CHAPTER 4. THE HEAT
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
WARNING! Ada adegan khusus dewasa di bab ini. Yang masih di bawah umur 18, harap menjauh.
Arlo tak menjawabku beberapa saat. Kami hanya saling beradu tatap. Bedanya, ia menatapku lembut, aku malah memberinya tatapan garang.
"Bukan, itu darah babi hutan yang kumasukkan ke pembungkus mirip seperti kantung darah," jawabnya dengan nada tenang.
"Kau membawanya dari pack-mu?" Mataku menyipit.
Ia mengangguk. Dia menyesap minumannya dengan sikap tenang seakan tak ada apa-apa.
"Kenapa masih terlihat segar seperti berasal dari lemari pendingin?" tanyaku lagi sembari menyentuh gelas.
"Karena, itu memang berasal dari kulkas penginapan yang kami sewa," jawab Ravantino kali ini.
Mataku melebar ke arahnya. Ia malah tersenyum dan mengedipkan mata seperti puas karena telah menggodaku.
"Tapi ... dari pack-mu ... ke Mosqueruela ... ke sini ... bagaimana ...." Aku seketika bersikap seperti idiot.
"Apa kita akan membahas bagaimana cara Arlo membawa darah babi dari Elorrio ke Mosqueruela dan tetap terjaga kesegarannya?" sahut Ravantino seraya tertawa geli.
"Rava ...," tegur Arlo pelan.
Ravantino segera mengangkat kedua tangan, menghadapkan telapaknya ke arah Arlo. "Maaf, tapi mate-mu sangat polos dan lucu." Ia pun tertawa lagi.
"Duduklah," ucap Arlo padaku.
Aku menurut, mendudukkan diri di sebelahnya. Mataku masih menatap bingung ke arah minuman.
"Aku membawanya dari pack-ku di Elorrio dengan kulkas portabel di mobil, sampai sekitar hampir enam jam perjalanan ke Mosqueruela, lalu masuk ke kulkas di sana. Alrico dan Javiero membantuku membawanya ke sini karena aku, Ravantino, dan Aldevaro kemari lebih dulu," tutur Arlo.
Kami saling beradu tatap lagi beberapa saat. Tanganku terulur ragu meraih gelas kayu, lalu mendekatkannya ke mulut. Aku menyesap pelan minuman tanpa mengalihkan pandang dari Arlo.
Ada rasa sensasi segar yang menggelitik di tenggorokan dari minuman manis bercampur asam dari buah segar berpadu rempah dengan gelembung udara di dalamnya. Tanpa sadar aku meneguknya hingga tandas.
Aku menjilat sisa minuman di bibir. Tubuhku terasa lebih segar dan kuat.
"Boleh minta lagi?" tanyaku tanpa malu-malu.
Ravantino tergelak diikuti Elvio. Arlo tersenyum seraya bangkit dari kursi.
"Habiskan makananmu. Aku akan buatkan minuman untukmu," ujarnya.
Aku mengangguk cepat. Segera kuraih sisa roti lapis daging panggang dari piring di hadapanku. Kugigit dan kukunyah sebelum menelannya dengan lahap.
Elvio tersenyum memamerkan gigi, memandangiku sambil melahap kembali roti miliknya. Ravantino mengamati kami dengan senyuman lebar di bibir.
Tanganku baru saja mengambil roti kedua saat Arlo kembali ke meja makan dengan segelas minuman di tangannya. Ia menaruh gelas itu di depanku. Aku segera meraih dan meminum sangria khusus buatku.
Sengaja aku sisakan separuh untuk kuhabiskan nanti setelah rotiku habis. Saat aku kembali menyantap makanan, Arlo mengelus rambutku pelan.
Kepalaku spontan menghadap ke arahnya. Tanpa menghentikan kunyahan, aku menatap si alpha.
Ia terus mengawasiku dengan senyuman di bibir dan tatapan tanpa henti. Namun, mendadak senyumnya lenyap, berganti tegang kini.
"Elvio, kita harus pergi bersama Alka sekarang juga ke penginapan. Rava, kau bersama yang lain di sini saja berjaga."
"Ada apa?" tanya Ravantino bingung.
"Heat ...."
Mata Ravantino membeliak seperti menyadari sesuatu, lalu buru-buru bangkit, dan bergerak cepat keluar dari rumah. Aku melongo. Elvio pun menatap bingung.
"Heat? Siapa?" tanya adikku.
"Kakakmu," jawab Arlo pelan, tetapi seperti petir yang menyambar telingaku.
"Aku?"
"Sebentar lagi, heat-mu akan muncul karena telah bertemu denganku," ujarnya.
Mulutku menganga sejenak. Tubuhku menegang."Apa ... yang ... akan kau lakukan?"
"Membawamu menjauh dari serigala pejantan lain."
***
Aku mengunci diri di dalam kamar rumah pedesaan bernuansa putih bercampur cokelat dengan dinding batu yang disewa Arlo. Tubuhku mulai berkeringat walau udara malam terasa dingin. Cleona dan Ayna beserta Elvio berjaga-jaga di depan. Mate-ku sendiri pergi entah ke mana.
Karena terburu-buru, aku bahkan tak sempat mengobrol lama dengan dua teman baruku, Cleona dan Ayna. Aku hanya sempat tahu nama mereka saja sebelum dipaksa oleh kedua wanita itu untuk mengunci diri dalam kamar saat aku mulai kepanasan.
Kenapa bisa tak terpikir olehku soal heat? Dasar Alka bodoh! Ini memalukan! Aku tak mungkin melakukan mating bersama Arlo di dekat adik lelaki tiriku!
Apa yang dipikirkan Arlo? Kenapa ia mengajak Elvio ikut ke rumah pedesaan yang dia dan teman-temannya sewa?
Rasa panas semakin membakar. Aku segera membuka gaun cokelat tua pendek berbahan bulu di atas lutut berlengan panjang dari tubuhku.
Kubiarkan diriku hanya dibalut oleh pakaian dalam senada. Kemudian kucopot sepasang bot cokelat bertali tinggi di bawah lutut dan membiarkannya tergeletak di lantai.
Aku berjalan mondar-mandir, menggerak-gerakkan kedua tanganku yang gemetar sambil sesekali mulutku berdesis menahan nyeri. Ranjang putih empuk belum menarik minatku untuk merebahkan diri.
Kakiku melangkah cepat menuju kamar mandi berdinding hitam dan berlantai keramik cokelat. Kutatap bak mandi putih berisi es yang mulai mencair.
Beberapa lilin tersusun di atas sebuah meja rias bernuansa hitam. Lampu-lampu gantung pun tampak bercahaya indah dengan warna keemasan.
Rasa haru menyelimutiku mengingat Cleona dan Ayna bergerak cepat membantuku menyiapkan segala sesuatu di ruangan, termasuk air dan es di bak. Mungkin aku harus berendam sekarang.
Indra pendengaranku yang tajam menangkap perdebatan di luar kamar. Siapa yang bertengkar? Mereka meributkan apa?
"Seharusnya Arlo tak perlu pergi. Dia bisa bersiap-siap di sini!"
"Dia takut tak bisa mengendalikan diri, Ayna."
"Alka bodoh! Kenapa dia tak mengizinkan Alpha Arlo untuk melakukan mating dengannya saja?!"
"Hei, Lelaki Kecil! Kakakmu mungkin saja malu karena ada kau di sini! Kenapa kau tak menunggu saja di pack-mu?"
"Alpha Arlo memintaku menemaninya ke sini! Mungkin khawatir ia dan kakakku itu akan mating di tengah perjalanan jika aku tak ikut bersama mereka."
Aku memutar bola mata sambil mencelupkan diriku ke dalam bak berisi es. Panas kian menyengat. Rasa terbakar membuatku serasa hampir sekarat. Kenapa tak reda dalam rendaman air dingin?
Tanpa sadar rintihan keluar dari mulutku. Aku melipat kedua lutut hingga rapat ke tubuhku, lalu memeluk diriku erat. Bertahan, Alka! Kau harus kuat!
Tubuhku serasa makin dibakar dari dalam. Aku tak kuat, memutuskan segera bangkit. Berjalan mondar-mandir lagi, bingung harus melakukan apa lagi. Hasratku makin menjadi.
Arlo .... Kau ... di mana ...?
Kau memanggilku? Aku berjaga di lantai bawah agar tak ada serigala pejantan lain yang menyerbu ke sini.
Aku tak kuat lagi .... Tolong ....
Tak ada jawaban beberapa saat. Apa yang ia pikirkan? Apakah dia berniat menolakku?
Arlo ....
Alka, kau yakin siap? Sekali aku masuk ke ruangan itu, kau tak akan bisa berubah pikiran.
Aku hanya ingin panas yang membakar ini berhenti. Kumohon ....
Tak ada balasan lagi. Aku menunggu sambil terus merintih.
Alka .... Aku datang.
Aku tak punya pilihan, bukan? Meski aku belum terlalu kenal dan tak cukup yakin bisa bersamanya, tetapi aku pun tidak cukup sempurna untuk banyak menuntut dan meminta.
Mendapat mate seorang alpha sudah merupakan hal luar biasa bagiku. Selain karakter Arlo yang masih misterius dan sedikit menakutkan, aku rasa dia bukan lelaki yang jahat.
"Arlo, kau mau ke mana?"
"Alka sudah mengizinkanmu?"
"Cepatlah masuk, Alpha Arlo! Aku tak tahan mendengar rintihannya! Abaikan saja diriku, anggap tak ada di sini."
"Kau berjaga di bawah saja, Elvio! Biar aku dan Cleona di sini!"
"Aku masuk sekarang."
Terdengar suara pintu terbuka yang segera ditutup serta dikunci. Aku segera keluar dari kamar mandi. Pandangan kami beradu. Aku menggigit bibir menahan malu, berusaha menutupi bagian tubuh atas dan bawahku.
Ia memandangiku tanpa kedip. Aku berjalan menghampirinya dengan tubuh basah, tetapi gemetar menahan hawa panas yang semakin membakar.
"Arlo ...."
Ia tak menjawab, kecuali menyambar belakang leherku dan memagutku begitu kuat seraya mengulum dan melumat bibirku. Aku tak tahu harus bagaimana, selain membiarkan dia menguasaiku.
Bibirku mendesah saat ia beralih ke bagian leher, merayapinya dengan lidah yang membara. Hawa panas mulai mereda, tetapi belum hilang.
Entah kapan Arlo melakukannya, tali penutup bagian dadaku telah putus dan kini terjatuh ke lantai. Aku merintih sembari mengusap liar punggung lelaki itu, menginginkan lebih saat ia menyentuh bagian itu dengan mulut dan lidahnya.
Arlo mengangkat tubuhku ke ranjang. Ia mendudukkan serta merebahkanku sambil terus memainkan bibir, lidah, dan tangannya ke sekujur tubuhku.
Aku menggeliat dalam gelora. Mataku memejam dan membiarkan dia melakukan semua.
"Buka matamu, Alka," ucapnya dalam nada tak bisa dibantah.
Kubuka mata dan menatapnya lekat. Ia telah tanpa busana kini.
Mata Arlo menatapku tanpa henti, tetapi tangannya menjelajah ke arah bawah, siap membuka lapisan terakhirku. Aku mengangguk sambil mengerang tanpa ada lagi rasa malu.
Aku hanya ingin panas ini berhenti. Aku mau nyeri dari kobaran api di tubuhku padam.
Yang kurasakan selanjutnya adalah sensasi aneh saat ia mulai menindih, tetapi membuatku tak ingin itu berhenti. Tubuhku menggelinjang dan menggeliat seiring sentuhan, usapan, bahkan lumatan lembut dari Arlo.
Tanganku bergerak secara insting mengusap dan mendekap punggungnya. Kubiarkan ia mempermainkan lidah dan bibirnya di leher serta bibirku. Saat aku makin terlena, kurasakan sesuatu mendesak masuk.
Aku menjerit sebelum Arlo melumat serta mengunci bibirku dengan bibirnya. Ia membawa tubuhku mengikuti gerakannya yang perlahan, lalu semakin kuat dan cepat.
Napasku terengah oleh gairah. Kuku-kukuku tanpa sadar mencakar punggung Arlo.
Aku ingin mengubah posisi menjadi di atas, tetapi Arlo mendominasi gerakanku. Dia menekan kuat kedua lenganku di samping kepala agar aku tetap dalam kekuasaannya.
Ia makin mengentak cepat. Bibirnya mengarah ke ceruk leherku dan mengisap kuat. Napas lelaki itu panas menyentuh kulit.
Aku merasakan sensasi asing yang membuatku semakin mengeluarkan desahan dan erangan tak terkendali. Tubuhku mengejang begitu Arlo bergerak semakin hebat.
Cairan bening hangat menetes ke pipiku karena luapan sensasi yang memuncak. Aku memekik dan mengerang. Hawa panas membakar itu pun hilang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro