7
"Yang bisa bantu Mas itu bukan aku, tapi orang tua aku," bantah Arin dengan sedikit kesal. Perempuan itu kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. "Pokoknya, Mas jangan berantem lagi ya!"
Rian mendengus kesal setelah mendengar ucapan Arin yang memang sedikit kekanakan. Walau sebenarnya masalah utama pertengkarannya dengan Max adalah Arin. Namun, pria itu tetap menampiknya.
"Terserah gue dong!"
Setelah selesai berbicara, Rian memutuskan untuk meninggalkan Arin sendirian. Melihat hal itu, Arin langsung berteriak dan berlari mengejar Rian dari belakang. "Mas Rian!"
Langkah kaki Rian yang panjang berhasil membuat jaraknya dari Arin cukup jauh sehingga perempuan itu harus berlari untuk sampai di sisi Rian. "Mas mau kemana?" tanya Arin yang langsung membuat Rian menoleh ke arahnya.
"Kelas."
"Loh, kenapa nggak ke UKS dulu?"
"Ngapain?"
"Ngobatin luka, Mas. Yuk, kita ke sana."
Tanpa menunggu jawaban Rian, Arin menarik tangan pria itu untuk mengikutinya ke UKS. Dia merasa tidak tega saat melihat sudut bibir Rian yang mengeluarkan darah walau hanya sedikit.
Sesampai di ruang UKS, Arin dan Rian bertemu dengan seorang pria. Pria itu adalah pria yang membantu Arin saat pingsan dulu. "Eh, kamu yang bantuin aku pas MOS kan?"
Tentu Arin mengingat pria itu karena senyum manisnya. "Kamu masih ingat aku?" tanya pria itu dengan sedikit malu. Wajahnya bahkan terus menunduk dengan senyum kecilnya.
"Inget dong!" jawab Arin dengan semangat. Perempuan itu kemudian membaca nama yang ada di baju pria di hadapannya. "Ang-gara Se-na-ton. Nama kamu Anggara Senaton?"
"Iya, panggil aja Angga."
"Oke Angga. Kenalin, aku Arin."
Dengan semangat, Arin menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Angga. Namun sebelum tangan keduanya bertemu, suara batuk dari balik tubuh Arin menghentikannya.
"Eh iya, sampe lupa. Ini temen aku abis berantem. Bisa diobatin nggak?" tanya Arin yang membuat Angga menatap ke arah Rian. Tatapan Angga dibalas dengan sangat tajam oleh pria itu sehingga membuatnya sedikit ketakutan.
"Hmm, bisa kok. Tapi, tolong kamu yang obatin ya. Nanti aku bawain alat-alatnya," jawab Angga dengan sedikit terbata. Pria itu kemudian pergi dari hadapan Rian dan Arin.
Beberapa menit kemudian, Angga kembali datang dengan membawa beberapa obat untuk Rian gunakan. "Ini obatnya, kamu bersihin dulu pakai alcohol swap. Terus, kasih obat merah. Kalau mau di kasih hansaplast boleh kok. Kalau begitu aja juga boleh."
Arin mendengarkan Angga dengan saksama dan setelahnya, perempuan itu mulai melakukan apa yang Angga perintahkan.
Takut Arin melakukan kesalahan, Angga menemaninya sampai pengobatan Rian selesai dan ikut bangga melihat perempuan itu bersorak bahagia setelah memasang hansaplast di sudut bibir Rian. "Yeay, selesai."
Semua perhatian Angga terhadap Arin terus mendapat tatapan tajam dari Rian. Belum selesai masalahnya dengan Max, kini ada pria lain yang mengusik hidupnya dan Arin.
"Ayo, balik!" pinta Rian tiba-tiba sembari menarik tangan Arin untuk mengikutinya. Arin tentu terkejut. Namun, tetap mengucapkan terima kasih pada Angga sebelum menghilang dari pandangan pria itu.
Sesampai di depan kelas Arin, Rian menghentikan langkahnya dan berhadapan dengan perempuan tersebut. "Gue bilangin ya, jangan deket-deket sama cowok tadi!"
"Cowok tadi? Angga?"
"Gue nggak peduli sama namanya. Pokoknya jangan deket-deket sama dia!"
Paham dengan maksud ucapan Rian, Arin kemudian tersenyum kecil. "Mas cemburu ya?"
"Nggak, gue nggak cemburu!"
Sebelum sempat Arin membalas ucapan Rian, tiba-tiba saja suara bel masuk kelas berbunyi. "Tuh, belnya udah bunyi. Masuk ke kelas gih!"
"Siap, Mas. Aku masuk duluan ya."
Setelah memastikan Arin benar-benar sudah masuk ke dalam kelasnya, Rian langsung berjalan pergi ke kelasnya sendiri yang jaraknya tak jauh dari kelas Arin. Keduanya fokus dengan pelajaran masing-masing dan kemudian kembali bertemu saat pulang sekolah.
"Mas Rian," panggil Arin setelah mendapati Rian baru keluar dari kelasnya. Pria itu berhenti melangkah dan menoleh ke belakang.
"Kenapa?" tanya Rian singkat tanpa basa basi.
Mendengar intonasi suara Rian yang kurang mengenakan, Arin menjadi sedikit ragu untuk mengungkapkan apa yang ingin dia sampaikan. Rian yang menunggu menjadi tidak sabaran dan bertanya "Lo kenapa sih?"
"Hmm, aku boleh ikut Mas balik nggak?" tanya Arin dengan pelan. Wajah perempuan itu menunduk takut melihat raut wajah Rian yang mungkin berbeda dari sebelumnya.
Sebelum sempat menjawab, tiba-tiba suara lain terdengar menyita perhatian keduanya. "Kalau dia nggak mau, lo balik sama gue aja, Rin."
Suara itu berasal dari Max, dia masih tetap mengejar Arin walaupun sudah diperingatkan oleh Rian.
"Nggak, lo nggak boleh balik sama dia," jawab Rian tegas sembari menunjuk Arin dan Max secara bergantian.
"Terus, aku gimana baliknya?" tanya Arin dengan perasaan sedikit sedih.
"Sopir lo mana?"
"Izin, Pak Wahyu lagi izin. Istrinya mau melahirkan."
Rian berdecih pelan mendengar jawaban Arin. "Cih, sopir lo bukan cuman Pak Wahyu, gue tau itu!"
"Sopir yang lain lagi anter Mama sama Papa. Mereka kan sering pergi-pergi gitu."
Apa yang Arin katakan memang benar adanya, kedua orang tua perempuan itu sekarang sibuk dengan bisnis masing-masing dan sopir mereka tentu menemani.
Karena tidak tau harus melakukan apa lagi, Rian mendengus pelan. Mau tak mau pria itu harus mengantar Arin walau sedikit malas.
Rian juga tidak akan membiarkan Max mengantar perempuan itu lagi. "Ya udah, buruan. Gue ada urusan abis ini soalnya."
"Oke."
Dengan semangat, Arin mengikuti Rian dari belakang sampai ke parkiran dan menunggu pria itu mengeluarkan motornya. Setelah siap, Rian pun berkata, "buruan naik."
Tanpa basa basi, Arin naik ke atas motor Rian dibantu dengan tangan pria itu karena motornya yang sangat tinggi dan setelahnya, Rian memacu motornya dengan kecepatan sedang.
Perjalanan menuju rumah Arin memang tidak terlalu jauh sehingga keduanya sampai dengan waktu yang singkat. Walau begitu, Arin tetap menikmatinya karena untuk pertama kalinya Rian mau mengantarnya pulang.
"Makasih ya, Mas udah mau anterin aku," ucap Arin setelah turun dari motor.
Rian mengangguk pelan tanpa mengeluarkan suaranya, pria itu kemudian perlahan menghilang dari pandangan Arin yang terus melambaikan tangan ke arahnya. "Da-da Mas, hati-hati di jalan."
Kebahagiaan Arin nyatanya tidak berlangsung lama karena saat malam tiba, perempuan itu melihat postingan story di Instagram Rian yang menampilkan pria itu bersama dengan teman-temannya. Bukan hanya ada teman-teman pria yang bersama dengan Rian, tetapi juga ada teman-teman perempuan pria itu juga.
Arin terduduk lemah di sisi ranjangnya saat menatap layar ponsel yang kini di tangannya. Jadi, ini yang dia maksud dengan ada urusan?
Di tengah kesedihannya, tiba-tiba ponsel perempuan itu berbunyi dan menampilkan nama Bela, Ibu Rian. "Halo, Tante," sapa Arin dengan pelan, berusaha sekuat mungkin untuk bersikap seperti biasanya.
"Halo, Nak Arin. Maaf ya Tante ganggu."
"Nggak ganggu kok, Tan. Kenapa?"
"Hmm, Tante cuman mau nanya, Rian lagi sama kamu nggak?"
Arin terdiam sejenak setelah mendengar pertanyaan dari Bela, dia bingung harus menjawab apa. Namun setelah kembali menatap Instagram story milik Rian, perempuan itu langsung sadar dengan apa yang terjadi.
"Iya, Tan. Rian lagi sama aku," jawab Arin dengan pelan, dia sebenarnya tidak ingin berbohong pada Bela, tetapi situasi memaksanya untuk melakukan hal itu
"Syukurlah, Tante kira dia bohong. Ya udah deh kalau gitu. Kalian jangan pulang terlalu larut ya kaya sebelumnya. Tante takut kamu sakit."
Lagi-lagi Arin dibuat terkejut oleh ucapan Bela. Satu persatu fakta mulai terungkap dan perempuan itu merasa belum sanggup untuk mengetahuinya. Sebelumnya? Berarti Mas Rian sudah pernah bohong sebelumnya?
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba Bela kembali mengeluarkan suaranya. "Kalau gitu Tante matiin ya, teleponnya. Selamat bersenang-senang."
"Iya, Tante."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro