Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 2. RUN

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Aku terus berlari secepat mungkin dengan kecepatan vampir yang kumiliki. Hanya keselamatan adikku yang kupikirkan. Meski ia bisa berubah wujud, kekuatan remaja itu belum setangguh serigala dewasa.

Kakiku meloncat dari satu cabang pohon ke cabang lain, terus memelesat menerobos belantara tanpa menoleh ke belakang. Kurasakan kedua lengan Elvio yang merangkul erat leherku dari balik punggung.

Mataku mulai menatap samar pepohonan, hingga berhasil keluar dari belantara dan tiba di tanah berbatu. Jalur La Estrella memang terkenal sulit, tak mudah menemukan pengendara mobil di daerah ini.

Selain itu, sangat jarang orang datang mengunjungi desa yang nyaris tak berpenghuni karena telah ditelantarkan sekian lama. Hanya ada beberapa manusia dari kota sekitar yang kadang berkunjung untuk festival keagamaan La Virgin de La Estrella atau mungkin sekadar cuma ingin melihat-lihat saja.

Aku berhenti sejenak, mengedarkan pandangan ke sekitar. Elvio pun turun dari punggungku.

"Kau lapar? Ada peternakan milik sepasang penghuni tua di desa. Kita ke sana dulu?" ucap Elvio.

Aku menggeleng seraya duduk di tanah. "Aku hanya butuh istirahat sejenak."

"Aku bisa mencarikan hewan liar untukmu."

"Tidak usah. Beri aku waktu sebentar saja." Mataku memejam. Menahan lapar akan makanan lebih mudah ketimbang darah. Kucoba menutup indra penciumanku dari aroma darah di tubuh adikku.

"Alka, kau mau mengisap darahku?"

Mataku membuka cepat dan melebar seketika menatap adikku. "Bagaimana bisa kau berpikir aku sanggup mengisap darahmu?"

"Itu lebih baik daripada kau kelaparan, lalu memangsaku tanpa izin," balasnya sambil mengangkat bahu.

Aku memutar bola mata. "Aku lebih baik membunuh diriku sendiri ketimbang memangsamu."

Elvio mendengkus. Dia ikut duduk di sebelahku. "Kenapa kau tak isap sedikit saja darah salah satu sepasang penghuni desa atau hewan peliharaan mereka? Suami istri itu sudah tua, cuma tinggal berdua, mungkin tak akan keberatan memberikan darahnya dan kehilangan satu atau dua ekor peliharaan."

Aku menghela napas, kembali memejamkan mata. "Berhentilah menyuruhku mengisap darah manusia, Elvio. Aku bertahan hidup dengan darah dan daging hewan, bukan manusia. Itu keputusanku. Aku juga tak mau mengganggu kedamaian kedua orang tua itu lagi. Mereka sudah cukup sulit bertahan hidup tanpa anak serta keluarga."

"Kadang aku berpikir, mungkin jika kau mau mengisap darah para penghuni pack, termasuk paman keparat kita, masalah akan selesai. Kau bukan keturunan vampir biasa, Kak. Kau vampir yang juga memiliki darah serigala di dirimu. Kau semestinya bisa lebih kuat daripada mereka. Namun sayang, kau terlalu bodoh karena mengikuti perasaan, Alka," ujarnya.

Aku memilih tak menjawab. Hasrat untuk mencicipi darah adikku makin menjadi. Aku harus segera pergi.

"Kau tunggu di sini. Aku harus berburu sebentar," ujarku.

"Kau yakin sanggup? Kau tak pernah tega menyakiti mangsamu, Alka. Biar aku saja yang berburu."

Elvio berdiri tanpa menunggu jawabanku. Dia melepas celana dan berubah wujud menjadi serigala cokelat berukuran sedang. Ia berlari menuju hutan dengan membawa serta jin pendeknya di mulut.

Elvio! Hati-hati! Jangan pergi terlalu jauh!

Aku tahu! Tunggulah sebentar!

Tak lama kemudian, adikku kembali berlari keluar dari hutan. Ia kini dalam wujud manusianya, bertelanjang dada dengan jin pendek usang, menggotong seekor wild boar di pundak.

"Aku hanya menemukan ini, apakah cukup?" ujarnya sambil menjatuhkan hewan buruannya yang masih setengah hidup ke hadapanku. Ada bekas beberapa gigitan di bagian punggung babi liar itu.

Tanpa memberi jawaban pada Elvio yang tengah sibuk membersihkan tubuhnya yang kotor, aku segera menggigit leher dan mengisap darah binatang buruan adikku. Bukan kesukaanku, tetapi ini lebih baik daripada aku kalap dan menyerang saudaraku sendiri.

Setelah darah babi habis terkuras, aku membagi sisa tubuhnya dengan Elvio. Ia menerima bagian paha dari uluran tanganku.

"Ini akan lebih enak jika kita memanggangnya," gumam adikku.

Ia dan aku memang terbiasa menikmati daging yang dimasak daripada mentah. Papa Luis, papa kandung Elvio, mengajarkan kami agar lebih manusiawi. Namun, membuat perapian sekarang sama saja dengan bertindak konyol.

"Kita tak punya waktu. Lagi pula, kau mau mereka tahu keberadaan kita sekarang?" jawabku sambil mengunyah daging dari sebelah paha babi setelah mengulitinya.

Elvio terdiam, lalu berusaha menggigit dan mengunyah bagiannya. Mata jeli berwarna abu-abu milik remaja itu menatap ke arahku.

"Menurutmu, kenapa Mama menyuruh kita berhati-hati dengan Paman Ernesto?" tanyanya sembari mengunyah cepat.

Aku tercenung sejenak. "Entahlah. Mungkin ada sesuatu yang buruk dari orang itu."

"Kedua paman kita sepertinya bermasalah. Kenapa kita sangat sial?" Elvio meludahkan kulit berbulu abu-abu kecokelatan dari paha babi yang termakan olehnya ke tanah.

"Haruskah kita menemuinya?" tanyaku bimbang.

"Lalu kita akan ke mana?" Ia berhenti mengunyah.

Aku terdiam. Elvio mengawasiku dengan mata abu-abunya yang jeli sembari menelan paksa daging di mulut.

"Ke pack serigala lain tak mungkin. Menemui Paman Ernesto, tak meyakinkan. Mencari ayah kandungmu, mustahil," celotehnya lagi. "Bagaimana kalau kita berusaha menemukan mate-mu?"

"Ke mana?"

"Kita berjalan-jalan saja. Gunakan indra penciumanmu untuk melacak jejak mate-mu."

"Mama menyuruh kita Mosqueruela," jawabku.

"Ya sudah, kita ke sana, tetapi tak usah mencari Paman Ernesto." Elvio bangkit. "Kita lewat hutan saja. Aku tahu jalan pintas menuju danau di sana. Kau tak ingin kita menjadi tontonan saat orang-orang melihat warna matamu, bukan?" Ia melempar sisa babi dan daging di tangan sejauh mungkin ke arah berlawanan dari tujuan kami. "Ayo, lekas sebelum mereka menemukan kita di sini."

Aku pun berdiri dan ikut melemparkan sisa makananku. "Baiklah, kita pergi."

Kubungkukkan punggungku, menunggu Elvio menaikinya. Tanpa buang waktu lagi, aku segera memelesat mengikuti arahan adikku.

***

Setelah menerobos hutan pinus selama beberapa menit dengan kecepatanku, kami tiba di sebuah danau. Aku membiarkan adikku turun dari punggung.

Tanpa berkata apa-apa, Elvio tiba-tiba berlari. Dengan jin pendeknya, ia menceburkan diri ke danau. Tawa serta sorak dari mulut remaja itu membuatku ingin turut serta membersihkan tubuh.

Sinar matahari aku rasa cukup terik untuk mengeringkan baju di badan. Tanpa menunggu lagi, aku pun segera menghambur menyusul Elvio.

Kami tergelak bersama. Air dingin sejuk menyegarkan kulit. Baru kali ini kami merasakan kegembiraan bermain air tanpa gangguan. Untuk sejenak paling tidak aku bisa tersenyum dan tertawa bersama adikku.

"Mereka di sini!"

Aku menoleh cepat. Paman Ander dan beta-nya berdiri di pinggir danau, menatapku sambil menyeringai bersama beberapa serigala prajurit. Tangan Elvio menyentuh bahuku.

Bagaimana ini? Mereka menemukan kita.

Kau harus pergi, Alka. Aku akan menahan mereka.

Tidak akan! Mama telah memercayakanmu padaku. Aku tak akan meninggalkanmu!

"Ikutlah kembali pulang ke Moon Valley Pack, Alka! Kecuali kau tak mau melihat mama kalian selamat!" teriak paman.

Mama! Mereka menahannya, Elvio!

Ander tak akan membunuh Mama. Kaulah yang ia inginkan, Alka! Dia mencari alasan untuk menyiksamu lagi!

Kepalaku menggeleng. Aku tak peduli selama Mama dan kau baik-baik saja.

Kau bodoh, Alka!

Elvio, kita harus kembali demi Mama.

Adikku tak menjawab lagi. Aku menoleh. Wajahnya terlihat gusar.

Aku memegang lengan Elvio seraya menatapnya. Aku akan baik-baik saja.

Elvio hanya membalas tatapanku. Dia tak lagi mau berkata apa pun. Ia menyimpan kemarahan di dirinya.

Aku berenang ke tepi danau, diikuti oleh Elvio. Ia kemudian malah sengaja mendahuluiku tanpa bersuara.

Paman mencekal leher adikku dari belakang saat ia tiba di tepi, lalu memaksanya berjalan dengan setengah menyeret untuk mengimbangi langkah kaki lebar serta cepat lelaki itu. Beta Dario masih berdiri mengawasi dengan tatapan liar ke tubuhku saat aku sampai ke pinggir danau.

Ia berdecak-decak tanpa beralih pandang. Aku spontan berusaha menutupi bagian dada dengan kedua tangan menyilang.

"Aku baru sadar, kau cantik, Alka. Tubuhmu sempurna, kecuali bekas luka cambuk di punggungmu," seringainya.

Aku bergidik membaca apa yang tengah ia pikirkan tentangku. "Aku ... ingin bertemu Mama."

Ia mengangguk-angguk. "Tentu, aku akan bantu pertemukan kalian. Aku tak sekejam yang kau pikirkan, Alka. Ayo, kita ke pack."

Tak ada pilihan lain selain patuh dan membiarkan beta itu memasangkan tali beraroma vervain untuk mengikat kedua tanganku. Mulutku mendesis saat dia memaksaku melangkah bersamanya menuju pack. Kurasakan jemari lelaki itu kini meremas jari-jariku. Aku berusaha menepis lemah. Ia malah ganti memegangi bahuku, merapatkan tubuhku ke rangkulannya.

"Jika saja kau manusia serigala murni, aku bersedia mengeklaim dirimu dan kau tak akan menderita, Alka," bisik Dario.

"Kau ... bukan mate-ku," jawabku memberanikan diri.

"Tak perlu menjadi mate. Kau hanya perlu menyerahkan tubuhmu padaku," balasnya lagi dengan seringai di mulutnya.

Aku semakin gugup mendengar kata-kata dan membaca apa yang ada di kepalanya. Ia memiliki pikiran kotor tentangku.

Langkahku melambat. Aku mulai ragu melanjutkan langkah.

"Teruslah berjalan, Alka, jika kau peduli pada Elvio dan masih mau bertemu mamamu!" teriak Alpha Ander saat ia menoleh ke belakang sambil terus memegangi leher adikku dan setengah menyeretnya.

Dario tertawa, lantas berbisik ke telingaku. "Aku tak sabar menunggu kita tiba di pack. Aku yakin pamanmu tak akan keberatan jika aku menidurimu sebagai hadiah kesetiaanku. Tenang saja, aku akan memperlakukanmu dengan baik, Alka. Aku akan pastikan kau menikmatinya."

Tubuhku gemetar seketika. Mataku memejam sejenak, fokus memikirkan seseorang yang aku belum kenal dan tak tahu keberadaannya.

Mate ... kau di mana?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro