17
Karena tak kunjung ada suara dari balik tubuhnya, Rian yang belum bisa tidur itu merasa gelisah. Ada banyak spekulasi yang pria itu pikirkan sebelum akhirnya membalik penuh tubuhnya dan mendapati Arin tengah menangis sembari menutupi mulutnya agar tidak ada suara yang keluar.
Melihat hal itu, Rian tidak bisa hanya diam dan langsung bangun dari tidurnya. "Lo kenapa?" tanya Rian dengan lembut, pria itu kemudian membawa Arin ke dalam pelukannya.
Dengan lembut, Rian mengusap punggung Arin yang bergetar hebat. Rian tau, yang perempuan itu butuhkan saat ini adalah pelukannya.
Keduanya terbawa suasana hingga waktu yang cukup lama.
Tangis Arin perlahan memelan bahkan menghilang dengan jejak air mata di pipi tirus perempuan itu. Rian melonggarkan pelukan hangatnya dan menatap dalam mata Arin yang sedikit bengkak. "Udah?"
Arin mengangguk pelan dan mengusap sisa air matanya. "Maafin aku ya, Mas."
"Gue nggak pa-pa orang kok. Gue juga nggak marah sama lo, asal lo nggak ngelakuinnya lagi. Ya seminimal mungkin lo izin gitu sama gue, biar gue nggak khawatir."
Simpel, tapi susah untuk dilakukan. Itulah yang diinginkan Rian. Selama Arin pergi, pria itu benar-benar khawatir bahkan sampai melupakan jam istirahatnya. Mau menghubungi Arin, tapi ternyata ponsel perempuan itu ketinggalan.
"Oh iya, satu lagi. Tuh hape dibeli buat dipake, bukan ditinggalin," sindir Rian sembari melirik ponsel Arin yang berada di atas nakas samping kasurnya.
Arin yang menyadari kebodohannya langsung tersenyum kikuk. "Iya, Mas. Maaf ya."
"Dah ah, nggak usah kebanyakan minta maaf lo!"
Mulai saat itu, Arin benar-benar harus membagi waktunya untuk sekolah, menjaga Rian dan menengok Ibunya Angga setiap hari. Walau sedikit penat, perempuan itu tetap melakukannya karena Rian dan Mila sama-sama berharga baginya.
Dengan baju sekolah yang sedikit kumal, Arin masuk ke dalam kamar rawat Rian sembari bergumam pelan. Wajahnya tertekuk entah karena apa dan membuat Rian sedikit penasaran. "Kenapa lo?"
Wajah Arin menoleh menatap Rian yang tengah duduk di atas kasurnya, perempuan itu masih sibuk menaruh tas sekolah dan mengambil baju gantinya sebelum mendekat ke arah Rian. "Aku bete, Mas. Masa tadi pas piket, temen-temen aku nggak ada yang mau bantuin. Jadinya aku kerjain sendiri."
Tawa Rian mengisi ruangan setelah mendengar curahan hati Arin. Pantas saja, perempuan itu baru datang pukul lima sore padahal seharusnya dia datang sekitar pukul tiga sore. "Ya lagian, lo kebanyakan absen kemarin pas lo sakit. Wajar aja mereka ninggalin elo. Emang lo nggak sadar, selama lo absen siapa yang kerjain jadwal piket lo?"
Arin mengunci penuh mulutnya dengan wajah yang sedikit kesal. Bibirnya cemberut karena tidak mendapat dukungan dari Rian dan malah mendapatkan omelan dari pria itu. "Iya, iya deh."
Tidak ingin kembali bertengkar dengan Rian, Arin langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian. Tak butuh waktu lama, perempuan itu keluar dengan wajah yang sedikit lebih segar dari sebelumnya.
"Mas, hari ini jadwal Mas buat buka gips loh," ucap Arin mengingatkan sembari berjalan ke arah sofa.
"Iya, iya, gue inget kok."
Seperti biasa, Arin menemani Rian sampai waktu dimana Dokter yang menangani pria itu datang untuk memeriksa. "Gimana Mas, ada keluhan apa hari ini?" tanya dokter berpapan nama Tio itu.
"Nggak ada kok, Dok. Aman."
"Syukurlah, berarti kita bisa langsung buka gipsnya ya."
"Iya, Dok."
Perlahan, Dokter Tio memperhatikan gips kali Rian dan mengambil alat-alat untuk membukanya. Ada sebuah mesin gerinda kecil yang kemudian dokter muda itu nyalakan dan berhasil membuat Arin ketakutan bahkan melangkah mundur.
"Santai aja, Mbak. Gerindanya aman kok."
Dokter Tio tau Arin takut pada alat yang dia pegang. Namun, perempuan itu tetap berusaha tenang dengan senyum kaku di wajahnya.
"Kita mulai ya, Mas. Pembukaannya."
Perlahan, mesin gerinda di tangan Dokter Tio menyentuh gips kaki Rian dan memotongnya jadi dua. Jelas terlihat kaki asli Rian yang selama dua minggu ini di dalam gips tersebut.
"Sudah selesai ya, Mas. Kalau ada keluhan setelah ini, bisa langsung panggil kami."
"Iya, Dok. Makasih."
Setelah Dokter Tio dan beberapa suster yang bersamanya pergi, akhirnya Arin berani mendekat ke arah kasur Rian. Pria itu tersenyum jail saat menatap Arin yang masih menunjukkan wajah takutnya. "Santai aja dong mukanya."
Menyadari bahwa Rian tengah meledeknya, Arin langsung cemberut. "Ih, aku tuh khawatir sama Mas."
"Yaelah, gituan doang khawatir."
Bukan, bukan Rian menyepelekan perhatian Arin, tetapi dia tidak mau perempuan itu khawatir padanya karena ada banyak hal yang perlu Arin pikirkan sekarang termasuk Ibunya Angga.
"Lo masih di sini? Bukannya lo mau jenguk Ibunya Rian?"
Pertanyaan Rian berhasil membuat Arin sadar jika dia sudah berjanji untuk datang ke ruangan ibunya Angga. "Astaga, aku lupa, Mas."
"Ya udah, buruan pergi. Jangan lama-lama."
"Siap, Mas."
Ketukan pelan, Arin lakukan di pintu kamar rawat ibunya Angga. Dia tidak mau langsung masuk karena merasa kurang sopan jika melakukan hal tersebut. Namun setelah beberapa lama, tidak ada jawaban dari dalam ruangan tersebut dan membuat Arin sedikit curiga.
Perempuan itu merogoh celananya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Matanya mulai memperhatikan layar ponsel yang kini menyala dan saat mendapati ruang pesan Angga, perempuan itu menyadari bahwa Angga tidak aktif sejak siang tadi. Kemana ya dia?
Banyak spekulasi yang mulai muncul di benak Arin, perempuan itu khawatir pada kondisi ibunya Angga.
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba pundak perempuan itu ditepuk dari belakang dan membuatnya langsung membalikkan tubuh dengan wajah terkejut. "Angga!" pekik Arin tak kenal waktu.
Matanya kemudian memperhatikan beberapa orang di sisi Angga termasuk sang ibu yang tengah berada di kursi roda.
"Jangan teriak-teriak gitu dong, nggak enak sama pasien lain."
Arin tersenyum kikuk menanggapi ucapan Angga. "Hehe, maaf."
"Iya, nggak pa-pa. Ayuk, masuk."
Angga terlebih dahulu masuk ke dalam ruang rawat ibunya dan memberi jalan untuk orang lain di belakang pria itu dengan menahan pintu.
Semua kini sudah masuk ke dalam ruangan termasuk Arin, perempuan itu terus memperhatikan ibunya Angga yang tengah diangkat naik ke atas kasur oleh seorang pria paruh baya dengan tubuh yang masih segar.
Dahi Arin mengerut bingung, penasaran siapa pria paruh baya tersebut. Sikap berbeda yang Arin lakukan menyita perhatian Angga dan membuatnya tersenyum tipis. "Dia Papa aku," jelas Angga singkat yang langsung membuat Arin menoleh ke arahnya.
"Beneran?" tanya Arin memastikan dan Angga mengangguk pelan.
"Emangnya nggak mirip ya?" tanya balik Angga.
Tatapan Arin beralih pada pria paruh baya yang sebenarnya adalah Ayah Angga. Setelah memperhatikannya cukup lama, dia menyadari bahwa ada beberapa bagian wajah pria itu yang mirip dengan Angga termasuk alis lebatnya.
"Mirip kok. Tapi ... Dikit."
****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro