Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15

Kadang, ada suatu fakta yang sebaiknya dikubur dalam agar tidak merusak segalanya. Itulah yang terjadi sekarang di hidup Arin.

Sejak perempuan itu jujur pada Angga, hubungannya renggang bahkan Arin sampai jarang bertemu dengan pria itu walau hanya sesekali di sekolah.

Entah memang waktu tidak berpihak pada mereka atau malah Angga yang mencoba untuk menghindar.

"Hei, lo kenapa?" tanya Rian yang membuat Arin sadar dari lamunannya. Sebenarnya perempuan itu tengah menyuapi Rian makan dan tiba-tiba kepikiran dengan Angga.

"Hah, nggak pa-pa kok, Mas," jelas Arin dengan sedikit terbata. Perempuan itu kembali menyuapi Rian yang masih dirawat hingga makan siang pria itu habis.

Dengan hati-hati, Arin membersihkan meja makan Rian dan mengangkat piring makan yang sebelumnya pria itu gunakan. "Aku keluar bentar ya, Mas. Mau nyimpen ini ke depan."

Sebelum sempat pergi, tangan Rian menahan perempuan itu. "Kalau lo ada masalah bilang aja," ucap Rian tiba-tiba seakan tau masalah yang Arin hadapi.

Menanggapi ucapan Rian, Arin hanya bisa tersenyum tipis dan perlahan melepaskan cengkeraman pria itu. "Aku nggak pa-pa kok, Mas. Aku keluar bentar ya."

Saat tengah menaruh piring kosong di depan ruang rawat Rian, ekor mata Arin menangkap sosok pria yang beberapa hari ini ada di pikirannya.

Arin dengan cepat mencari sosok itu sembari berlari ke arah yang dimaksud. Namun, perempuan itu tidak mendapatkan apapun. Kayanya tadi aku liat Angga deh.

Tangan Arin kemudian merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Mencari nama Angga dan meneleponnya dengan cepat. Sayangnya, panggilan itu ditolak.

Arin ingin marah sekarang, bukan untuk pertama kalinya Angga menolak panggilannya padahal Arin ingin bertemu dengannya.

Dengan wajah masam, Arin kembali masuk ke ruang rawat Rian dan duduk di sisi pria itu yang terus memperhatikannya. "Lo kenapa?" tanya Angga lagi. Pria itu tidak akan berhenti bertanya sebelum Arin mengatakan sebenarnya.

"Nggak pa-pa kok, Mas. Aku nggak pa-pa."

Rian berdecih pelan mendengar jawaban Arin yang jelas membohonginya. "Lo tuh nggak pinter boong. Mending jujur ke gue, lo kenapa?"

Arin menunduk penuh tanpa mau menjawab pertanyaan Rian, dia tidak mau menyakiti perasaan pria itu walau apa yang dia lakukan malah menyakiti perasannya.

"Gue tau, lo begini gara-gara Angga kan?"

Mendengar nama Angga disebut, Arin langsung mengangkat wajahnya dan matanya bertemu dengan mata Rian yang menatap tajam.

"Jadi, gara-gara Angga?"

Arin sedikit takut saat mendengar suara Rian yang berubah rendah dengan penuh penekanan. Dia menjadi semakin ragu untuk menjelaskan apa yang terjadi.

"Emangnya, lo sama dia hubungan apa?" tanya Rian lagi yang kembali membuat Arin bungkam. "Lo punya mulut dan bisa bicara, kenapa sih nggak ngomong aja."

"Aku sama Angga nggak ada hubungan apa-apa kok, Mas."

"Tapi, lo punya perasaan sama dia?"

Skak. Rian kembali menghentikan otak Arin untuk bekerja menjawabnya, Arin dibuat bingung sekaligus takut dalam menjawab apa yang pria itu tanyakan.

"Lo nggak perlu jawab, raut muka lo sudah ngejelasin semuanya."

Rian terlihat menerawang jauh ke depan, menatap langit kamar rawatnya yang berwarna putih bersih tanpa noda. "Lo boleh kok sama dia, gue nggak masalah. Gue pun sadar kalau selama ini gue cemburu sama lo sebagai kakak bukan sebagai pasangan. Gue cuman nggak mau lo salah dapet pasangan, tapi gue tau Angga itu cowok baik-baik."

"Mas," cicit Arin pelan dengan mata memerah karena menahan tangisnya.

"Kok lo mau nangis sih?" tanya Rian setelah melihat wajah Arin. Pria itu kemudian mengusap kepala Arin perlahan. "Gue tetep sayang sama lo. Seperti Kakak yang sayang sama adiknya."

Perubahan sikap Arin membuat Rian cukup bahagia, setelah pria itu jelaskan bagaimana perasannya Arin menjadi lebih terbuka dan ceria seperti sebelumnya. Walau sebenarnya, Rian masih memiliki perasaan lebih pada perempuan itu. Namun, dia tau bahwa perasaan Arin bukan lagi miliknya.

"Mas, aku mau ke kantin bentar ya. Mau beli kerupuk," ucap Arin sebelum meninggalkan Rian sendirian di kamarnya. Perempuan itu hanya ingin beli kerupuk untuk menemani makan siangnya.

Saat perempuan itu sampai di kantin, ada banyak orang yang juga ingin berbelanja sama sepertinya. Perempuan itu ikut mengantri dan menunggu saatnya tiba untuk membeli apa yang dia mau.

Mata Arin memperhatikan beberapa lauk yang ada di rak kantin. Makanan-makanan itu sepertinya begitu nikmat. Namun, matanya kemudian menatap jauh ke depan di mana tempat makan berada. Loh, itu bukannya Angga.

Melupakan keinginannya untuk beli kerupuk, Arin meninggalkan antrian dan masuk ke dalam tempat makan tersebut. Di sebuah meja panjang, seseorang yang Arin tau tengah duduk dan makan dengan hikmat.

"Angga," panggil perempuan itu sembari menepuk pundak pria yang dia maksud dan benar saja, Angga menoleh dengan mulut penuh makanan.

Sebelum menjawab, Angga menguyah habis makannya dan Arin duduk di sisinya. "Kamu kok jauhin aku sih," ucap Arin lagi.

"Aku nggak jauhin kamu."

"Terus, kenapa telepon aku dimatiin mulu."

Angga tersenyum tipis saat mendengar ucapan Arin. Memang dia sengaja menolak panggilan itu karena tau Arin tengah bersama dengan Rian. "Nggak pa-pa, aku cuman nggak mau gangguin kamu."

"Terus, kamu ngapain di sini?" tanya Arin lagi. Tentu dia bingung kenapa Angga ada di kantin rumah sakit.

Angga membasahi bibirnya yang terasa kering, dia menjadi gugup untuk menjawab pertanyaan Arin. "Hmm, mama aku masuk rumah sakit. Jadinya aku di sini," jelas Angga dengan sedikit pelan. Hal itu membuat Arin merasa bersalah.

"Mama kamu masuk rumah sakit? Kalau boleh tau, beliau sakit apa?"

"Struk. Mama aku kena Struk, jadinya aku di sini nemenin Mama."

Arin terdiam sesaat mendengar jawaban Angga. Pantas saja pria itu jarang terlihat, ternyata Angga harus menjaga ibunya.

"Aku boleh jengukin Mama kamu nggak?" tanya Arin dengan hati-hati. Walau nantinya ditolak, perempuan itu tidak akan memaksa karena tau bagaimana hubungannya dengan Angga.

"Boleh kok, tapi Rian bolehin nggak?"

Nama Rian kembali muncul di tengah pembicaraan Arin dan Angga. Sebenarnya Arin ingin menjelaskan sesuatu pada Angga yang mungkin bisa memperbaiki hubungannya. Namun melihat kondisi kantin yang ramai, Arin mengurungkan niatnya.

"Nggak kok, Mas Rian nggak bakalan marah."

Sesuai perjanjian mereka, Arin menjenguk Mamanya Angga. Dengan sedikit gugup, perempuan itu masuk setelah Angga mempersilakannya.

Kamar rawat Mamanya Angga lebih mewah daripada miliknya dulu dan Rian. Arin menjadi yakin bahwa pria di dekatnya itu bukanlah orang sembarangan.

"Ma, ini ada temen aku yang dulu sering aku ceritain," ucap Angga pada ibunya yang hanya merespon dengan kedipan mata karena tubuhnya tidak bisa bergerak.

"Sini, Rin," panggil Angga dan Arin mendekat ke arahnya.

"Ini Arin, Ma. Dia yang pernah Mama bikinin makanan, dia sudah sembuh loh. Mama juga harus cepet sembuh ya."

Ucapan halus dan menenangkan yang Angga ucapkan berhasil membuat Arin ikut hanyut dalam perasaan sedih yang pria itu buat. Segala kemewahan yang dia miliki tentu tidak ada artinya jika penyakit tiba-tiba menyerang dan menghancurkan kebahagiannya.

"Iya, Tan. Saya Arin, temennya Angga," ucap Arin kembali memperkenalkan dirinya.

Tiba-tiba saja, ponsel Angga berbunyi dan menyita perhatian Arin yang langsung menoleh.

"Aku angkat telepon dulu ya," ucap Angga sebelum meninggalkan Arin berdua dengan ibunya.

Melihat ada kursi yang kosong di sisi ranjang ibunya Angga yang bernama Mila, Arin kemudian mengambil kursi itu dan duduk di atasnya. Matanya perlahan memperhatikan tubuh lemah ibu Angga yang terlihat begitu menyedihkan. Kurus dan begitu pucat.

Tanpa sadar, Arin meneteskan air matanya sembari berkata, "Tante yang kuat ya, aku yakin Tante bisa cepet sembuh."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro