Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13

Motor sport milik Angga melaju di jalanan dengan kecepatan standar, Arin yang ada di belakang terlihat tak sabaran dan terus memaksa Angga untuk memacu motornya lebih cepat. "Buruan ih, udah jam berapa ini!"

Angga tersenyum jail setelah melihat wajah Arin dari kaca spionnya, wajah perempuan itu terlihat begitu kesal dan membuatnya. "Ya udah, kalau gitu pegangan."

Sesuai perintah, kedua tangan Arin memegang bahu Angga yang membuat pemiliknya tertawa kecil. "Bukan di situ, tapi di sini."

Angga memperbaiki letak tangan Arin, memindahkannya dari bahu ke perut. "Pegangan yang kenceng ya."

Tiba-tiba saja, Angga memacu motornya dengan kecepatan tinggi yang membuat Arin langsung memeluknya dari belakang. Sangking kencangnya pelukan itu, Angga sampai merasakan sesak di perutnya.

Tidak butuh waktu lama, kedua orang itu sampai di parkiran rumah sakit dan Angga mematikan mesin motornya.

Mata Arin yang sebelumnya tertutup rapat kini sudah terbuka perlahan dan menatap sekitarnya. Akhirnya sampe juga.

Arin cukup lega bahwa dia sampai dengan selamat. Sebelum turun dari motor Angga, perempuan itu mencubit perut Angga dan membuat pemiliknya mengerang kesakitan. "Duh, sakit!"

"Biarin! Siapa suruh laju-laju gitu!"

"Loh, kan kamu yang suruh," balas Angga tak mau mengalah. Memang benar bukan, bahwa Arin yang menyuruhnya untuk cepat sampai ke rumah sakit.

"Iya, tau. Tapi kan, maksud aku nggak selaju itu!"

Arin perlahan turun dari motor Angga dan meninggalkan pria itu sendirian di parkiran, melihat hal itu Angga segera mengejarnya sampai ke ruang rawat Rian yang sudah dipindahkan ke tempat lain.

"Kayanya bener deh," monolog Arin setelah berada di depan pintu kamar rawat Rian. Sebelumnya, perempuan itu bertanya pada resepsionis di depan mengenai ruang baru Rian.

Tak lama kemudian, Angga datang dengan dada yang naik turun dan Arin yang menyadari kedatangan pria itu langsung menoleh dengan wajah yang masih kesal. "Lama banget sih!"

"Ya lagian, kenapa ninggalin aku sih?"

Arin mengibaskan tangannya di hadapan Angga. "Udah, udah. Nggak usah dibahas, kita mending langsung masuk."

Dengan hati-hati, Arin membuka pintu kamar rawat Rian. Di dalam, ada Bela juga Windu yang menunggu anak laki-lakinya itu. "Eh, kamu udah datang, Rin," sapa Bela yang langsung bangun dari duduknya.

Arin tersenyum tipis dan berjalan mendekat ke arah Bela yang berdiri tepat di sisi kasur rawat Rian. "Iya, Tan. Maaf ya, saya telat datangnya. Nih gara-gara dia."

Arin menunjuk ke arah Angga untuk melampiaskan kekesalannya. "Kan kamu sendiri yang telat bangun," balas Angga tak mau mengalah.

"Udah, udah, nggak usah berantem ya. Silakan duduk," potong Bela karena tak mau ada pertengkaran terjadi di kamar rawat anaknya.

Arin memposisikan diri untuk duduk di sisi Bela, keduanya asyik berbincang mengenai keadaan Rian. "Jadi, Mas Rian belum sadar ya?" tanya Arin sembari memerhatikan Rian.

"Iya, belum. Kata dokter sih, dia bakal sadar sebentar lagi."

Arin menghela napas pelan dan bangkit dari duduknya, perempuan itu melangkah maju dan memegang lembut tangan Rian yang jauh lebih besar dari tangannya. "Mas nggak capek apa tidur terus?" tanya Arin dengan sedikit nada bercanda.

Setelah berbicara dan tidak ada tanggapan dari Rian, Arin memperhatikan seluruh tubuh pria itu dan sedikit miris melihat luka yang ada. Ternyata luka Rian bukan hanya di kakinya, tetapi juga ada di kepalanya yang kini sudah terbalut rapi.

Merasa penasaran, kepala Arin menoleh menatap Bela dan bertanya, "Kepala Mas Rian kenapa, Tan?"

Bela perlahan mendekat ke arah Arin dan ikut berdiri di sisinya. "Kepala Rian kebentur, Nak. Ada luka sebesar tiga centi di bagian pelipisnya, jadi perlu dijahit."

"Tapi dia nggak pa-pa kan?"

"Nggak pa-pa kok."

Arin tersenyum tipis menanggapi jawaban Bela, tangannya kembali menggenggam tangan Rian dan mengusapnya pelan. "Cepat sembuh ya, Mas."

Di tengah suasana sedih yang menerpa, tiba-tiba saja tangan Rian bergerak di genggaman Arin dan membuat perempuan itu terkejut. Matanya membulat sempurna dan perlahan mundur ke belakang.

"Tan, tangan Mas Rian gerak," cicit Arin yang membuat Bela ikut kebingungan. Perempuan paruh baya itu kemudian memanggil dokter yang menangani anaknya dan Rian mulai diperiksa.

Saat selesai diperiksa, mata Rian perlahan terbuka. Walau terlihat masih lemah, pria itu tetap berusaha untuk mengeluarkan suaranya. "Rin, Arin."

Yang dipanggil langsung mendekat dan terkejutnya dia saat melihat Rian sudah sadar. "Mas sudah sadar?"

Mendengar hal itu, Bela dan Windu ikut mendekat ke arah kasur Rian, meninggalkan Angga yang tetap berdiri di tempatnya. Wajahnya terlihat masam setelah mengetahui Rian sadar.

"Ayah, Ibu," panggil Rian pelan. Wajahnya masih pucat dengan suara serak dan kurang bertenaga. Namun, pria itu tetap berusaha untuk sadar.

"Keadaan pasien sudah cukup baik, Pak, Bu. Tapi, kami perlu mengeceknya secara berkala," jelas dokter yang menangani Rian.

"Baik, Dok. Terima kasih."

"Ya sudah, saya tinggal dulu ya. Kalau ada apa-apa silakan panggil saya dengan tombol Emergency."

"Baik, Dok."

Dokter dengan beberapa suster yang menemaninya keluar dari ruang rawat Rian. Bela dan Windu terus-terusan mengucap syukur karena putranya sudah sadar, walau kondisinya masih memprihatinkan.

"Gimana perasaan, Mas?" tanya Arin dengan wajah khawatir, dia senantiasa menemani Rian di sisi pria itu.

"Pusing, kepala aku pusing," jawab Rian sembari memegang kepalanya dan cukup terkejut dengan balutan yang ada di sana. "Kepala aku kenapa?"

"Kata Tante Bela, kepala Mas kebentur gitu. Mungkin itu alasannya kenapa Mas pusing," jawab Arin yang membuat Rian menghela napas pelan. "Kalau pusingnya Mas ganggu, aku tanyain ke pihak rumah sakit dulu ya."

Arin bersiap untuk pergi ke luar mencari dokter atau suster yang menangani Rian sebelumnya. Namun, tangan pria itu menahannya. "Nggak usah, nggak ganggu kok. Lo di sini aja."

Arin kembali duduk di kursinya dan wajahnya menoleh menatap Angga yang tengah tertidur di sofa karena lama menunggunya.

Merasa kasihan pada pria itu, Arin meminta izin pada Rian untuk mendatangi Angga. "Mas, aku datengin Angga dulu ya."

Lagi-lagi, tangan Arin ditahan oleh Rian yang terlihat bingung dengan ucapan perempuan itu. "Angga? Lo ke sini sama dia?" tanya Rian yang langsung dibalas anggukan oleh Arin.

"Iya, dia yang nemenin aku ke sini," jelas Arin singkat.

Perlahan genggaman Rian terlepas dan Arin menatap tangan yang kembali ditarik oleh pemiliknya itu. "Kenapa, Mas? Ada masalah?"

"Nggak, nggak pa-pa."

Arin yang merasa masalahnya dengan Rian sudah selesai, kemudian pergi mendatangi Angga dan duduk di sisinya. Saat duduk, Angga yang tidur langsung terbangun karena pergerakan yang Arin lakukan. "Eh, kamu."

Melihat wajah polos Angga yang baru saja bangun membuat Arin bahagia, perempuan itu kemudian merapatkan diri dan Angga langsung merangkulnya. "Mau pulang sekarang?" tanya Angga yang membuat Arin menjauh darinya.

"Nggak mau! Aku mau nemenin Mas Rian di sini," jelas Arin singkat dengan tegas.

Hal itu membuat Angga harus memutar otaknya agar Arin tidak terus-terusan di sini. "Kamu baru aja sembuh loh, Rin. Kalau kamu kecapekan nanti sakit lagi."

Angga memberi pengertian pada Arin yang memang keras kepala sehingga membuat perempuan itu menatap intens ke arah kasur Rian. "Tapi, Tante Bela sama Om Windu nggak ada di sini."

"Mereka cuman pulang sebentar, nanti balik lagi kok. Kalau mereka sampai, kita pulang ya," bujuk Angga yang membuat Arin merenggut. Angga yang tidak bisa melihat sikap manis Arin itu langsung mencuit pipinya pelan. "Nggak mempan wajah imut kamu itu. Kita tetep pulang ya. Besok kita ke sini lagi."

Arin menghela napas setelah tau triknya tidak bisa mengganggu keputusan Angga. Perempuan itu kemudian bangkit dan berjalan ke arah kasur Rian. "Mas," panggil Arin yang membuat Rian menoleh ke arahnya.

"Kenapa?"

"Maaf ya, Mas. Aku nggak bisa nginep di sini. Tapi, aku temenin Mas kok sampe Tante Bela sama Om Windu Dateng," jelas Arin dengan senyum tipis yang dia lukis.

Rian terlihat tengah berpikir setelah mendengar ucapan Arin. Dia ingin perempuan itu menemaninya, tetapi tidak tau caranya bagaimana.

Arin kembali duduk di sisi kasur Rian sembari memerhatikan pria itu dengan saksama. Dia sedikit penasaran kenapa wajah Rian sedikit berbeda. "Kenapa, Mas? Ada masalah?"

Pertanyaan Arin menyita perhatian Rian yang masih ragu untuk menyampaikan apa yang dia pikirkan sekarang. Pria itu terlihat ragu untuk waktu yang cukup lama dan Arin tetap sabar menunggu pria itu mengungkapkan apa yang ingin dia sampaikan.

"Salah nggak, kalau gue tetep pengen lo di sini?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro