Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 11:

Kematian.

Ia bukanlah bencana terbesar dalam hidup ini. Bencana terbesar dalam hidup adalah ketika ketakutan terhadap: "aku tidak siap untuk mati." menyeru dengan takut namun berambisi.

Nyatanya mati itu pasti, tidak akan ada yang dapat mencegah kedatangannya.

Tidak akan ada yang bisa mencegah sang Malaikat Kematian datang untuk menjemput ajal.

Dan di Arionist, siapakah Malaikat Kematian itu?

Rui, wanita itu tak mengerti ketika Mark mengirimkan supir untuk menjemput Rui pulang. Manik merah kecoklatan Rui berkedip bingung namun ia hanya bisa menurut dan pergi dengan tenang ketika mobil melaju ke perumahan nya.

Sementara Mark, pria dengan tinggi 185 cm itu dibuat panik ketika Rin memulai rapat dadakan mereka hari ini.

"Pelakunya kidal?" beo Emi yang diangguki Rin. "T-tapi tunggu dulu, jujur aku masih syok ketika kamu bilang Leo sudah tiada, kapan? Bagaimana bisa?" lanjut Emi bertanya penasaran.

Emi, wanita bermarga Vartlet itu memperkirakan waktu. Namun karena ia yang baru saja datang, ia jadi tak bisa memperkirakan waktunya.

"Masih sama seperti yang terjadi pada Hana, luka yang dihasilkan pelaku selalu rapi dan profesional serta sama persis seperti yang terjadi pada Hana, Leo dibunuh di ruangannya dan aku menemukan sebuah catatan." Rin membuka hp nya untuk memperlihatkan tulisan di selembar kertas yang ada di TKP, Rin memilih untuk mengabadikannya di foto saja agar tak merusak TKP.

'Malaikat Maut'

Hanya itu yang tertulis di selembar kertas tersebut.

"Dan Leo mengirim pesan padaku sebelum kematiannya, dia bilang aku lah yang akan mengambil posisi kepemimpinannya," lanjut Rin lagi.

Yang lain hanya bisa mengangguk.

[ ... nyatanya yang layak menempati posisi ketua untuk sekarang hanya Rin]

Itu yang tertulis di pesan yang dikirim Leo.

"Ah makin rumit saja," ucap Rei meninbrungi. Sedangkan Noran diam, berusaha menemukan titik janggal yang terasa begitu dekat.

Rin, gadis dengan rambut kuncir kuda itu tersenyum karena memikirkannya. Hasil otopsi Hana selesai tapi lihat sekarang siapa yang menjadi korban selanjutnya? Usai rapat, balkon menjadi pilihan Rin untuk mengistirahatkan kepalanya yang pening usai rapat.

"Leo yang malang," ucap Ita tanpa ekspresi.

Rin yang mendengarnya menoleh, menatap Ita dengan tatapan heran. "Kamu terlihat seolah tak berduka Ita, padahal Leo adalah saudara kembar mu," ucap Rin berusaha hati-hati. Ita sangat menutup perasaannya, sehingga Rin jadi agak takut gadis bersurai abu-abu itu akan meledak layaknya bom waktu.

Ita menggeleng. "Aku tahu, tapi aku tak bisa bersedih ketika amarahku jauh lebih besar" tuturnya.

Rin yang mendengar penurutan itu menghela napas panjang. "Leo memberikan kepemimpinan nya padaku." Rin memutar-mutar ponselnya sembari bergumam kecil. "Sepertinya dia juga memintaku untuk mencari siapa Malaikat Maut yang sudah membunuh Hana dan dirinya," lanjut Rin lagi.

Balkon adalah tempat mereka berada sekarang sehingga angin dapat menari-nari diantara Rin dan Ita. Suasana sejuk yang dihasilkan sayangnya tak membuat keduanya meredam amarah yang kalut.

Ita melengos, "dia pasti tahu siapa pelakunya namun karena sikap pemalas yang ia miliki dia lebih dulu di bunuh sebelum memberitahukan nya pada kita," ucap gadis itu.

Mungkin, andai ini tak menyangkut kematian Rin akan tertawa dan menyetujuinya.

"Sudahlah, aku harus bersiap untuk rapat selanjutnya," ucap Rin meninggalkan Ita yang memilih tetap tinggal di balkon itu.

"Oh iya Rin, entah kenapa aku sudah tak bisa percaya lagi pada semua anggota Arionist." Ucapan Ita membuat Rin membeku. Rin berusaha tenang dan bersikap biasa sebelum menoleh menatap Ita yang nampak beraut datar.

"Entahlah ...." Dan Rin pergi setelahnya membuat Ita makin yakin akan pemikirannya. Mungkin, firasat nya benar, Arionist memang tak layak untuk berdiri lagi.

Kematian adalah hal yang menyakitkan tapi kematian itu pula yang dapat merubah orang lain. Layaknya gula pada air yang diaduk, andai adukan itu tidak menghilangkan bulir gula maka rasa manis tak akan terasa.

Layaknya kehidupan, tanpa badai, tanpa guncangan, suatu yang disebut indah tak akan pernah ada.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro