CHAPTER 9. GIVE ME TIME
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
"Kita tak bisa membawanya ke Elorrio. Aku cemas pack milik Aldevaro akan melampiaskan dendam pada Alka," ucap Ravantino.
"Apa kau punya saran lain?" tanya Arlo tanpa ekspresi. "Aku ingin Alka segera mendapat bantuan dari Mateo. Hanya dia yang bisa membantu Alka."
"Kenapa kau terburu-buru ingin mengeklaimnya?" selidik Ravantino dengan senyuman samar di sudut bibir.
Arlo tak menjawab. Ia memilih fokus menatapku yang sudah membersihkan tubuh dan berganti pakaian.
"Lalu bagaimana dengan Aldevaro?" celetuk Ayna. "Javiero dan Alrico telah menyusulnya sedari tadi, tetapi sampai sekarang mereka belum kembali."
"Kenapa tidak kita biarkan Alka saja yang memutuskan?" tanya Cleona.
Arlo terus menatapku setelah mengacuhkan dan mendiamkanku sejak kami meninggalkan gudang tua, hingga tiba di kamar penginapan. Mataku tak kuasa memandanginya lama-lama. Padahal sesuatu di dalam diriku seakan meronta ingin memeluk lelaki itu dan berkata maaf.
Meskipun, aku tak tahu kenapa merasakan perasaan bersalah. Apakah itu sebuah kesalahan, bila menyukai seseorang yang membuatmu lebih nyaman?
"Kau ingin tetap di sini atau berangkat ke Elorrio bersamaku besok pagi?" tanya Arlo padaku. Nada suara lelaki itu terdengar dingin.
Aku menggigit bibir. "Aku ... butuh waktu .... Bisakah aku bertemu adikku lebih dulu?"
Arlo, Ravantino, Cleona, dan Ayna terdiam. Mereka saling berpandangan beberapa saat.
"Baiklah. Begitu saja untuk saat ini. Kita putuskan besok," ujar Arlo datar.
"Kau mau kuantar kembali ke pack?" tanya Ravantino penuh perhatian.
"Hei, bukankah seharusnya Arlo yang mengantarnya?!" cetus Ayna.
"Jika Arlo tak keberatan tentunya." Ravantino menatap dengan sikap santai ke arah Arlo.
"Terserah." Arlo bangkit dari sofa dan berjalan hendak meninggalkan kamar.
"Aku ingin kau yang mengantar!" seruku tiba-tiba.
Mataku bertemu tatapan Ravantino yang berkedip ke arahku sambil tersenyum menggoda. Ayna mengacungkan dua jempol padaku. Sementara itu, Cleona memberi kode agar aku mendekati Arlo.
Aku bangkit dengan jantung berdetak kencang. Rasa gugup memenuhiku saat melangkah mendekati lelaki itu. Arlo tampak menghentikan langkah dan diam menunggu. Ia berdiri membelakangiku.
"Ah, aku patah hati. Alka ternyata memilihmu, Arlo. Kau harus memperlakukannya dengan lebih baik," celetuk Ravantino. "Ayna, Cleona, tolong hibur aku."
"Bila kau ingin kami menari telanjang untuk menghiburmu, kau salah besar, Ravantino," celetuk Ayna.
"Hei, aku tak seburuk itu!" protes Ravantino.
"Kau memang seburuk itu," imbuh Cleona yang disambut tawa berderai dari mulut Ayna.
Aku mengabaikan obrolan ketiga orang itu. Pandanganku tertuju pada punggung Arlo. Aku menarik ujung sweternya dengan gerakan pelan dua kali. Ia menoleh. Mata kami bertemu. Kepalaku menunduk.
Maaf .... Aku hanya menyukai Ravantino sebagai teman baik. Ia satu-satunya yang bisa membaca pikiranku. Aku merasa lebih dekat dengannya karena memiliki kesamaan itu. Jangan salah paham padaku ....
Arlo tak menyahut. Aku menengadah, bertemu tatap dengannya lagi. Ekspresi lelaki itu sulit kumengerti.
"Arlo ...," gumamku, lebih hampir menyerupai bisikan.
Tak terdengar suara gaduh lagi. Aku rasa kami menjadi pusat perhatian kini. Arlo terlihat menatap sekilas ke arah belakangku. Ia menghela napas perlahan sebelum kembali memandangiku.
"Aku akan mengambil minuman beserta makanan lain untukmu dan Elvio," ujar Arlo. "Kau tunggu di sini saja dulu."
Kepalaku mengangguk patuh. Ada rasa lega di hati mendengar suara lembutnya lagi. Ia melangkah pergi meninggalkan kamar.
Aku segera berbalik dan berjalan menuju sofa kembali. Ravantino, Cleona, serta Ayna menyambutku dengan senyuman dan tatapan menggoda.
"Aku rasa dia sudah tak merajuk lagi, Alka. Jujur, ini pertama kali aku melihat sisi sensitif seorang Arlo," kekeh Ravantino. "Dari semua saudaraku, cuma ia yang paling susah dibaca isi pikirannya. Mungkin dia tak pernah berpikir." Lelaki itu lagi-lagi tertawa.
"Aku dari dulu selalu mengira Arlo seorang alpha aneh penyendiri yang tak terlalu peduli pada orang lain atau apa pun. Namun, melihat sikapnya tadi terhadap Alka, aku rasa dia lebih baik daripada Ravantino," celetuk Cleona.
"Hei, Adik ipar! Kau tak sopan pada kakak sepupu suamimu!"
Cleona menjulurkan lidah sebelum tertawa bersama Ayna. Ravantino memasang wajah masam sebelum ikut tertawa. Ia kemudian menyandarkan punggung ke kursi rotan yang ada di depan sofa.
"Aku mengkhawatirkan Javi," gumam Ayna. "Kalian tahu bagaimana sikap Aldevaro terhadapnya, bukan?"
"Jangan cemas. Selama Javiero tak memancing kekesalan Aldevaro, ia akan aman," sahut Ravantino.
"Justru itu yang kucemaskan. Apa yang dilakukan atau dikatakan Javi sering memancing kemarahan Aldevaro."
"Ada Alrico bersama mereka. Tenanglah," ujar Cleona.
Tak lama berselang, Arlo kembali memasuki ruangan. Ia tampak menenteng sebuah tas pendingin portabel dan juga kantong belanjaan berisi beberapa makanan. Aku buru-buru berdiri.
"Kau sudah siap? Ayo, berangkat," ajaknya sebelum berbalik lagi dan melangkah ke arah pintu.
Aku menatap Ravantino, Cleona, dan Ayna. Mereka memberikan anggukan diikuti senyuman. Kakiku segera melangkah cepat mengikuti Arlo.
***
Perjalanan berlangsung hening, hanya terdengar suara binatang malam bersahutan saat kami mulai meninggalkan Kota Mosqueruela. Arlo melangkah diam di atas tanah yang tak rata dan berbatu sambil menenteng kantong belanjaan dan tas pendingin portabel di kedua tangan.
"Sebenarnya kau tak perlu membawa minuman itu untukku. Aku bisa ...."
"Meminum darah manusia lain?" tukas Arlo tanpa menatapku.
Langkahku terhenti. "Kau tahu soal itu?"
Arlo ikut menghentikan langkah, lalu berbalik. Ia meletakkan tentengannya ke tanah. "Aku melihatnya, Alka. Saudara-saudaraku pun bisa mencium aroma darah manusia di mulutmu saat kami berupaya menyelamatkanmu. Mereka tak membahasnya karena menghargaiku. Namun, soal Aldevaro, itu hal yang berbeda. Aku tak bisa menyalahkannya."
"Aku terpaksa saat itu. Ayna dalam bahaya," ucapku dengan nada pelan.
"Aku mengira kau memiliki pengendalian diri yang cukup kuat. Itu bukan alasan bagimu untuk menganggap mengisap darah manusia saat kau terdesak adalah hal wajar, Alka," sahutnya.
Aku terdiam sesaat. "Kau marah padaku karena soal itu?"
"Tidak, aku juga kesal karena darah manusia membuat bekas lukamu menghilang. Kau tak membutuhkanku untuk menyembuhkanmu lagi. Selain itu, aku juga cemburu. Mate-ku mengagumi serigala lain, kau pikir itu mudah menenangkan serigalaku yang ingin mengamuk dan bertindak nekat mengeklaimmu di depan mereka?"
Mataku bertemu dengan tatapan gusarnya. "Maaf ...."
"Lupakan. Kau sudah memberiku penjelasan. Mungkin aku yang terlalu kekanakan. Alka, jika ada yang tak kau suka di diriku, jangan ragu untuk memberitahuku. Aku ingin hubungan kita berhasil. Kuharap kau juga begitu," ujarnya dengan nada melunak kali ini.
Mataku mengerjap. "Kau sangat baik padaku. Ini bukan soal dirimu, sungguh. Aku yang tak tahu diri dan belum cukup mengerti tentangmu. Aku minta maaf untuk itu."
"Mungkin kau butuh waktu. Aku pun perlu. Kita sama-sama tak ingin saling memaksakan diri, bukan?"
Aku terdiam. Apa maksud ucapannya? Kenapa aku berpikir Arlo seperti ingin melepaskanku?
"Kita harus segera melanjutkan perjalanan. Akan lebih mudah jika kita menggunakan kekuatan masing-masing agar tiba lebih cepat ke pack-mu. Bisakah kau membawa minuman dan kantong berisi makanan itu? Aku tak mungkin melakukannya dengan tubuh serigalaku."
Sehabis berkata itu, ia melepaskan sweter putih dan celana panjang di tubuhnya sebelum bertransformasi. Ia menatapku sejenak dalam wujud serigala cokelat gelap bermata biru.
Arlo kemudian mendorong pakaian di tanah ke arahku dengan moncong serigala. Aku segera meraih dan tanpa berpikir panjang memakai sweter, lalu mengikatkan celana ke pinggangku.
Mata serigala Arlo tampak biru berkilau saat menatapku dalam balutan sweter miliknya yang kebesaran di tubuhku. Aku mendekat. Tatapan kami bertemu.
Aku menyentuhkan jemariku, mengusap-usap lembut bulu di leher dan punggungnya. Wajahku mendekat, menempel di sisi dada serigala Arlo.
Ia merintih dan mengeluarkan helaan napas panjang. Aku setengah merangkulnya sambil memejamkan mata.
Jangan menyerah terhadapku sekarang .... Aku pun tak akan menyerah terhadapmu, Arlo ....
Ia menyentuh pipiku dengan ujung moncong, lalu menggesek-gesekkan pipinya ke wajahku sembari merintih pelan. Dia merenggangkan tubuh dariku.
Kita harus segera ke pack-mu.
Sehabis berkata itu, Arlo segera berbalik dan berkelebat pergi menuju hutan alam desa pegunungan Maestrazgo, kawasan padang gurun Aragon. Ada rasa sesak di hatiku merasakan kebimbangan Arlo tentangku.
Aku menyelempangkan tas pendingin ke bahu sambil menenteng kantong plastik, lalu memelesat mengikutinya. Tanpa kusadari mataku berkaca-kaca.
***
Kami tiba hampir bersamaan. Pack tampak sunyi senyap. Hanya ada beberapa penjaga yang berjaga-jaga. Mereka menunduk hormat saat melihatku dan serigala Arlo.
Arlo segera kembali ke wujud semula. Ia mengambil celana yang terikat di pinggangku dari arah belakang dan segera kembali berhadapan setelah dia mengenakannya. Pandangan kami beradu beberapa saat.
Aku menatapnya bingung saat Arlo tak meminta sweter di tubuhku. Tanganku bergerak pelan hendak melepas, tetapi urung saat dia menggeleng ke arahku.
"Kau tak mau memakainya lagi ... karena tak suka aromaku?" tanyaku sendu.
Arlo tertawa kecil. "Alka, andai saja kau tahu, aromamu selalu membuatku gila saat berdekatan denganmu. Terutama saat kau menginginkanku. Serigala lain pun sangat tahu itu."
Keningku berkerut. "Lalu kenapa kau tak mau ...."
Ia menatapku serius. Matanya berkilau di suasana temaram pack yang hanya diterangi cahaya bulan. Untunglah, kegelapan tak menyulitkan pandangan serigala, juga vampir.
"Aku suka melihat kau memakai sweterku. Aku menyukai aromaku tercium di tubuhmu," jawabnya.
Sebuah senyuman simpul terukir di bibirku. Prasangkaku ternyata terlalu berlebihan. Dari kata-katanya, ia tak terdengar berniat melepaskan.
"Aku ingin memberimu waktu, jika kau mau. Aku tak ingin memaksamu," imbuhnya lagi.
Aku berpikir sejenak. Mungkin memang lebih baik begitu. Arlo benar, aku harus benar-benar yakin akan perasaanku padanya.
"Berikan aku waktu malam ini untuk berpikir. Aku akan memberimu keputusan besok pagi," ujarku. Aku tak butuh waktu lama. Karena, aku rasa hatiku tahu apa jawabannya.
Ia mengangguk. "Tidurlah. Jangan membebani pikiranmu. Apa pun jawabanmu besok, aku akan menerima itu."
Arlo memandangiku lagi lebih lama. Jantungku berdebar keras menerima tatapannya. Aku ingat pertemuan pertama kami dan segala yang ia lakukan buatku. Teringat momen mating, seketika aku tersipu.
"Aku bisa memberimu jawaban malam ini juga, tetapi aku tak mau kau beranggapan aku mengambil keputusan karena perasaan bersalah," gumamku sambil menunduk.
"Aku mengerti." Arlo meraih anak rambutku yang berayun dimainkan angin malam, lalu menyelipkannya ke balik telinga.
Ia mengangkat daguku perlahan. Mataku mengerjap pelan. Dia menatap intens sebelum bergerak maju.
Aku sontak memejamkan mata, memasrahkan bibir untuk ia sentuh. Namun, Arlo malah mengecup lembut kedua mataku bergantian. "Aku sudah menyukaimu sejak pertama aku mendapat penglihatan tentangmu, Alka ...."
Tangan Arlo membelai rambutku dan mengusap pipiku dengan punggung jari. Aku tak dapat menahan diri lagi.
Kedua tanganku bergerak cepat merangkul punggungnya erat. Sisi wajahku menempel ke dada telanjang lelaki itu. Kurasakan usapan Arlo kini di kepalaku.
"Aku ingin kau percaya padaku saat aku memberi jawaban padamu besok. Itu benar-benar sudah kuputuskan dengan matang," ucapku lirih.
Arlo mengecup pucuk rambutku sambil terus membelai. "Aku percaya ...." Ia mendesah. "Aku telah memberimu obat dalam minuman untuk menunda heat-mu. Kau aman malam ini."
Aku mengangguk. Kami tenggelam cukup lama dalam rangkulan, hingga ia berpamitan pulang ke penginapan.
Entah kenapa, aku merasa begitu berat melepasnya. Seakan aku takut, kami tak akan bertemu lagi ....
***
Hmm ... kira-kira apa yang akan terjadi ya? Tunggu kelanjutannya ^^
Vote dan komen saya nantikan. Kritik dan saran saya persilakan.
Sampai jumpa! <3
07/06/2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro