CHAPTER 19. THE GOOD AND BAD NEWS
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
"Siapa? Julio?" Arlo memicingkan mata saat buru-buru keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk secara asal.
Seharusnya tak kuajak suamiku berkomunikasi lewat pikiran ketika ia tengah mandi. Aku mendesah. "Ia tak salah. Aku yang lupa karena terlalu asyik mengamati hutan di sekitar pack."
Arlo menghela napas, memasuki lemari ganti, lalu keluar dengan jubah tidur putih di tubuhnya. "Gamma-ku itu memang kadang terlalu tegas dan keras. Kuharap kau memaafkannya dan akan terbiasa dengan Julio."
Kepalaku mengangguk. "Aku mengerti. Kita tak bisa memaksakan setiap orang harus memiliki sifat menyenangkan seperti yang kita inginkan, bukan?"
Arlo tersenyum seraya mendekatiku dan mengecup keningku. "Luna-ku memang begitu pengertian dan memiliki hati yang lembut."
Aku tertawa kecil sebelum menarik kerah jubahnya dan menyatukan bibir. Kami saling mengulum serta melumat sebelum sama-sama menyudahi. Mata kemudian saling beradu.
"Kau pun cemas saat aku keluar pack cukup lama, bukan? Tidakkah menurutmu itu berlebihan?" tanyaku.
Arlo duduk di sebelahku. Aroma kayu berpadu dengan buah yang segar tercium dari tubuh dan rambutnya yang masih basah.
"Baiklah, mungkin aku berlebihan. Aku hanya cemas jika kau menemui kesulitan saat jauh dariku," ujarnya pelan dengan tatapan penuh sesal.
"Sebenarnya tak masalah dengan sifat protektifmu. Aku tahu kau begitu karena terlalu mencintaiku. Namun, Arlo, bisakah kau lebih memercayaiku? Jika kau ingin aku menjadi luna yang layak dan pantas, aku harus belajar mandiri dan terbiasa tanpamu. Aku tak mau anggota pack berpikir bahwa aku selalu bergantung padamu," ujarku hati-hati.
"Aku ingin dihormati karena usaha dan kemampuanku sendiri. Aku mau dihargai karena apa yang ada di diriku, bukan semata karena dirimu atau kekuatanmu," imbuhku.
Arlo tercenung. Ia menatapku begitu dalam. "Baiklah. Aku paham maksudmu. Kita akan melakukannya pelan-pelan. Aku belum terbiasa membebaskanmu berkeliaran tanpa diriku."
"Kita bisa lakukan ini. Aku ingin belajar menjadi luna yang baik dan pantas untukmu dan pack-mu."
Arlo menggeleng. "Pack kita, Alka. Mereka dan semua milikku adalah milikmu."
"Oleh sebab itu, biarkan aku belajar mengurus dan menjaga kalian semua. Aku harus melakukan sesuatu sesuai tugasku sebagai istrimu dan luna mereka," gumamku.
Ia meraih kepalaku dan mengecup ujung hidung dan kedua mataku, membuatku terpejam beberapa saat. Mata biru Arlo berkilau saat menatapku. "Aku mengerti. Maafkan aku. Namun, aku tetap tak setuju kau berkeliaran di hutan luar pack sampai melewati senja, sendirian dan tanpa aku. Apa kita bisa sepakat dalam hal ini?"
Aku mendengkus, lalu merebahkan kepalaku ke pangkuannya. "Baiklah, sepakat."
Ia tersenyum dan menghujaniku dengan kecupan di seluruh wajahku. Aku menggeliat geli, berusaha melindungi wajah darinya dengan kedua tangan.
Arlo menarik dan memegangi kedua pergelangan tanganku di depan perutku dengan satu tangannya yang besar dan kuat. Aku tak bisa lagi menghindar, selain membiarkan ia melumat habis bibirku dan mulai melepaskan tali gaun malamku.
Aku mengerang dan mendesah saat ia makin memperdalam lumatan serta mulai menyerang ke bagian tubuhku yang terbuka. Tak cukup sampai di situ, dia merebahkanku kini ke ranjang tanpa menghentikan lumatan dan kecupan.
"Arlo ...."
"Shhh ... aku ingin kita segera punya anak. Aku tak mau menunda."
Aku pun pasrah saat gaun malam benar-benar telah terlucut dari tubuh, begitu pun dengan jubah tidur Arlo. Erangan keluar dari mulutku saat ia dengan cepat menyatukan tubuh kami.
Napas kami berpacu dalam keheningan malam seiring gerakannya yang mengentak kuat dan cepat. Suara tubuh yang beradu keras diiringi desahan, geraman, dan erangan, menciptakan musik tersendiri di ruang kamar.
Aku sungguh telah terbiasa dengan hidup baruku sebagai luna seorang alpha. Satu hal yang kucemaskan adalah kehilangan. Perasaan kami sejujurnya sama.
Keinginanku yang baru adalah bisa menjadi luna yang layak untuknya juga pack kami. Selain itu, aku pun ingin jadi istri sekaligus ibu terbaik untuk Arlo dan anak-anak kami nanti.
Memikirkan keturunan yang akan kami miliki, aku ikut mempercepat gerakan, mengentakkan tubuhku bersamanya. Kami pun sama-sama saling mengerang dan menggeram berpacu mencapai puncak kenikmatan.
Arlo mendesah di atas tubuhku. Kuelus rambutnya lembut dan memberinya kecupan di kening.
"Aku harap anak-anak kita benar-benar sesuai yang kau lihat ... langsung lahir dua .... Jadi, aku hanya perlu melahirkan sekali saja."
Arlo tertawa renyah sambil menaruh dagu di atas dada. Ia mengecup ujung hidung dan kedua mataku sebelum kembali merebahkan diri ke samping.
***
Aku terbangun saat mendengar suara gedoran di pintu utama kediaman. Kulirik jam di nakas. Pukul empat pagi. Mataku memicing, kening pun berkerut. Siapakah yang bertandang? Aku mengendus di udara. Rava?
Baru hendak turun dari ranjang, Arlo terbangun. Matanya terbuka sebelah.
"Kau mau ke mana?" tanyanya dengan suara serak.
"Ada yang menggedor pintu," jawabku. "Sepertinya Ravantino."
Dia ikut mengendus, lalu mendesah sambil turun dari ranjang, meraih jubah dan mengenakannya. "Alpha satu itu pasti tak sabar untuk segera kembali ke Transilvania."
Aku tertawa kecil. "Kita sudah membuatnya bersedia sedikit menunda demi kita. Berbaik hatilah. Aku rasa perjalanan ke sana pun menyenangkan. Aku rindu pada Keana beserta keluarga dan teman-temannya."
Arlo menghentikan gerakannya sejenak. "Aku kira kau sebaiknya tinggal di sini dan mengurus pack daripada ikut denganku."
Mulutku sedikit membuka. "Oh, kau tak ingin aku ikut denganmu?"
"Kau akan segera hamil, Alka. Aku tak mau kau mengandung saat di perjalanan atau ketika kami sibuk bertugas. Kau akan lebih aman di sini bersama Emma dan yang lain," ujarnya hati-hati.
Aku terperangah. "Aku akan segera hamil? Kau ... melihatnya lagi?"
Arlo mengangguk. "Aku melihatnya setelah kita melakukan itu semalam ...." Senyuman lebar terkembang di bibirnya.
Aku memutuskan membaca apa yang ada di pikirannya sebelum menangkupkan kedua tangan ke mulut. Mataku berkaca-kaca.
"Kita akan segera memiliki anak, dua sekaligus seperti yang aku mau. Mereka memiliki mata dan rambut sepertiku?" Suara bergetar pun lolos dari mulut.
Ia mengangguk. "Karena itu, aku tak bisa mengizinkanmu ikut. Kau seorang hibrida. Masa kehamilanmu kemungkinan lebih cepat daripada manusia serigala umumnya. Mateo memperkirakan sekitar dua bulan, kurang lebih sama seperti vampir."
Aku terisak sambil tersenyum penuh haru. "Baiklah, aku akan menjaga kandunganku sebaik mungkin di pack selama kau pergi."
Arlo mengelus-elus rambutku sebelum melangkah keluar kamar. Aku ikut turun menyusulnya.
Kulihat Ravantino dan Arlo tengah duduk di ruang tamu sambil berbincang serius. Aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
Arlo benar. Ravantino tak tenang dan tak sabar meminta mereka segera ke Brasov, Transilvania. Aku tersenyum mendengar ia begitu merindukan Keana.
Kuambil dua minuman botol dari lemari pendingin. Aku segera membawanya ke ruang tamu.
"Alka! Selamat! Arlo bilang kau akan mengandung karena itu kau tak ikut dengan kami. Sayang sekali," sapa Ravantino saat melihatku muncul.
Aku tersenyum sambil menaruh dua botol minuman di atas meja sebelum duduk di sebelah Arlo. "Aku titip salam saja pada Keana dan yang lainnya. Kuharap kau dan mate-mu benar-benar akan bersama."
"Tentu! Aku pasti akan menaklukkannya. Kau jangan cemas, fokus saja menjaga kandunganmu," ujar Ravantino seraya meraih botol, membuka tutup dengan gigi, lalu menenggaknya.
Aku mengangguk. "Kapan kalian berangkat?"
"Pagi ini, sekitar jam tujuh. Karena itu, aku meminta Arlo bersiap-siap dan ikut bersamaku berkumpul dengan yang lainnya di pack-ku. Samuel memutuskan kita bisa menggunakan jet pribadi miliknya dan ia sendiri yang akan mengantarkan," ujar Ravantino.
"Ada apa dengan si tetua pelit itu?" gerutu Arlo.
"Hei, dia tahu ini demi calon luna-ku. Tentu saja ia bersedia melakukan apa pun," jawab Ravantino dengan nada bangga.
Arlo memutar bola mata. Aku tertawa melihatnya.
"Sudahlah, aku akan bantu menyiapkan pakaian yang akan kau bawa," ujarku seraya bangkit.
"Tidak usah banyak-banyak. Cukup dua setel saja. Kami bisa membeli pakaian di sana," sahut Ravantino.
"Hei, dia istriku atau istrimu?" sambar Arlo kesal.
"Ah, iya, aku lupa." Ravantino tergelak. "Kau masih saja cemburu denganku, huh?"
Aku menggeleng seraya melanjutkan langkah menaiki tangga dan menuju kamar. Senyumku sesekali muncul mendengar obrolan dan perdebatan kecil mereka berdua.
Segera kusiapkan beberapa setel baju untuk Arlo dan kumasukkan ke dalam sebuah tas pakaian. Tak lupa kuperiksa dompet lengkap beserta isi, juga ponsel milik Arlo sebelum membawanya bersama tas kembali ke ruang tamu.
"Kenapa kau tak memberitahuku saja lewat ponsel?" gerutu Arlo lagi terdengar olehku.
"Kau pasti akan sengaja berlambat-lambat karena enggan meninggalkan Alka," sahut Ravantino. "Kau pikir aku tak membaca apa yang ada di pikiranmu sekarang?"
Arlo mendengkus. Ravantino benar. Suamiku memang enggan meninggalkan aku.
Aku tersenyum seraya melangkah mendekati mereka. Kuletakkan tas di meja, bersama ponsel dan dompet milik Arlo.
Arlo meraih dompet, memeriksa isinya dan mengambil sebuah kartu. "Kartu ini untukmu, sekadar berjaga-jaga jika kau butuh membeli sesuatu." Ia mengulurkan benda itu.
Aku meraihnya. "Aku tak tahu bagaimana menggunakan ini."
"Minta Gorka atau Emma menghubungi Luna Lily atau Celia. Mereka akan menemanimu berbelanja," ucap Arlo.
"Nah, betul. Mamaku tak akan keberatan menemanimu belanja," celetuk Ravantino.
"Baiklah," jawabku singkat sambil tersenyum.
"Tunggu, aku mau berganti pakaian dulu."
"Tak perlu! Untuk apa membuang waktu dengan mengganti baju? Kau bisa pakai punyaku nanti sesampainya kita di rumah," kata Ravantino cepat.
Arlo mendesah kesal. "Terserah kau saja."
"Memang harus begitu. Ini momenku sekarang. Giliran kalian yang harus membantuku," ucapnya sambil berdiri.
"Iya, iya," jawab Arlo sambil berdiri, menenteng tas, dan melangkah keluar pintu bersama Ravantino yang sudah tak sabar.
Aku mengikuti dan mengawasi mereka saat menaiki mobil jenis SUV. Pengetahuanku meningkat berkat perpustakaan dan ponsel Arlo.
Ia sempat mengecupku sekali lagi di hidung, kedua mata, juga bibir sebelum Ravantino benar-benar menyeret paksa lelaki itu ke mobil, lalu melaju, dan menghilang dari pandanganku.
Mereka kembali memulai tugas. Aku pun akan segera memulai tanggung jawab baru. Kuusap perut yang sebentar lagi akan diisi oleh calon anak-anakku dan Arlo.
Aku harap semua baik-baik saja. Mereka bisa menunaikan tugas dengan lancar. Anak-anak kami pun akan lahir dengan sehat dan tumbuh kuat serta cepat besar.
Kelahiran mereka akan membuatku dan Arlo merasa kembali memiliki keluarga. Aku tak sabar ingin memberikannya impian sempurna. Sebuah kebahagiaan yang menyempurnakan cinta kami berdua.
***
T h e E n d.
~B e r s a m b u n g k e L u c i s S e r i e s 4 - RAVANTINO ~
Yeaaay. Akhirnya selesai. Fiyuuuuh. Mengetikkan kata "The End" tu rasanya legaaaaa banget. Ada rasa kebanggaan sendiri gitu. Gimana pun hasilnya, ya saya tetap bangga dengan diri saya karena telah mencapai tujuan yang saya tetapkan.
Tidak ada yang instan dan mudah untuk sebuah proses keberhasilan. Namun, tanpa langkah kecil serta konsisten, impian besar tak akan bisa terwujud jadi kenyataan.
Untuk selanjutnya, saya masih akan meneruskan Aleronn Series 4 (The battle of Alverns) hingga tamat. Setelah itu, saya akan fokus dulu dengan proyek kolab bersama rekan saya, dan mungkin akan menggarap karya saya yang lain jika sempat.
Jadi, bersabar saja menunggu Ravantino dan Aldevaro ya. :)
Vote dan komen saya nantikan. Kritik dan saran saya persilakan. Terima kasih atas kebersamaan dan kesetiaan. Sampai jumpa di lain kesempatan.
Salam sayang buat kalian <3
30/06/2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro