Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 8. FIRST HUMAN BLOOD

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Aku tersentak kaget, spontan menegakkan punggung saat mendengar suara nampan yang dilempar kasar ke lantai. Kepalaku menunduk menatap dua piring masing-masing berisi satu iris daging panggang ukuran sedang dan kentang goreng.

Mataku melirik ke arah Ayna. Ia mendengkus, mendongak menatap Martin yang mengamati kami dengan wajah masam.

"Bagaimana cara kami makan, Dungu? Buka ikatan!" ujar Ayna.

Martin tertawa kecil sambil menyeringai. "Aku ingin sekali mengetahui apa fungsi mulutmu selain membentak dan memaki orang lain."

"Mendekatlah, aku akan tunjukkan," jawab Ayna sambil tersenyum manis memperlihatkan giginya.

Aku melebarkan mata, membaca rencananya. Gadis itu sungguh gila!

Martin mendekat sambil tersenyum lebar. Ia berdiri di hadapan Ayna sambil berkacak pinggang.

"Ayolah, tunjukkan," ucapnya.

Ayna bergerak cepat menggigit paha Martin. Lelaki itu meraung setinggi langit.

"Ayna, awas!"

Belum sempat Ayna bereaksi, Martin mendaratkan tamparan keras ke pipi kiri gadis itu. Gigitan pun terlepas.

Ayna meludah ke arah Martin. Wajah lelaki itu merah padam. Tangannya mengusap-usap bekas gigitan dan membersihkan bekas ludah.

Martin bergerak mundur. Ayna mencibir dan tersenyum puas.

"Wanita laknat! Keparat kau!" maki Martin.

"Kau sendiri yang bilang ingin tahu," ucap Ayna santai.

"Ayna, hentikan. Kau dalam bahaya!"

Martin bergerak maju kembali, lalu menyeret kaki Ayna yang terikat. Gadis itu menjerit sambil meronta-ronta dan menendang. Namun, tenaganya tak bisa menandingi kekuatan lelaki itu.

Aku berlutut sebelum mencoba bangkit berdiri dengan susah payah. Kakiku melompat-lompat berusaha mengejar Martin yang membawa Ayna.

Ayna terus meronta-ronta dan berusaha menggerakkan kedua tangannya yang terikat di belakang punggung. Martin membangunkannya hingga berdiri membelakangi, lalu mendorong, dan menekan kepalanya ke meja penuh barang berserakan.

Gadis itu terus meronta dan menjerit. Martin menggunakan tangan lain untuk membuka ritsleting celananya.

Aku bisa membaca pikiran kotor lelaki itu terhadap Ayna. Keparat, aku tak akan membiarkannya!

Pandanganku samar. Napasku memburu. Aku memilih mati jika berada di situasi berbeda. Namun, kini aku tak punya pilihan lain.

Aku menerjang bersamaan dengan Martin hendak membuka bagian bawah gaun Ayna. Kukalungkan tanganku yang terikat ke tubuhnya. Tubuhku menggelayut di punggung lelaki itu yang tengah berusaha menjatuhkanku.

Tanpa berpikir apa-apa lagi, kutancapkan gigi taring vampirku ke leher Martin. Ia meraung dan meronta-ronta.

Aku mengisap kuat darah di tubuhnya. Rasa manis dan lezat yang tak pernah kurasakan memenuhi kerongkongan.

Tak kupedulikan jeritan Martin yang membahana. Aku tak bisa melepaskan sebelum darah di tubuhnya kering.

Sebuah tarikan kuat merenggutku dari tubuh Martin. Lelaki itu terkulai dan jatuh ke lantai dengan mata membeliak dan leher nyaris putus. Apakah aku yang melakukannya?

Mulutku menggeram tanpa sadar, lalu bergerak spontan memutuskan ikatan. Aku berbalik menyerang sosok yang menarikku dari mangsa pertamaku.

"Berhati-hatilah, Kane! Dia milikku!" teriak seseorang.

"Dia putriku, Allan! Aku lebih tahu apa yang harus kulakukan!"

Aku sontak berhenti saat mendengar ucapannya. Kakiku melangkah mundur sambil menggeram.

Dia ayahku? Vampir yang memerkosa mamaku?

"Kemarilah, Alka. Aku papamu. Kau milik kami, klan oscuro. Hanya aku yang bisa membantu dan melindungimu," ujar Kane.

Lelaki bertubuh kurus tinggi itu berambut cokelat keemasan. Ia mengenakan baju hitam dengan ritsleting panjang hingga leher.

Sebuah jaket beledu berwarna merah berpadu satu kancing bordir abu-abu, senada dengan kerah yang tinggi dan hiasan di pergelangan tangan turut melengkapi. Mata birunya yang cekung tajam mengawasi.

Aku menggeram lagi. Lidahku menjilat sisa darah di bibir. Hasratku muncul kembali.

"Alka, kendalikan dirimu!" seru Ayna dengan suara bergetar.

Aku hampir melupakan wanita itu. Ia masih terikat, terduduk di depan kaki meja. Wajahnya pucat dengan mata berkaca-kaca memandangiku.

Aku mendekati Ayna. Namun, ia malah beringsut menjauh. Entah kenapa aku merasa kecewa melihat sikapnya.

"Alka, kau tak boleh mengisap darahnya!" teriak seseorang.

Aku menoleh bingung ke asal suara. Lelaki yang tadi dipanggil Allan oleh ayahku tampak mengamatiku cemas.

Ia memiliki wajah rupawan dengan alis tebal, mata indah berwarna abu-abu dipayungi bulu mata lentik, ditambah hidung yang mancung. Bibirnya tampak merah di kulit yang putih pucat.

Berbeda dari ayahku, ia mengenakan pakaian formal seperti orang kantoran. Rambut gelap lelaki itu tersisir rapi ke belakang. Dia berusaha melangkah penuh hati-hati mendekatiku.

"Alka, dengarkan aku. Kau tak boleh mengisap darah wanita itu. Ia beracun buat oscuro," ujarnya sebelum melirik sekilas ke arah ayahku. "Kane! Lakukan sesuatu!"

"Aku rasa pengendalian dirinya cukup bagus, Allan," jawab Kane.

Allan menoleh dengan wajah tampak kesal. "Pangeran Allan. Begitulah seharusnya kau menyebutku. Meski kau yang mengubahku sebagai oscuro, aku tetaplah seorang bangsawan yang memiliki posisi lebih tinggi darimu!" Ia menunjuk ke arahku dengan ujung dagunya. "Kau sebut cara ia menghabisi korbannya tadi itu sebagai pengendalian diri yang bagus?!"

"Ia tak akan menyerang wanita itu, percayalah," gumam Kane sambil melangkah ke arah Allan. Ia berhenti sejenak saat lelaki itu kini memberinya tatapan tajam sebelum melanjutkan, "Pangeran Allan."

Mulutku kembali menggeram ke arah mereka. Pikiranku memberitahu harus segera pergi dari sini. Aku bergerak cepat hendak menyambar tubuh Ayna. Namun, Allan berkelebat lebih dulu, menarikku dalam pelukannya.

"Kau tak boleh pergi. Kau milikku," desisnya.

Aku meraung dan meronta, melemparkan ia ke dinding. Dia cepat berbalik kembali ke arahku, mengempaskan tubuhku ke lantai, menahan leherku.

"Berhati-hatilah, Pangeran! Ia vampir muda! Darah manusia tadi adalah darah pertamanya! Jangan lupa pula, ia seorang hibrida!" seru Kane.

Allan menggeram sambil memperlihatkan taringnya padaku seakan ingin aku patuh. Aku menghantamkan kepalaku ke wajahnya. Kami pun bergumul, saling lempar dan menghantam bertubi-tubi.

Entah kenapa aku menyukai kekuatanku saat ini, tetapi bukan berarti aku akan ikut bergabung ke klan oscuro seperti yang mereka inginkan. Kakiku bergerak cepat menendangnya. Namun, ia berhasil menangkap dan ganti melemparkanku ke meja hingga hancur berantakan.

Ayna memekik seraya bergulingan menjauh. Aku menggeram, lalu menerjang lagi ke arah si pangeran.

Kami saling serang dan bergantian mengempaskan atau melemparkan tubuh ke sembarang arah. Ia terlihat mulai kewalahan.

"Gunakan kekuatanmu! Jangan terlalu bersikap lunak! Ia milikmu! Tunjukkan itu padanya!" teriak Kane.

Tak salahkah pendengaranku? Bukankah aku putrinya? Aku meraung, menyerang semakin gencar.

"Buta!" teriak Allan tiba-tiba.

Seketika pandanganku menjadi gelap. Aku panik. Langkahku seketika kalang kabut tak tentu arah. Tubuhku membentur seseorang yang segera memelukku erat sambil membelai rambutku.

"Kau milikku, Alka .... Tenang dan diamlah. Kau bisa melihat kini."

Penglihatanku kembali. Namun, ragaku mematung. Mungkin hidupku akan berakhir hari ini. Keinginanku untuk menjadi manusia serigala seutuhnya kemungkinan hanya mimpi.

Aku hanya bisa pasrah saat Allan memanggulku. Tubuhku benar-benar tak bisa kugerakkan.

"Tidak! Mau kau bawa ke mana dia?! Apa yang akan kau lakukan padanya?! Lepaskan Alka!"

Kudengar teriakan Ayna. Mataku berkaca-kaca. Mungkin ini akhir hidupku dan dia. Aku benci saat tak berdaya, tetapi aku bisa apa?

Suara pintu yang hancur tiba-tiba terdengar, diikuti oleh lolong, raungan, dan geraman dari beberapa serigala. Suasana sempat berubah gaduh dan kacau sebelum mendadak semua seakan terhenti.

Yang kuingat adalah saat tubuhku terlempar menghantam benda keras. Kusadari diriku dalam posisi duduk tersandar ke dinding. Tanganku menyentuh lantai yang berdebu. Kucoba beringsut, tetapi tubuhku tak bereaksi. Apa yang terjadi tadi?

Mataku melebar menatap lima serigala yang tengah terlibat pergumulan dengan dua vampir. Ayna tampak sibuk mencari sesuatu setelah ikatannya dibebaskan oleh salah satu serigala.

Dia kemudian menemukan sebilah belati di kaki Martin, lalu tanpa berkedip menorehkan ujung benda itu ke telapak tangan. Mataku hampir melompat. Kenapa wanita itu melukai tangannya sendiri?

Ayna menyapukan darahnya ke setiap sisi belati itu. Ia segera berancang-ancang sambil mengamati pergumulan.

Kane tengah bertarung dengan serigala berbulu hitam kebiruan bermata biru dan serigala putih kecokelatan dengan mata keemasan. Sementara itu, Allan dikeroyok tiga serigala masing-masing berbulu cokelat gelap bermata biru, cokelat terang dengan mata hijau, serta serigala berbulu hitam sangat tebal dan memiliki mata gelap.

Aku mengernyit mengamati penampilan para serigala itu. Mereka tampak berbeda dan jauh lebih besar daripada Alpha Ander. Tatapanku kembali beralih ke Ayna. Ia sungguh membuatku khawatir sekaligus penasaran.

"Sial! Maaf, Javi Sayang!" seru Ayna saat lemparannya ke arah Allan luput, malah hampir mengenai serigala berbulu hitam tebal. Makhluk itu pun terdengar menggeram pelan sejenak ke arahnya sebelum kembali terjun ke pertarungan.

"Buta!" Pada suatu kesempatan, Allan berteriak lantang pada serigala berbulu hitam tebal.

Serigala itu kelimpungan seketika. Ia hanya berputar-putar kebingungan.

"Ilusi impian!" teriak Allan kembali pada serigala cokelat terang bermata hijau. Makhluk itu pun terpaku seakan tengah melihat sesuatu di hadapannya.

Serigala cokelat gelap bermata biru dengan cepat menerjang Allan. Ia berusaha keras hendak menggigit dan mencakarnya. Namun, vampir itu begitu gesit. Mereka bergumul sangat sengit.

Mata Allan tampak merah kini. Ia menoleh pada Kane. "Kane, aku tak bisa bertahan lebih lama lagi! Kita harus pergi!"

Serigala cokelat gelap dan berbulu hitam menyerang Allan di saat bersamaan, tapi malah saling bertubrukan. Serigala berbulu gelap bergerak tak tentu arah. Makhluk itu melolong dalam kepanikan. Allan perlahan melangkah mundur, terlihat mencari cara untuk kabur.

"Javi, menyingkir! Biar Arlo yang menghabisinya!" teriak Ayna.

Namun, serigala hitam malah terus menubruk serigala cokelat gelap setiap ia bergerak. Serigala putih kecokelatan pindah dan langsung menyerang Allan. Aku mencoba berkonsentrasi.

Arlo, kau mendengarku?

Serigala cokelat gelap bermata biru melolong. Ya, aku mendengarmu.

Oh, aku tahu wujud serigalanya sekarang.

Arlo, kau mundur dulu, aku akan membantu mengamankan Javi.

Baiklah, aku sudah mencoba menghubunginya lewat telepati, tetapi ia terlalu emosi untuk mendengarkanku.

Aku akan mencoba berkomunikasi dengannya.

Ia segera menurutiku. Aku kembali fokus ke dua serigala lainnya.

Javi ....

Serigala hitam menggeram, berbalik dan berputar seakan tengah mengejar ekornya sendiri sambil celingukan. Siapa kau?!

Aku tersenyum tanpa sadar.

Berhenti sekarang! Ya, seperti itu. Kau bergerak maju ke depan. Ayna ada di hadapanmu.

Serigala itu segera mengikuti arahanku. Ia menjilat-jilat wajah Ayna saat wanita itu mengusap-usap bulunya.

Sadarkan Alrico. Serigala Arlo menatapku sebelum kembali terjun ke pertarungan.

Alrico ....

Serigala berbulu cokelat terang bermata hijau berkilau melolong sambil melompat-lompat seakan ingin menangkap sesuatu. Aku bisa melihat apa yang ia lihat. Dua serigala kecil tampak berlarian bersama Cleona dan lelaki berambut keriting.

Tenang, ini aku, Alka. Kau harus mengosongkan pikiranmu. Kenyataan akan lebih indah daripada sekadar ilusi.

Ia pun melolong seakan menjawab arahanku. Serigala itu tersadar dan segera terjun kembali ke pertarungan antara Allan dan dua serigala lainnya.

Ayna menghampiriku kini sambil memegangi bulu di leher serigala hitam yang mengikutinya. Allan melihat itu, lalu melemparkan serigala Alrico menghantam kedua serigala lain sebelum berbalik hendak menerjang ke arahnya.

"Pangeran Allan! Menjauh dari wanita itu! Pergilah lebih dulu dari sini!" teriak Kane.

Allan menghentikan gerakan seketika dan berubah memelesat pergi menerobos dinding kayu. Ayna tampak kesal. Ia ingin mengejar, tetapi urung begitu mendengar serigala hitam menggeram saat dia melepaskan pegangan tangannya.

Perhatian kini terpusat pada Kane yang tengah dikeroyok empat serigala. Aku baru menyadari ukuran serigala berbulu hitam kebiruan ternyata paling besar di antara serigala lainnya.

Pertarungan mereka berlangsung alot. Kane sepertinya selalu mampu membaca gerakan serangan keempat serigala. Hanya si bulu putih kecokelatan yang tampak bisa mengimbangi. Mereka terlihat saling mengetahui arah serangan.

Serigala berbulu gelap kebiruan berubah wujud menjadi manusia berambut hitam sedikit bercampur biru tanpa busana. Aku sontak memejamkan mata.

Aku tak tahu apa yang terjadi. Terdengar suara bentakan keras. Mataku spontan membuka. Dinding samping lainnya hangus terbakar dalam api kebiruan. Kane buru-buru bangkit dan berkelebat pergi menjebol atap tanpa ada yang sempat mencegahnya.

Serigala putih kecokelatan kembali ke wujud manusia yang kukenal. Ravantino. Ia pun tak berbusana. Aku mengalihkan tatapan dengan pipi memanas.

"Kenapa kau mendadak menyerangnya dengan kekuatan api birumu, Aldevaro? Kita seharusnya fokus menangkapnya hidup-hidup!" protes Ravantino.

"Aku tak bisa banyak berpikir! Dia membuatku marah dan kesal! Ia pembunuh orang tuaku! Dia selalu tahu apa akan kulakukan setiap hendak menyerang!" jawab lelaki yang dipanggil Aldevaro gusar. "Kenapa kau malah membiarkannya pergi?!"

"Ia bergerak pergi dengan cepat sebelum sempat kucegah! Kau seharusnya tak mencoba membunuhnya dengan api biru! Kekuatanmu belum maksimal!"

Ayna tampak berlari masuk dengan napas tersengal. Kapan ia keluar? Dahiku mengernyit. Wanita itu membawa sekantung plastik berisi pakaian.

Berturut-turut serigala lainnya juga ikut berubah wujud. Ayna membagikan masing-masing sebuah celana pendek dan panjang pada mereka, lalu melemparkan sisanya ke Aldevaro dan Ravantino.

Semua manusia serigala itu kini bercelana dan bertelanjang dada. Arlo menghampiriku. Ia menatap cemas sambil menekan beberapa titik di tubuhku.

Lelaki itu mengernyit sebelum menoleh ke arah teman-temannya. "Alrico! Jika kau sudah selesai dengan Javiero, kemarilah! Aku butuh bantuanmu!"

Lelaki berambut keriting berkulit sedikit gelap menghampiri Arlo. Matanya berbinar jenaka saat menatapku. "Butuh bantuan?"

"Dia juga dihipnotis dengan kemampuan tingkat tinggi. Aku tak bisa memulihkannya. Kau harus menghapus hipnotisnya seperti yang kau lakukan pada Javiero," ujar Arlo.

Alrico segera memegang kedua bahuku. Mata hijaunya berkilau saat menatapku. "Lupakan perintah sebelumnya. Tubuhmu terbebas kini."

Seketika aku bisa menggerakkan tangan kembali dan menepis pelan pegangan Alrico dari bahuku. "Terima kasih."

"Alka, kau baik-baik saja?" tanya Ravantino yang juga ikut mendatangiku. Tatapannya tampak khawatir.

Aku tersenyum dengan mata fokus menatap lelaki itu. "Ya, aku baik-baik saja. Aku mengenali serigalamu sekarang."

Ravantino balas tersenyum menggoda. "Kau menyukai serigalaku?"

Aku tertawa kecil. "Serigalamu hebat juga saat meladeni Kane, ayah vampirku."

Ekspresi Arlo terlihat janggal dan sedikit murung. Para lelaki lainnya juga terlihat saling bertukar pandang.

Aku berdeham. "Mmm ... maksudku, serigala kalian semua terlihat hebat dan lebih besar daripada serigala yang biasa kulihat di pack-ku."

"Dia ayahmu?" tanya Aldevaro sambil bergerak maju ke arahku dengan ekspresi geram.

"Aldevaro ...." Ravantino menahan dada lelaki itu.

"Bukan salah Alka jika ia terlahir karena oscuro pembunuh orang tuamu," gumam Arlo pada Aldevaro.

"Ia tetap putri vampir keparat itu. Seharusnya aku tak menolong mate-mu," desis Aldevaro.

Ia hendak bergerak ke arahku, tetapi dengan cepat dihadang oleh Arlo. Mereka berdiri berhadapan, saling memamerkan taring dan menggeram.

"Aldevaro! Tahan emosimu! Kendalikan serigalamu!" tegur Ravantino.

Aldevaro menatap Arlo tajam sebelum berbalik dan berlalu pergi. Ravantino mencoba meraih bahu Arlo, tetapi lelaki itu malah menghindarinya.

Aku tercenung sejenak. Mataku kemudian bertemu dengan tatapan tajam Arlo yang seakan menembus kepalaku. Entah kenapa ada perasaan bersalah di hatiku. Tak hanya pada Aldevaro, tetapi juga pada Arlo.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro