21 (End)
Hujan rintik-rintik menemani perjalanan pulang Arin dan Angga. Air tersebut mulai membasahi mobil yang mereka gunakan dan membuat jarak pandang mereka sedikit susah.
Di persimpangan, Angga menyalakan pembersih kaca dan melirik ke arah Arin yang terus menatap keluar jendela. Rasa bersalah kini hinggap di benak pria itu karena sudah membuat hari libur Arin berantakan.
Tangannya perlahan mendekat ke arah tangan Arin yang tengah memegang tas. Dengan perlahan dia mulai mengelus tangan perempuan itu sehingga Arin menoleh ke arahnya. "Kenapa?"
"Kenapa apanya?" tanya balik Angga.
"Kenapa megang tangan aku?"
Senyum tipis Angga terukir dengan mata yang terus menatap lampu lalu lintas. "Emangnya aku nggak boleh megang tangan kamu? Aku kan pacar kamu."
Arin tidak bisa menjawab atau juga membantah ucapan Angga. Dia benar-benar malu ketika pria itu mengatakan bahwa mereka sudah berpacaran walau baru beberapa jam yang lalu.
"Maaf ya, aku bawa kamu balik. Aku cuman nggak mau cari masalah sama Rian."
Raut wajah Arin kembali datar mendengar nama Rian di sebut. "Iya, aku tau kok."
"Terus, kenapa muka kamu masih bete gitu?" tanya Angga setelah melirik sebentar wajah Arin.
"Nggak pa-pa kok, aku cuman laper."
"Beneran cuman laper?"
"Iya!"
Arin sebenarnya masih kesal dengan sikap Rian yang tiba-tiba menyuruhnya dan Angga pulang sampai mereka tidak bisa makan. Namun, jika mengatakan yang sebenarnya dia takut Angga merasa bersalah.
Sesampai di rumah Rian, Arin langsung membuka seatbelt yang dia gunakan dan bersiap untuk keluar, tetapi tangan Angga menahan pergerakan perempuan itu.
"Kenapa?" tanya Arin setelah menatap tangan Angga di lengannya.
"Aku mau nanya sesuatu deh."
"Nanya apa?"
Setelah diberi peluang, Angga terdiam untuk berpikir sejenak dan kembali menatap Arin yang masih memperhatikannya. "Kamu sampai kapan tinggal di rumah Rian?"
Mendengar pertanyaan Angga, Arin tersenyum tipis dan memperbaiki posisi duduknya agar bisa berhadapan dengan Angga. "Aku boleh jujur nggak?" tanya balik Arin yang langsung dibalas anggukan oleh Angga.
"Aku kayanya bakal selamanya tinggal di sini," jelas Arin singkat.
Jawaban yang tidak bisa Angga cerna itu keluar dari mulut Arin, pria itu bingung dengan maksud ucapan pacarnya sehingga dia kembali bertanya. "Maksudnya?"
"Iya, Ibu sama Ayah aku sebentar lagi cerai. Aku nggak mau tinggal sama salah satu dari mereka. Ya jadinya, aku tinggal sama keluarga Rian aja. Lagian mereka punya kamar kosong kok, punya Mas Rama."
"Rama?"
Nama asing terdengar di telinga Angga, dia masih terlalu buta dengan kehidupan pribadi Arin dan mencoba untuk memahaminya. "Iya, Mas Rama. Mas Rama itu kakaknya Mas Rian. Dia lagi kuliah di luar negeri, jadi aku tinggal di kamar dia untuk sementara waktu."
Angga mengangguk pelan setelah mendengar penjelasan Arin. Dia akhirnya paham, siapa Rama itu.
"Udahlah, kebanyakan ngomong kita sampe lupa mau masuk ke rumah," ucap Arin lagi sebelum keluar dari mobil dan meninggalkan Angga yang tersenyum manis ke arahnya.
Tak lama setelahnya, Angga ikut keluar dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah. Saat masuk, dia langsung bertemu dengan Rian yang berdiri tepat di hadapan pria itu.
Wajah Rian begitu menyeramkan dan Angga bingung harus melakukan apa. Dia hanya terdiam sembari menunggu Rian mengeluarkan suaranya.
"Ikut gue!" pinta Rian sembari memimpin perjalanan. Arin sudah pergi entah kemana dan hanya ada mereka berdua di ruangan tersebut.
Setelah cukup lama berjalan, Rian dan Angga sampai di taman belakang. Keduanya langsung berhenti tepat di depan kolam berenang dan Rian membalik tubuhnya untuk menatap Angga.
"Gue peringatin ya ke elo. Jangan mentang-mentang lo sama Arin sudah jadian terus lo seenaknya mau bawa tuh anak jalan sampe nggak inget waktu!"
Gunung amarah Rian akhirnya meledak setelah dapat berbicara empat mata dengan Angga.
"Iya, sorry, sorry. Gue nggak maksud bawa Arin sampe semalem ini."
Sekarang sudah pukul 10 malam dan hal itu yang membuat Rian sangat marah pada Angga. Sejak dulu, Arin tidak pernah pergi sampai larut malam. Perempuan itu akan selalu berada di rumah saat malam tiba.
"Tapi, lo ngelakuin itu!"
"Iya, gue tau gue salah."
Angga ingin menyelesaikan permasalahannya pada Rian dengan meminta maaf. Namun, sepertinya pria itu tidak puas dengan apa yang dia lakukan.
"Gue nggak butuh maaf lo, gue butuh janji lo!" tegas Rian dengan penuh penekanan.
"Iya, iya. Gue janji."
"Awas aja ya lo, kalau lo macem-macem. Jangan harap lo bisa ketemu sama Arin lagi."
Setelah memberi peringatan, Rian pergi meninggalkan Angga yang masih mematung di tempat dia berdiri sebelumnya.
Berganti dengan Rian, tiba-tiba Arin datang dan berdiri di hadapan Angga. "Kamu nggak diapa-apain sama Mas Rian kan?" tanya perempuan itu dengan raut wajah khawatir.
Tidak ingin Arin berpikir yang tidak-tidak, Angga langsung mengusap kepala pacarnya itu dengan lembut. "Nggak kok, Rian nggak apa-apain aku."
"Beneran?" tanya Arin lagi memastikan dan Angga mengangguk pelan. Sembari menghela napas, perempuan itu pun menyerah. "Ya udah deh kalau gitu."
Tiada hubungan yang jauh dari pertengkaran dan Angga mencoba untuk membuat hubungannya dengan Arin berjalan baik. "Hmm, udah malem nih. Aku balik ya," ucap Angga tiba-tiba setelah melihat jam di pergelangan tangannya.
"Ih, kenapa cepet banget sih! Jangan pulang dulu, Tante Bela ngajak makan malem."
"Hmm gimana ya?" Angga merasa tidak enak pada keluarga Rian karena masih berada di rumah mereka sampai malam tiba. Namun, setelah mendengar rengekan Arin, pria itu akhirnya mengalah. "Ya udah deh."
Keduanya berpegangan tangan sampai ke ruang makan. Di sana, sudah ada Bela, Windu dan juga Rian. Tatapannya beradu dengan Rian yang terus memperhatikannya dari kejauhan.
"Ayuk, duduk," ajak Arin setelah menarik kursi untuk Angga duduki.
Mereka makan dengan santai sembari berbincang ringan. Keluarga Rian cepat akrab dengan Angga karena pria itu sangatlah sopan dan memiliki pengetahuan luas.
"Kapan-kapan makan di sini lagi ya," ucap Bela setelah ikut mengantar Angga sampai ke depan pintu rumah mereka.
"Iya, Tan. Kalau diundang, nanti saya ikut makan bareng lagi," balas Angga sembari tersenyum manis.
"Oh iya, kalau bisa nih. Ajak Arin jalannya jangan malam ya. Kasian dia nanti masuk angin," ucap Bela lagi yang membuat Arin malu.
"Ih, apaan sih, Tan. Aku nggak gampang masuk angin kok," bantah perempuan itu dengan cepat.
"Iya, Tan. Maaf ya ngajak Arin jalan malem-malem. Soalnya saya tadi ada urusan dulu "
"Iya, nggak pa-pa kok, Nak."
"Ya udah, Tan, Rin. Saya balik dulu ya."
"Iya, hati-hati di jalan ya, Nak."
Syukurnya, Angga yang diterima baik dengan keluarga Rian bisa menjalin hubungan tanpa harus diam-diam. Walau begitu, Rian masih terus menghantui hubungan mereka dengan ikut campur dalam masalah yang keduanya hadapi. Namun, Rian bertindak sebagai kakak yang mengayomi keduanya.
Perjalanan cinta Arin berakhir di Angga, pria yang membantunya saat pingsan. Karena dia, Arin sadar bahwa perasaannya pada Rian bukanlah perasaan cinta yang sebenarnya dan pria itu juga merasakan hal yang sama.
Sekarang, kehidupan Arin berubah. Walau tidak memiliki keluarga yang utuh, perempuan itu akhirnya memiliki rumah sendiri untuk pulang yaitu Angga.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro