Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 3. MATE

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

"Mama!"

Aku tersentak mendengar sayup teriakan adikku. Suara riuh rendah bersahutan menyambut kedatangan Dario yang membawaku. Seperti biasa, mereka bersiap dengan benda apa pun di tangan untuk dilemparkan padaku.

Elvio! Mama kenapa?!

Kau membuat pengorbanan Mama sia-sia, Alka! Kau mengecewakan kami!

Elvio! Katakan padaku! Mama kenapa?!

Kau lihat saja sendiri!

Tangis adikku terdengar makin keras. Aku tak sabar, segera berlari sekuat tenaga, membuat pegangan tangan Dario terlepas. Sempat kulihat ia terjerembap ke tanah seraya mengumpat diiringi tawa anak-anak dan teriakan marah penghuni pack.

Mataku melebar saat aku mendekati posisi adikku. Cairan hangat keluar tanpa bisa kucegah lagi. Tubuhku gemetar menyaksikan apa yang ada di hadapannya.

Kakiku lunglai, hingga jatuh bersimpuh. Dada dan tenggorokanku terasa sakit seperti ada gumpalan yang memenuhi diriku. Aku tak percaya apa yang kulihat. Hatiku tak sanggup menerima.

Aku meraung setinggi langit memanggil wanita yang paling aku cinta. Ia kini tak lagi bisa bersuara.

Air mataku tumpah membanjiri pipi. Kedua tanganku kini menyentuh dan mencengkeram tanah. Kucoba memaksa diri, merangkak dengan menggunakan kedua siku mendekati kepala mama. Tak peduli kulit pergelangan tanganku yang memerah terbakar semakin nyeri, ditambah siku terasa perih saat bergesekan dengan tanah berbatu tajam.

Elvio menangis tersedu-sedu. Ia merangkul bagian tubuh mama. Air matanya begitu deras. Untuk pertama kali dia tak memedulikanku. Ia tak mau melihatku.

"Mama!" raungku sekali lagi.

Baru saja hendak meraih kepala mama, Dario mendadak menarik rambutku serta menyeretku ke hadapan Alpha Ander. Saat aku mencoba memberontak, ia mengikatkan tali ke leherku. Seketika aku merasakan kulitku kembali terbakar dan tubuhku makin lemah. Aku terengah-engah, meraung dalam tangis.

"Alpha, kau tak akan berubah pikiran, bukan? Kau berjanji aku bisa meminta apa saja padamu bila aku membantumu membunuh wanita itu. Aku hanya ingin tubuh Alka," ujarnya.

Aku mencoba melepaskan tali dari tangan. Mataku samar dan nanar menatap Ander dan Dario.

"Simpan tenagamu agar bisa melayani beta-ku dengan baik, Alka. Tak ada gunanya kau melawan vervain yang telah bercampur wolfsbane. Ingat, kau masih punya Elvio untuk kau pikirkan." Ander menatapku dengan senyum miring sebelum menoleh pada Dario seraya berbalik dan melangkah pergi. "Lakukan sepuas yang kau inginkan."

"Paman! Kenapa kau begitu tega pada Mama?! Dia kakakmu sendiri!" raungku murka sembari mengikuti langkahnya dengan tatapan penuh kebencian.

Ia tak menjawab, lalu berhenti di depan kepala mamaku. Apa yang dia lakukan membuatku nyaris menerjangnya. Namun, Dario memegang erat tali yang mengikat leherku.

Kepala mama kini ada di tangannya. Dia tersenyum penuh kemenangan laksana iblis sebelum melemparkan kepala wanita malang itu ke para penghuni pack.

"Buang kepala pencuri dan pengkhianat itu!" perintahnya lantang.

Sorak-sorai menyambut teriakan si alpha yang biadab. Beberapa penghuni saling melemparkan kepala mama seperti layaknya bola mainan. Aku menjerit dan meraung sekuat tenaga.

Namun, apa dayaku. Dario menyeretku ke arah lain. Aku terus berteriak tanpa guna, hingga suaraku serak. Sementara itu, Elvio masih memeluk erat tubuh mama dalam tangisan tanpa suara.

Ia sungguh tak memedulikanku. Adikku kini membenciku.

***

Dario mendorongku masuk ke sebuah ruangan, hingga hampir terjerembap. Napasku seakan tercekik karena sesaknya tali yang mengikat leher. Tubuhku menggigil membaca segala rencana kotor di pikirannya.

Ia memaksaku berdiri bersandar di tiang, lalu mengaitkan tali di kedua tanganku pada sebuah kaitan cukup tinggi dan besar di atas kepalaku. Kakiku hampir kesulitan menapak sempurna di lantai.

Aku meludahi wajahnya. Sebuah tamparan keras pun kuterima di pipi. Perih di bibir tak ada artinya bila dibandingkan dengan perasaan sakit yang kurasakan saat ini.

"Hibrida yang malang. Kekuatan vampirmu lemah. Serigalamu pun tak berguna karena kau tak bisa berubah wujud. Ayah vampirmu tak mengakuimu. Papa dan mamamu telah mati. Adikmu pun kini terlihat tak peduli lagi. Untuk apa kau hidup, Alka?" bisiknya di telinga.

Aku meronta sebelum berpikir mungkin jika aku memohon dengan beriba-iba padanya, ia akan bersedia mendengarkanku. "Kumohon, Dario. Kembalikan kepala mamaku ...."

Dia berdecak-decak. "Puaskan aku dulu. Aku akan menguburkan mamamu dengan layak." Ia menjilatkan lidahnya ke bibir atas sambil mengulurkan tangan, menyobek paksa bajuku di bagian depan yang kini mengering di badan.

Dadaku terekspos kini. Aku memalingkan wajah yang kini dipenuhi air mata. Tubuhku terguncang oleh tangisan keras.

Tangannya yang besar dan kasar membelai rambut dan wajahku, lalu turun ke dadaku. Ia bergerak hendak menarik paksa tali pakaian dalamku.

Aku memekik nyaring dengan kaki berusaha menendang-nendang sekuat tenaga. Namun, kekuatanku sungguh tidak ada. "Jangan, Dario! Kumohon! Tidak!"

Ia tak mendengarkanku. Tali penutup dada berhasil dia tarik lepas. Aku menjerit. Matanya berbinar menatapku. Kakiku sekali lagi berusaha menendangnya. Namun, sungguh apa dayaku saat ini dibandingkan kekuatan tenaga beta itu.

Aku menyesali keputusanku kembali ke pack neraka ini. Aku seharusnya mendengarkan Elvio. Suaraku serak, bahkan hampir habis karena terus menjerit dan menangis seraya meronta-ronta saat merasakan tangannya mengusap serta meremas kasar di bagian dada.

Mendadak pintu terbanting keras dan terbuka lebar. Sesosok bayangan berkelebat dan melemparkan Dario ke sudut ruangan, hingga menghancurkan dinding. Apakah ia malaikat penolong seperti yang kerap diceritakan Papa Luis?

Lelaki itu menarik sudut bibir sedikit ke atas sebelum mendatangi Dario yang masih berusaha bangkit. Dia tersenyum begitu menawan saat menarik lepas kedua lengan beta itu tanpa berkedip sebelum membuangnya dengan asal.

Dario meraung tinggi, tetapi segera terhenti saat bunyi berderak patahan tulang terdengar bersamaan dengan gerakan malaikat penolongku merobek mulut beserta rahang si beta. Dario pun tak lagi bergerak dan bersuara.

Tubuhku gemetar menyaksikan perbuatan malaikat penolongku. Mataku yang basah oleh air mata pun melebar menatapnya saat ia melemparkan tubuh Dario sambil tersenyum puas. Indra penciumanku menangkap aroma semacam rempah wangi. Mate?

Mata birunya yang tajam bertemu denganku. Ada beberapa percikan darah di rambut cokelat yang tersisir rapi, juga pada alis tebal, dan wajah lelaki itu. Ekspresi kepuasan serta senyuman menawan sesaat tadi pun menghilang, berganti dengan tatapan lembut penuh sesal terfokus ke mataku.

Ia melangkah mendekat, lantas membuka ikatanku. Ada aliran seperti listrik saat kulit kami bertemu. Dia tak berhenti menatap mataku saat melepaskan pakaian luar miliknya dan memakaikan benda itu untuk menutupi tubuhku.

Mata biru mate-ku mengerjap indah. Namun, tubuhku justru makin gemetar dan limbung dalam pelukannya. Pandanganku menggelap. Suara yang dalam serta rendah samar terdengar.

"Maaf, aku terlambat, Mate."

***

Mataku mengerjap perlahan, lalu menatap sekeliling dan segera mengenali kamarku. Aku bangkit, duduk di pembaringan. Kucoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya.

Mama, Elvio, Dario, malaikat penolongku, tidak. Ia bukan malaikat. Mate-ku?

Celah jendela tampak gelap tak ada cahaya. Entah berapa lama aku tertidur. Sayup-sayup kudengar percakapan di luar kamar.

"Sudah malam, perlukah Alka kubangunkan, Alpha Arlo?"

Itu suara Elvio. Siapa Alpha Arlo?

"Jangan, biarkan kakakmu istirahat. Kau sudah siapkan semua barang yang ingin kau bawa?"

Sepertinya itu suara si alpha. Apakah dia si penolongku? Mate-ku seorang alpha?

"Sudah, Alpha. Aku hanya membawa beberapa helai pakaian milik kami berdua. Barang kesayangan orang tuaku sudah ada di jari Alka. Kami tak punya apa-apa lagi."

"Jangan khawatir. Di pack-ku nanti kalian akan aman dan terawat. Segala keperluan akan kupenuhi. Kalian akan jadi tanggung jawabku."

Aku bersandar ke dinding sekaligus berfungsi sebagai kepala ranjang. Mataku memejam. Bibirku bergetar, teringat ekspresi dan senyuman lelaki itu saat merobek mulut serta rahang Dario, juga kala mencabut kedua lengan beta itu, lalu melemparkannya begitu saja seperti benda tak berharga.

"Bagaimana dengan Alpha Ander dan Moon Valley Pack?"

Aku memasang telinga lagi. Kenapa Elvio bertanya tentang mereka?

"Kami sudah memberi mereka pelajaran. Kau belum siap mengambil alih pack-mu lagi, bukan? Jadi, aku dan saudara-saudaraku sepakat tak membunuh Ander dan tak menghancurkan Moon Valley Pack, agar mereka mengingat peristiwa kemarin seumur hidup. Kau bisa kembali kapan pun kau mau."

Apa yang terjadi? Aku berdiri, lalu mengendap dan berjinjit keluar kamar berharap bisa mendengar lebih jelas. Hidungku mendadak mencium aroma daging yang sedang dipanggang.

"Kakakmu sepertinya sudah bangun. Ambilkan makan malamnya."

Kugigit bibir. Seharusnya aku tahu, pendengaran alpha tentu sangat tajam.

"Baik, Alpha."

Aku segera menegakkan diri dan melangkah normal, menghampiri mereka. Kulihat adikku sudah tak berada di sana. Mungkin ia tengah melakukan apa yang disuruh si alpha.

Lelaki itu menoleh, menatapku lekat tanpa kedip. Aku baru tersadar sesuatu saat spontan menatap lengan bajuku.

"Mmm ... siapa yang ... menggantikan pakaianku?" tanyaku gugup.

Dia tersenyum. Mungkin jika aku disuruh menggambarkan bagaimana senyum malaikat dari cerita ayah tiriku, itu akan seperti senyuman alpha itu.

Namun, tindakannya pada Dario tak mencerminkan sikap sosok malaikat di cerita Ayah Luis. Dia dan malaikat sangat ... amat ... jauh.

"Aku tak melihat apa pun. Mataku tertutup saat melakukannya," ujarnya.

Mulutku menganga. Astaga, bagaimana jika ia telah melihat ... semua?! Ada rasa kesal, marah, bercampur malu di hatiku.

Aku tertegun kemudian kembali menyadari sesuatu. Apa mungkin dia tahu tentang bekas luka di punggungku? Apa alpha itu masih mau menerimaku? Hei, aku pun ....

"Arlo seorang alpha penyembuh. Itu bukan masalah bagi dia. Apa lagi kau adalah mate-nya. Ia pasti akan menyembuhkan bekas lukamu," sela seseorang berambut pirang yang muncul tiba-tiba dari arah dapur.

Ia tampak menenteng dua piring kayu berukuran besar berisi roti bulat dengan daging yang baru dipanggang, menaruhnya ke meja. Tak lama kemudian adikku pun muncul membawa nampan dengan beberapa gelas kayu di atasnya.

"Alka! Kita makan enak malam ini. Alpha Ravantino telah memanggang roti dan daging untuk makan malam kita. Ia dan teman-temannya membawa banyak makanan dari kota!"

Mata Elvio tampak berbinar saat meletakkan nampan ke meja. Senyumnya pun begitu lebar. "Kita juga akan minum sangria!" Ia tertawa setelah mengatakan itu.

Aku menggigit bibir, mengabaikan minuman anggur merah bercampur irisan beberapa buah itu. Tatapanku terfokus ke arah si pirang yang disebut adikku sebagai Alpha Ravantino.

"Kau ... bisa membaca pikiranku?" tanyaku ragu.

Alpha berambut pirang itu mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyum ramah. "Kudengar dari Elvio, kau bisa berkomunikasi dengan telepati dan membaca pikiran siapa pun yang kau inginkan. Sepertinya akan menyenangkan jika kau memberiku kesempatan mengobrol denganmu."

"Atau mungkin kau harus berhati-hati dengan pikiranmu," gelak Elvio.

Ravantino menepuk-nepuk lembut kepala adikku sambil ikut tertawa. Arlo menata piring-piring dan minuman di meja.

"Di mana yang lain?" tanyanya pada Ravantino.

"Oh, Alrico dan Javiero masih berjaga-jaga mengawasi para penghuni pack. Aldevaro sedang mengajak Ander bicara. Aku sudah menguburkan Alpha Alika di tempat yang diinginkan Elvio."

Mataku berkaca-kaca seketika. "Terima kasih .... Ini pertama kalinya, seseorang menyebut kembali nama mamaku dengan sebutan kehormatannya."

"Itu sudah seharusnya. Kami mengenal mamamu dari cerita orang tua kami dulu. Satu-satunya wanita alpha yang cukup disegani," ujar Ravantino. "Maaf, kami baru tahu soal keadaan kalian di pack ini."

Aku terisak dengan kedua tangan menangkup wajah. Bahuku terguncang hebat. Sebuah sentuhan mengagetkanku karena menyengat kulit. Arlo. Mate-ku menyentuhku.

Kuturunkan kedua tangan. Mata kami bertemu. Ia memegangi bahuku, lantas perlahan memelukku. Entah kenapa ada perasaan aneh bercampur aduk di diriku saat ada percikan aneh di kulit kami yang bersentuhan.

"Tentu saja kau bisa merasakannya. Percikan sentuhan mate akan lebih besar efeknya di antara sesama manusia serigala," sahut Ravantino.

Ia lagi-lagi membaca pikiranku. Aku merenggangkan tubuh dari Arlo dengan gerakan kikuk.

Meskipun aku bukan manusia serigala murni? Meski aku ... seorang hibrida dari vampir oscuro?

Ah, akhirnya kau mengajakku bicara lewat pikiran. Ravantino tertawa kecil.

Soal percikan sentuhan mate tentu saja tidak ada masalah dengan kondisimu sebagai hibrida. Namun, kondisi itu mungkin akan bermasalah dengan kemampuanmu berubah wujud.

Kau benar. Aku belum bisa berubah wujud ke bentuk serigala.

"Hei, ada kami di sini," protes Elvio. "Alka! Alpha Arlo akan salah paham denganmu jika kau bicara rahasia dengan Alpha Ravantino."

"Wah, Arlo. Kau telah memiliki pembela sekarang?" ujar Ravantino sambil berdecak-decak.

Arlo tertawa kecil dan mengelus kepala Elvio. Adikku tampak sangat menyukai alpha itu.

"Makanlah dulu," ucap Arlo seraya menatapku lembut. Ia kemudian melangkah dan kembali duduk di kursinya.

"Ya, kita makan duluan saja. Elvio, setelah makan kau ikut aku membawakan makan malam untuk para saudara alpha-ku," ujar Ravantino sembari ikut duduk dan mulai melahap roti lapis daging panggangnya.

"Siap, Alpha!" Elvio pun segera menempati kursi di sebelah alpha pirang, lalu mulai menyantap makan malam dengan lahap. Sesekali ia menenggak minuman berwarna merah di hadapannya.

"Alka .... Apa yang kau tunggu? Ayo, makanlah," ajak Arlo dengan sikap tenang dan lembut.

Aku bergerak ragu menghampiri kursi di sebelahnya. Ia terlihat sabar menungguku.

Begitu aku telah berada di posisi siap di kursi, ia menyodorkan piring berisi makan malam dan juga segelas anggur ke hadapanku.

Ada dua roti di piringku. Aku mengangkat wajah, menatap piring kosong miliknya.

"Aku tidak lapar. Kau bisa bantu aku menghabiskan makan malamku, bukan?"

Mata kami lagi-lagi bertemu. Aku mengangguk pelan.

Kugigit roti lapis daging panggang di tanganku dan mengunyahnya perlahan. Kuambil gelas berisi sangria, tetapi baru saja hendak mendekatkan ke mulut, gerakanku terhenti saat baru menyadari ada aroma amis dari dalam gelasku.

Cairan apa ini?

Ravantino menoleh ke arahku. Ia mengunyah makanannya pelan.

Khusus untukmu, itu sangria bercampur darah hewan.

Hewan apa?

Apa itu perlu dipertanyakan?

Kalian tak mencuri dari sepasang penghuni tua di desa, bukan?

Bukan. Tenang saja. Arlo yang membawa darah itu. Lihat saja bungkusnya di dapur.

Aku berdiri, lantas melangkah cepat ke arah dapur. Mataku menangkap sebuah alat aneh berbentuk seperti tas tebal.

Kubuka penutup alat itu. Beberapa plastik berisi cairan merah mirip transfusi darah manusia yang pernah kulihat di buku kedokteran milik Papa Luis ada di dalamnya. Satu bungkus kini hanya tersisa setengah. Tubuhku gemetar oleh amarah seketika.

Aku segera berlari kembali ke luar dan menatap penuh kemarahan pada Arlo.

"Kau memberiku minuman darah manusia?!"

***

Sesuai janji, Arlo saya update malam ini, langsung dua bab. Semoga suka :)

Ga perlu berpanjang kata karena saya sedikit lelah saat ini. Terima kasih buat yang mau menunggu dan setia membaca cerita saya.

Komen dan vote saya harapkan. Kritik dan saran saya persilakan.

Stay well <3 Sampai jumpa!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro