura menatap Hayam Wuruk yang masih menghadapi satu orang lagi. Bertarung mati-matian di sana. Segera Aura berlari ke arah pria itu.

"Aarkh!" Namun, langkah Aura terhenti ketika teriakan nyaring dari arah lain terdengar.

"NERTAJA!" pekik Hayam Wuruk seketika, dan ketika fokusnya teralih, satu pukulan telapak tangan menghantam dada pria itu.

"KANDA!" pekik Aura langsung berlari ke sana, mengayunkan pedangnya ke arah punggung yang tadi memukul Hayam Wuruk, lalu setelah pria itu terjatuh dengan darah menyembur dari mulut, Aura segera menghampiri Hayam Wuruk yang kembali berdiri.

Baru Aura sadari bahwa sejak tadi mereka hanya menghadapi empat orang. Lantas ke mana perginya satu lagi? Tiba-tiba pikiran negatif mulai menghantam kepalanya. Aura gusar seketika. Bagaimana dengan Nertaja? Apa yang baru saja terjadi?

"Kita harus menolong Nertaja!" ujar Hayam Wuruk yang langsung diangguki Aura dan mereka segera berlari. Mencari di mana sumber suara tadi.

Aura berusaha menetralkan napasnya ketika mereka berhasil menemukan Nertaja yang terduduk di tanah, menangis tersedu-sedu di sana.

"Dinda!" pekik Hayam Wuruk yang langsung menghampiri adiknya.

"Kandaaa! Kandaa!" Nertaja segera beringsut, merangkak di tanah mengejar Hayam Wuruk.

Hayam Wuruk berlutut di tanah, menghampiri Nertaja dan memeluknya. "Sudah tidak apa-apa, Dinda," ucapnya menenangkan sambil mengusap-usap punggung gadis itu.

Nertaja berhenti menangis beberapa saat, kemudian mengusap air matanya meski sesekali masih ada sisa sedu-sedan. Hayam Wuruk menangkup wajah adiknya, menatapnya khawatir ketika menemukan lebam keunguan di sudut bibirnya dengan sedikit darah. "Dia memukulmu, Dinda?" tanya Hayam Wuruk mulai terlihat marah.

Nertaja menggeleng kecil. "Cuma sedikit. Ini tidak apa-apa."

"Bagaimana bisa seseorang memukuli putri negeri ini! Biar kuberi pelajaran brengsek itu!" Hayam Wuruk berdiri dengan amarah yang berkobar. Tidak terima jika adiknya dipukul sebegitunya.

"Tidak, Kanda! Sudah!" Nertaja menahan bahunya, kemudian berusaha mencegah pria itu. "Paman Mada sudah mengurusnya."

Ah, ya. Hayam Wuruk terlalu fokus pada Nertaja tadi, sampai melupakan sosok yang sedang bertarung melawan si perampok di sana.

Gajah Mada segera menghampiri mereka ketika selesai mengalahkan lawannya yang kini tangannya sudah diikat dengan kulit pohon dan dibiarkan tergeletak di tanah tak sadarkan diri.

"Kalian semua baik-baik saja? Maafkan hamba yang datang terlambat, Paduka. Hamba singgah sebentar ke rumah kenalan hamba di desa tadi. Seharusnya hamba fokus mengikuti Paduka saja. Sekali lagi maafkan hamba," ujarnya panjang lebar. Meminta maaf karena dia yang terlambat datang.

Hayam Wuruk menghela napas. Sejak kapan dia lupa tabiat Gajah Mada yang tidak akan membiarkannya pergi sendirian? Meski pria itu bilang tidak akan ikut, tapi Hayam Wuruk tahu Gajah Mada akan mengikutinya diam-diam. "Paman tidak terlambat. Aku bersyukur tidak terjadi hal yang lebih parah pada Dinda Nertaja. Jika Paman Patih tidak segera datang, aku tidak tahu akan jadi seperti apa nasibku."

Gajah Mada menghela napas lega, setelahnya menelengkan kepala ke kiri, menatap seseorang yang berdiri diam di belakang Hayam Wuruk dengan pedang berdarah di tangan. "Diajeng ... baik-baik saja?" [ ]

Thanks for reading.
Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro