2. Sebab
Alarm paginya baru saja berbunyi, Rissa bangun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju meja rias di depan tempat tidurnya. Menyisir dengan jari rambut sebahunya yang tidak karuan, lalu mengelap sedikit minyak pada wajahnya, tidak lupa mengabsen kotoran pada sudut-sudut matanya. Rissa mengamati wajahnya lekat lekat didepan cermin meja riasnya.
Menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, mencari angle terbaik dari wajahnya. Tak begitu buruk, pikirnya. Namun penghinaan yang ia terima kemarin cukup menggores hatinya. Bayangkan saja orang buta, orang buta yang tidak mampu melihat menilainya seperti itu. Ya meski yang ia bilang benar semua, tapi kan tidak perlu menghina begitu. Sedangkan dirinya saja tidak bisa melihat.
Apa jangan-jangan dia punya Indra ke-6?
Tak mau melanjutkan pikiran ngawur-nya, Rissa lantas menuju kamar mandi, membersihkan diri dan bersiap untuk berangkat ke kantor. Kamar kos khusus wanita yang ia tempati cukup elit, terdiri dari 1 bangunan rumah dengan 8 kamar didalamnya. Penghuninya pun rata-rata pegawai kantor di bilangan elit di Jakarta ataupun para Mahasiswi yang berkantong tebal, hasil dari kirimin orangtuanya.
Cukup saat di panti ia berbagi kamar dan menempati kamar sederhana. Makanya ia putuskan untuk kos di kamar yang bagus meski gajinya juga tidak besar. Ia bisa saja mencari teman untuk berbagi kamar sehingga bayar kosnya lebih ringan, tapi kembali lagi kalau begitu sama saja seperti di panti.
Rissa cukup menikmati kehidupannya, ia tidak terlalu Hedon namun tidak terlalu pelit juga. Setiap bulan ia rutin mengirim uang ke panti tempat dulu ia dibesarkan, tentu Rissa bukan tipikal orang yang seperti kacang lupa pada kulitnya. Juga pada Bunda Delima, ibu asuh di panti yang sudah seperti ibu kandungnya sendiri, ia tak pernah lupa untuk memberinya uang meski tidak seberapa.
"Mel! Amel!" Rissa mengetuk pintu kamar tepat di depan kamarnya namun terhalang balkon dan ruang menonton tv. Rissa memang sengaja memilih di lantai 2 karena terkesan lebih privasi.
"Amel!" Panggilnya lagi. Namun tidak ada sahutan dari dalam. Ia melirik jam tangan kw di pergelangan tangan kirinya dan mendesah kecil, 30 menit lagi sudah jam masuk kantor, tetapi Amel sepertinya masih belum siap.
"Mel, Lo--"
"Kak Amel tadi udah berangkat Kak, barengan sama aku ke bawahnya." Seorang gadis muda beda beberapa tahun dibawahnya, yang baru datang menjelaskan.
"Ha? Serius Rin?" Tanya Rissa.
"Iya tadi barengan aku beli nasi uduk di bawah." Jawab gadis bernama Karina itu sambil menunjukkan plastik berisikan nasi uduk di tangannya.
"Sial. Dia ninggalin gue ternyata!" Omel Rissa. "Yaudah, thanks ya Rin!" Ucapnya lalu berlari menuruni tangga.
***
"
Suruh siapa kamu masuk kantor? Masih punya muka kamu?"
Rissa sontak meraba wajahnya, ia yakin tadi pagi saat bangun tidur bahkan sebelum keluar kamar ia bercermin, dan wajahnya masih ada.
"Rissa! Saya serius!"
"Saya juga Pak," Jawab Rissa.
"Semua kekacauan yang kamu buat sedang saya urus. Total kerugian perusahaan mencapai hampir 150 juta. Kamu ini benar-benar keterlaluan. Bagus kamu tidak dilaporkan ke polisi!"
Rissa meringis ngeri mendengar nominal yang disebutkan Pak Dito atasannya, "Maaf Pak, tapi kan--"
"Maaf kamu gak mampu mengganti uang segitu besarnya Rissa!"
"Iya saya paham pak, tapi bukannya kemarin itu kita sudah deal ya pak!"
"Deal apa? Tapi bukan berarti saya tidak memecat kamu!"
"Ya ampun pak, saya pikir saya gak dipecat pak. Kan saya sudah turuti perintah bapak." Rissa mulai memasang wajah memelas.
"Saya masih butuh pekerjaan Pak," Kata Rissa lagi.
"Saya janji Pak, saya akan melakukan tugas sampingan saya semaksimal mungkin. Tapi tolong pak jangan pecat saya." Rissa kembali memohon.
***
"Gue pikir juga Lo di pecat Ris." Ujar Amel santai sebelum menyuap potongan pare dari satu porsi somay di hadapannya.
Angin sedang berhembus sepoi-sepoi di kantin kantor membuat Rissa begitu menikmatinya, hingga tak sempat menoyor kepala Amel karena bicara seenaknya. Seolah dirinya dipecat adalah hal yang wajar.
"Ya kali dengan kesalahan sefatal itu, Lo masih selamat aja." Lanjut Amel lagi. "Eh tapi gue sempet dengar gosip kalau Lo cuma turun jabatan, emang iya?" Tanya Amel.
"Turun jabatan kemana lagi Mel? Status gue aja cuma junior staff bagian keuangan, mau turun jadi apa lagi? Office Girl?" Sahut Rissa sebal.
"Nah boleh juga tuh, cocok sih." Sahut Amel yang membuat Rissa sebal dan mengambil alih garpu di tangan Amel lalu mengambil dua potong somay di piring Amel dan memakannya. "Sembarangan Lo ya! Gitu Lo sama temen sendiri!" Omel Rissa.
Amel tertawa senang, membayangkan Rissa jadi OG dan dia akan menyuruh-nyuruh Rissa. "Habis kemarin kata Dwi lo tiba-tiba ilang dari kubikel, gue pikir Lo udah ke posisi baru Lo."
Ingatan Rissa jadi kembali ke siang kemarin, ya setelah kena damprat oleh atasannya, Pak Dito, ia jadi memiliki profesi baru. Menjadi penjaga orang buta tampan nan rupawan juga sombong, angkuh, dingin dan tak punya hati.
"Jadi gimana nasib pekerjaan Lo selanjutnya? Jelas Lo gak di bagian keuangan lagi kan?" Tanya Amel. "Dan gak pindah ke bagian gue juga kan?"
"Iya gue pindah ke bagian lo." Jawab Rissa.
"Apa?! Seriusan?" Amel memekik kaget, gadis yang masuk kerja berbarengan dengan Rissa itu memang beda bagian dengan Rissa, Amel bekerja di bagian pemasaran.
"Bukan disini, tapi di kantor cabang." Jawab Rissa. "Gue jadi team leader para SPG."
"Gak jadi SPG nya aja sekalian," Amel meledek. "Itu mah Lo namanya gak turun jabatan, cuma beda bagian aja,lagian kalo Lo yang jadi SPG nya yang ada produk kita gak laku." Sepertinya Amel memang terlahir untuk meledek Rissa.
Daripada terus meladeni Amel yang hidupnya di dedikasikan untuk nge-cengin orang, Rissa memilih pergi. Menuju rumah tempat profesi barunya, sebagai balasan karena tidak dipecat oleh Pak Dito juga sebagai bayaran atas uang 150 juta yang ia hilangkan.
***
"Dia anak yang baik, pintar, elegan, juga jujur. Bukannya kamu suka tipe wanita seperti itu?"
"Percaya, dia itu tulus. Makanya Ayah pilih dia. Waktu Ayah ceritakan tentang kamu, dia langsung tertarik. Padahal bisa saja dia mendapatkan pria lain dari kalangan berada karena dia juga, berasal dari keluarga kaya."
Arraz tahu ayahnya berbohong, dan tak mengerti mengapa perlu berbohong seperti itu. Ia bersyukur kemampuannya dalam menilai seseorang tidak hilang meski kini ia tidak bisa melihat. Kemarin saat gadis itu datang, telinganya yang kini lebih peka sedikit banyak mendengar gerak gerik dari si gadis. Menunjukkan gestur tubuh yang sangat tidak sesuai dengan yang dijabarkan sang ayah.
Arraz menilai gadis yang memperkenalkan diri sebagai Rissa kemarin adalah gadis yang ceroboh dan tidak begitu pintar. Ia juga bukan datang dari kalangan keluarga kaya seperti yang ayahnya bilang. Kemarin ia sempat protes pada sang Ayah, namun Ayahnya tetap memberikan jawaban yang sama, kalau gadis itu pantas untuknya.
Lagipula ia tidak depresi, sehingga harus disodorkan gadis yang tidak ia kenal. Arraz tidak patah semangat dalam menjalani hidup meski kini harus menderita kebutaan akibat kecelakaan yang ia alami. Arraz tidak langsung ingin ikut mati kala kekasihnya yang bersamanya saat itu nyatanya tidak selamat.
Arraz hanya tidak ingin berburu-buru melihat dunia, jika tidak ada Ivanka yang mengisinya. Arraz hanya masih ingin menikmati kegelapan yang tanpa ia sadari sudah menjalar ke rongga jiwanya. Hingga ia rasa sang Ayah tidak perlu menghadirkan orang baru yang katanya sebagai pengganti Ivanka, agar Arraz memiliki semangat hidup.
Kalau tidak memiliki semangat hidup, mana mungkin ia bertahan selama hampir satu tahun setelah kecelakaan itu.
"Ini apelnya Mas, sudah aku potongin." Rissa menyodorkan hasil pekerjaannya sedari tadi.
Sedangkan Arraz mau tak mau menghentikan lamunannya, dan bermaksud menerima potongan apel yang Rissa bilang.
"Buka mulutnya." Titah Rissa.
"Apa?" Tanya Arraz bingung.
"Ih aku tuh di sebelah sini Mas, bukan disitu." Ucap Rissa seraya membalikkan tubuh Arraz yang memunggunginya. "Ini loh aku mau suapin kamu Apel."
"Gue bisa sendiri."
"Tapi tangan kamu kotor, belum cuci tangan. Tempat cuci tangannya jauh, mau ambil hand sanitizer di kamar kamu aku gak enak, kan kita belum halal mas. Masa aku masuk-masuk kamar kamu." Rissa berceloteh ria.
Arraz lagi-lagi membenarkan pemikirannya, wanita elegan mana yang bisa berbicara seperti itu. Ia begitu banyak mengenal wanita dari kalangan atas hasil perkenalan oleh ibu tirinya. Jadi Arraz tahu benar bagaimana tutur kata seorang wanita kaya nan terhormat, setidaknya tidak se-receh gadis didepannya ini.
"Nurut ya Mas, aku suapin."
Arraz pun menurut dan menerima potongan Apel berbentuk dadu dari tangan Rissa langsung ke depan mulutnya.
"Sebenarnya maksud Lo apa?" Tanya Arraz.
"Maksudnya apa sih?" Tanya Rissa berlagak bodoh.
"Iya mau ada disini nurut sama perintah Ayah. Lo yakin mau sama cowok buta kayak gue. Lo dibayar berapa sama Ayah?" Tanya Arraz.
"Arraz jahat banget sih bilang gitu. Kalau kayak gitu sama aja Ayah kamu jual kamu dong." Jawab Rissa.
"Lalu apa sebabnya lo ada disini?"
"Sebabnya aku ada disini?" Rissa mengulang pertanyaan Arraz. "Ya untuk kamu."
"..."
"Sebab, memang Arissa untuk Arrazi." Jawab Rissa lalu kembali menyuapi Arraz apel.
TBC
Hehe, terima kasih ya buat yang sudah vote dan komentar...
Yuk yang belum baca cerita "Ternyata Cinta" Novelnya masih bisa dipesan loh, DM aku aja yaa, atau yang mau e-booknya aja juga bisa, tersedia di Google play yaa.. terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro