Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 6. TAKEN

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Arlo bangkit, mengenakan kembali kemeja putih dan celana panjang hitam miliknya. Ia bergerak mengambil sebungkus darah dari kulkas portabel, membuka bungkusan, dan menuangkan isi cairan merah kental ke gelas berisi sangria.

Dia mengaduk minuman itu perlahan seraya menatapku. Aku buru-buru menundukkan wajah, menutupi tubuhku dengan selimut.

Arlo melangkah mendekat. Ia mengulurkan gelas ke depan wajahku.

"Minumlah. Habiskan. Kau pasti sangat haus dan lapar. Aku akan membelikanmu sesuatu. Kau beristirahat saja dulu," ujarnya.

Aku meraih minuman tanpa berani menatap matanya, lalu memberi anggukan. Ia menunggu sampai aku menenggak minumanku hingga tandas.

Arlo mengambil kembali gelas di tanganku sebelum meletakkannya ke nakas. "Aku akan segera kembali. Kau tetap di sini."

Aku lagi-lagi menghindari tatapannya dan hanya memberi anggukan. Dia mengelus-elus rambutku beberapa saat sebelum melangkah pergi meninggalkan ruangan.

Setelah mendengar pintu tertutup, aku menjatuhkan diri ke ranjang. Mataku memejam dan mulut pun mendesah pelan.

Teringat perlawananku terhadap dominasinya, aku menangkupkan kedua tangan ke wajah. Memalukan! Sepertinya aku tak akan sanggup beradu tatap lagi dengan mate-ku.

Terdengar ketukan tergesa-gesa. Aku berniat bangkit sebelum pintu terbuka diikuti oleh kemunculan Ayna dan Cleona. Kedua wanita itu menatapku dengan mata lebar. Aku spontan berusaha menutupi leherku dengan selimut meski sedikit terlambat.

"Astaga! Dia tak juga mengeklaimmu?!" tanya Ayna dengan nada hampir histeris.

Cleona bengong dan seperti bingung mau berkata apa. Ia hanya membuka mulut tanpa berkata-kata.

"Arlo bilang, ia belum bisa mengeklaimku sekarang, tetapi ia mengakuiku sebagai miliknya," jawabku pelan.

"Apa?!" Ayne berpaling ke arah wanita di sampingnya "Kau dengar, Cleona? Apa dia sengaja mempermainkan Alka?!"

"Ayna, kita belum tahu apa alasan Arlo. Aku yakin dia tak bermaksud begitu," ujar Cleona.

"Di mana dia? Aku butuh penjelasannya!"

Ayna berbalik dan melangkah cepat keluar ruangan. Cleona menatapku sejenak sebelum mengikuti langkahnya seraya menutup pintu kamar.

Aku mengembuskan napas perlahan setelah dua wanita itu pergi. Kuharap Arlo akan baik-baik saja.

Perlukah aku mandi sekarang? Aku pun beranjak dan turun dari ranjang.

***

Entah berapa lama aku berendam sebelum memutuskan keluar dari bak dan mengeringkan tubuh dengan handuk. Kukenakan jubah mandi, lalu melangkah keluar pintu.

Aku berjalan menuju ranjang sambil mengusap sisa air di rambut dengan handuk. Langkahku mendadak berhenti saat melihat Arlo duduk menunggu di sofa putih.

Sepiring makanan terlihat di atas meja kaca berbentuk bundar. Di sampingnya terdapat seteko minuman sangria dan sebuah gelas kristal tanpa gagang yang kosong. Keningku berkernyit melihat menu makan malamku.

"Itu apa?" tanyaku.

"Empanada," jawabnya singkat sambil mengamatiku. Ia berdiri kemudian, mengambil alih handuk dari tanganku dan mulai membantu mengeringkan rambutku.

"Aku suka rambutmu," gumam Arlo.

Aku menahan diri untuk tidak menatapnya. "Apakah itu berarti ... kau tak menyukai mataku?"

Gerakannya terhenti. "Kenapa kau berpikir begitu? Aku suka semua yang ada di dirimu. Rambut, wajah, tubuh, bahkan caramu tersenyum, dan saat menatapku malu-malu. Berhentilah mempermasalahkan matamu. Tidak ada yang aneh menurutku."

Dia menghela napas, menyadari tak ada tanggapan dariku. "Itu heterochromia, sesuatu yang sebenarnya tak aneh atau buruk. Kau cuma memiliki sepasang mata berwarna beda. Kau justru terlihat unik, istimewa, bukan aneh, buruk, atau menakutkan."

Ia kembali mengusap-usapkan handuk ke rambutku, lalu berhenti setelah memastikannya cukup kering.

"Duduklah," ujarnya. Dia beranjak, menaruh handuk kembali ke kamar mandi.

Aku mendudukkan diri di sofa. Arlo duduk di sebelahku. Ia meraih sebuah empanada dan menyodorkan roti isi itu ke mulutku.

Tanpa menatap matanya, aku membuka mulut, dan menggigit kecil makanan itu. Rasa kentang berisi daging giling berbumbu segera bermain di lidahku.

Kenapa ibuku tak pernah membuat ini untukku? Ah, mungkin karena memanggang daging jauh lebih mudah dan cepat daripada membuat makanan seperti empanada.

"Kau suka?" tanyanya penuh perhatian.

Aku mengangguk pelan. Kali ini mata kami beradu.

Arlo tersenyum sebelum mengalihkan pandangan. "Aku hanya ingin kau mencoba sesuatu selain daging panggang. Di pack-ku nanti, kau mungkin akan mencicipi makanan yang jauh lebih asing bagi lidahmu."

Mataku masih menatapnya beberapa saat. "Kapan kau akan membawaku ke sana?"

"Setelah urusan di pack-mu selesai," jawabnya santai.

"Apa yang sedang kalian lakukan di pack-ku?"

Arlo tersenyum, menatapku lagi. "Mempersiapkan Elvio untuk jadi alpha di sana. Itu hak adikmu, bukan?"

"Elvio akan jadi alpha? Dia tak akan ikut denganku ke pack-mu?"

Arlo tampak berpikir sejenak. "Kau ingin dia ikut denganmu? Kau tak mau ia jadi alpha di Moon Valley?"

Mataku memicing ke arahnya, diikuti alis yang bertaut. "Kau seharusnya bertanya itu lebih dulu padaku sebelum memutuskan sendiri bersama teman-temanmu."

"Alka ... kupikir kau akan senang bila ...."

"Bisakah kau menghargai pendapatku? Tolong, jangan pernah membuat keputusan tanpa bertanya padaku. Aku sudah cukup muak mendapat perlakuan buruk selama ini. Kuharap kau tak melakukan hal sama."

Arlo menghela napas. "Baiklah. Aku akan bicara padamu lebih dulu sebelum mengambil keputusan apa pun." Matanya mengamatiku intens. "Kenapa kau tak mau adikmu jadi alpha?"

"Aku tak mau meninggalkan adikku di neraka itu bersama sekumpulan orang biadab!" Napasku turun naik dengan cepat. Mataku menatap nyalang. Tanganku mengepal.

"Matamu ... memerah," gumam Arlo. "Sama seperti saat kau lapar dan ketika menyerangku di masa heat tadi. Alka ... kau tahu siapa ayah kandungmu?"

Mataku mengerjap cepat. "Maaf, aku tak bermaksud begitu. Aku biasanya mampu mengontrol diriku saat lapar dan haus akan darah, tetapi aku benar-benar tak sadar kala ...."

Arlo memegang bahuku. "Tidak apa-apa. Aku hanya perlu tahu, siapa ayah kandungmu."

Aku menggeleng lemah. "Mama tak memberitahu secara detail. Aku hanya pernah mendengar saat dia berbicara dengan Luis soal lelaki yang ... menodai kehormatannya. Ia menyebut oscuro ...."

"Ternyata benar. Mamamu adalah alpha wanita yang dulu ditolong oleh Alpha Javier ...," gumam Arlo.

"Benarkah? Berarti mamaku berutang budi padanya. Aku harus membayar utang itu." Aku memandanginya penuh harap. "Katakan padaku, di mana aku bisa menemukan Alpha Javier?"

Arlo mengalihkan pandangan ke arah lain seraya mengembuskan napas berat. "Ia sudah tiada. Dia dan istrinya tewas setelah menolong mamamu."

Mataku berkaca-kaca. "Aku tak tahu soal itu ...."

"Mungkin mamamu punya alasan sendiri tak memberitahumu. Jangan terlalu dipikirkan. Kau bisa bertemu dengan putra mereka nanti," ujar Arlo.

Aku mengernyit. "Di mana? Siapa?"

"Alpha Aldevaro, salah satu yang membantu adikmu sekarang di pack," jawabnya.

Mulut dan mataku melebar. Arlo tersenyum sambil meraih teko, menuang isinya ke gelas minuman, lalu menggesernya ke arahku.

"Habiskan."

Aku menurut tanpa membantah. Kuhabiskan minuman hingga tak tersisa. Arlo menatap puas. Ia mengambil gelas dari tanganku dan menaruhnya di meja.

"Bagaimana orang-orang di pack-mu? Kau yakin mereka akan menerimaku?" tanyaku tiba-tiba.

Ekspresinya seketika berubah, tetapi segera cepat berganti dengan senyuman ramah. Ia memosisikan diri menghadapku.

"Mereka pasti akan menerimamu .... Hanya saja, kau harus menjalani sesuatu terlebih dahulu," ucap Arlo pelan dan hati-hati.

Aku mengerutkan kening. "Sesuatu?"

"Itu akan terjawab nanti ketika kita bertemu Mateo," jawabnya.

"Apakah ini ... soal ... serigalaku?" Mataku mengerjap cepat. Jantung pun memacu semakin laju.

Dia membutuhkan beberapa saat sebelum mengangguk perlahan. "Tapi bukan itu saja. Ini juga soal oscuro-mu."

Aku menggigit bibir, menatapnya cukup lama sebelum memberikan anggukan lemah. "Aku mengerti ...."

"Aku tak bisa mengeklaim dirimu sampai Mateo melakukan ... sesuatu ...."

"Aku tahu dan aku paham!" tukasku dengan nada sedikit tinggi. Kenapa aku harus emosi? Aku memalingkan wajah ke arah lain.

Ia menyentuh tanganku. "Tenanglah, aku telah melakukan mating denganmu dan tubuhmu kini bercampur dengan aromaku. Itu cukup untuk menjauhkan para serigala pejantan sementara. Yang aku cemaskan hanya satu ...."

Aku menoleh kembali ke arahnya. "Apa?"

"Jika kau memiliki mate vampir dan ia berusaha memilikimu."

***

Kata-kata Arlo terus terngiang di telingaku. Masalahku bertambah. Belum cukup soal warna sepasang mata yang berbeda, kondisiku sebagai hibrida, kesulitan berubah wujud jadi serigala, sekarang ditambah kemungkinan memiliki pasangan dari vampir juga.

Aku ingin berteriak rasanya. Kepalaku berdenyut tak henti sejak Arlo memberitahuku. Kuraih teko dan menuangkan sangria ke gelas dan langsung kuteguk hingga tandas sebelum menuangkannya kembali.

Arlo berharap aku tak terlalu lapar atau haus saat heat-ku muncul kembali. Karena itu, aku berniat menghabiskan isi teko agar aku tak menyusahkannya.

Isi teko masih sisa seperempat, ketika hawa panas mulai memenuhi tubuhku dan terus memuncak. Aku menggeram dan mendesis seraya mencengkeramkan kuku-kukuku ke pinggiran ranjang.

Gaun tidur merah menyala yang membalut tubuhku kini basah oleh keringat. Aku bimbang memilih antara membukanya atau tidak. Kuharap Arlo segera kembali dari pack-ku.

Arlo ....

Ya?

Lekas kemari ....

Heat?

Iya ....

Aku masih di perjalanan. Sebentar lagi sampai. Bertahanlah.

Suara erangan kembali keluar dari mulutku untuk ke sekian kali. Keringat bergulir memenuhi tubuhku. Aku mulai menggeram lagi.

Terdengar ketukan. Kepalaku meneleng. Pintu terkuak. Sosok lelaki berkulit gelap memiliki bewok lebat memasuki ruangan.

Ia memakai subang kecil di kedua cuping telinga, juga kalung rantai yang panjang hingga menyentuh tato di dada. Rambut lelaki itu tampak berminyak dan tersisir rapi ke belakang. Mata gelapnya terlihat khawatir.

"Nona, aku pelayan di penginapan ini. Kau tak apa-apa? Apa kau butuh bantuan?" tanyanya sambil menutup, bahkan mengunci pintu.

Keningku berkerut. Kenapa ia menguncinya?

Hidungku mengendus-endus ke udara. Vervain. Dia memiliki pikiran kotor tentangku.

Aku beringsut mundur sambil gemetar menahan hawa panas yang makin membakar. Bisa kulihat lelaki itu kini menyeringai, melangkah mendekati.

"Per ... gi ...," usirku. Aku tidak pernah mau menyakiti manusia. Kenapa ia ingin menyakitiku?

"Kau butuh bantuan, Nona. Aku bisa membantumu," jawabnya, mengabaikan pengusiranku.

Ada dua kemungkinan yang terjadi jika aku tak pergi. Pertama, ia akan menggunakan vervain dan memaksa mendinginkan heat-ku. Kedua, aku akan terpaksa membunuh lelaki itu. Dua pilihan yang tak aku inginkan.

"Kau ... bukan ... manusia serigala .... Siapa ... kau?" Mataku menatapnya geram, sementara birahiku meronta semakin meminta agar segera didinginkan. Aku harus bertahan.

"Yang perlu kau tahu, aku cukup mengenali suara betina manusia serigala yang tengah mengalami heat. Aku cukup berpengalaman membantu mendinginkannya. Jadi, kau jangan cemas," balas lelaki itu, masih dengan mulut menyeringai. Ia menjilat bibir dengan ujung lidah.

Ia pasti berbohong. Setahuku, hanya manusia serigala yang bisa mendinginkan heat.

Ponselnya mendadak berbunyi. Dia segera meraih benda itu dari saku jaketnya yang lusuh.

"Kau benar. Aku mendapatkan satu betina yang sedang heat di salah satu kamar penginapan."

Matanya mengawasiku. "Iya, dia memiliki dua mata berbeda." Dia terdiam lagi. "Oh, benarkah? Biarkan aku mendinginkannya dulu, Sobat! Tubuhnya sangat bagus dan ia sangat cantik!"

Lelaki itu tertawa. Namun, kemudian wajahnya berubah masam. "Iya, iya. Aku akan membawa gadis itu secepatnya kepadamu, Ernesto."

Ernesto? Adik mendiang ayah tiriku? Apa hubungan mereka? Kenapa ia terdengar sangat menginginkanku?

"Sayang sekali, aku harus membawamu ke Ernesto. Dia bilang, kau adalah keponakan yang sedang ia cari. Tenanglah, aku akan membantumu," ujarnya sambil meraih sesuatu dari balik jaket dan dengan cepat menodongkannya padaku.

Tubuhku yang terbakar hawa panas karena heat membuatku tak sempat bereaksi. Terdengar suara asing dari benda di tangannya, bersamaan dengan rasa terkejutku saat sebuah jarum suntikan mengenai bahu.

Arlo! Ernesto!

Hanya dua kata itu yang sempat kuucapkan melalui telepati sebelum aku tak sadarkan diri.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro