Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sembilan :: Ke mana-mana Selalu Berdua

Saat hendak bersiap-siap akan pergi ke rumah Bian, Ibu dan Ramah tiba-tiba bilang mereka tidak bisa pergi ke sana karena mendadak, salah satu kerabat Ramah masuk rumah sakit dan meminta mereka menungguinya. Eri yang saat itu tengah siap, harus merelakan kedua orang tuanya pergi.

Untungnya ibu dengan baik hati menawarkan diri mengantarkan Eri. Awalnya Eri menolak, namun tiba-tiba ia mengiyakan. Tentu saja Eri merasa malu jika bertamu ke sana sendiri. Meskipun sebenarnya ia exited karena akan bertemu Bian setelah lima tahun lamanya tidak bertemu.

"Maaf, ya, Mbak. Saya nggak bisa hadir. Nih, diwakili Eri aja. Daripada dia sendiri di rumah, saya takut," kata Ibu pada Bunda Bian yang disambut dengan suara tawa.

"Nggak pa-pa, Mbak. Eri mau dateng aja aku udah seneng banget. Yuk, masuk. Nanti anaknya biar Bian aja yang nganter pulang, ya, Mbak." Bunda Bian merangkul Eri.

"Makasih, Mbak. Saya titip Eri, ya. Kalau nakal, cubit aja." Tak lama kemudian, Ibu berlalu. Membiarkan Eri bersama Bunda Bian.

Sedangkan Eri hanya diam saja saat bunda mengajaknya masuk sembari menceritakan berbagai hal. Jantungnya mulai berdegup kencang begitu matanya tak sengaja melihat keberadaan Bian di meja makan keluarganya. Ia semakin menunduk. Bahkan tak membalas saat bunda Bian bertanya, makanan kesukaannya masih sama seperti dulu atau tidak. Baru menjawab saat bunda kembali bertanya.

"Yah, ini Eri. Masih inget, nggak? Temen kecil Bian dulu, yang ke mana-mana selalu berdua." Bunda Bian memperkenalkannya lagi kepada suaminya yang saat itu tengah memegang ponsel di ruang tengah mereka. Lalu menoleh pada istrinya yang sedang merangkul seorang gadis.

Eri langsung saja menyalimi ayah Bian, sembari tersenyum. "Ini Eri yang dulu itu? Yang ke mana-mana selalu sama Bian? Udah besar, ya, sekarang. Kelas berapa? SMA kelas dua, ya? Bian baru lulus SMA soalnya."

Eri mengangguk saja saat ayah Eri bertanya. Awalnya Eri mengira ayah Bian akan cuek. Tidak akan bertanya macam-macam dan cenderung diam. Tapi ternyata salah, ayah Bian sebelas dua belas dengan istrinya. Baik, ramah dan senang berbicara. Eri senang karena disambut ramah seperti ini. Meskipun agak kesal dan sedih karena sampai sekarang, Bian terlihat seperti tidak mengenalinya lagi.

Padahal kalau diingat-ingat, Bian pergi hanya lima tahun. Dan mereka berteman lebih dari lima tahun. Kalau tidak salah, kata Ibu mereka berdua menjadi teman baik saat Eri berusia tiga tahun dan Bian empat tahun. Kemudian berpisah saat Eri berusia 12 tahun dan cowok itu satu tahun di atasnya. Masa iya Bian secepat itu melupakannya. Melupakan masa kecilnya.

Memikirkan itu semua sampai-sampai membuat Eri tidak sadar kalau ia digiring sampai meja makan. Bahkan tak sadar saat ternyata Eri duduk tepat di depan Bian, yang masih saja bersikap acuh tak acuh.

"Bian ini temanmu dulu, lho. Nggak mau disapa dulu?" Eri terkejut saat bunda tiba-tiba mengatakan hal itu. Bian hanya diam saja, memandangi Eri sebentar lalu kembali fokus pada ponsel di tangan.

Ah, lagi-lagi Eri merasa sedih.

Selama ini, ia begitu percaya diri kalau Bian akan pulang dan mereka bisa kembali bermain bersama. Tapi nyata tidak. Saat yang ia tunggu-tunggu memang telah datang, tapi tak pernah sesuai kenyataan. Karena pada kenyataannya Bian begitu cepat melupakan keberadaannya.

"Maaf, ya, Nak. Bian mungkin lupa sama kamu. Tapi nggak papa. Selama kami masih di sini, kalian bisa main bareng kayak dulu lagi, kok." Bunda Eri menenangkan.

"Nggak pa-pa. Wajar kok, kan Bian udah lama banget perginya."

Tak ingin membuat kecewa karena hanya diam saja, Eri berusaha mengesampingkan masalah itu dan fokus pada cerita-cerita mereka. Eri juga berusaha mengabaikan Bian yang sering mencuri pandang dan sebisa mungkin untuk tidak melakukan hal yang sama.

"Eropa gimana, Bun? Waktu kalian pergi, Eri nggak tau Eropa itu di mana. Tapi kata Ibu, tempatnya banyak saljunya." Bunda dan ayah Bian tertawa mendengar apa yang baru saja Eri katakan. Anak ini polos sekali, dalam hati.

"Ya, gitu. Musimnya selalu buat nggak betah. Kalau masuk winter, dingin banget. Begitu musim panas, panas banget. Nggak kayak di sini. Yang paling Bunda suka itu pas musim semi. Nggak begitu dingin dan nggak begitu panas."

Dan obrolan pun berlanjut antara Eri, Bunda dan Ayah Bian. Mereka membicarakan banyak hal, tentang bagaimana tempat tinggal mereka di sana, tentang bagaimana sekolah di sana, tentang hal-hal menyenangkan yang pernah mereka sekeluarga rasakan dan tentang banyak hal. Eri hanya banyak bertanya dan bercerita tentang semua hal yang biasa-biasa saja. Tidak ada sisi menariknya.

Sedangkan Bian masih diam saja. Meskipun sesekali berkomentar ketika ditanya. Dan diam saja saat mereka bertiga asik dengan obrolannya. Untung saja adiknya telah tertidur pulas. Bunda bisa leluasa bercerita tanpa harus terpotong oleh suara tangis adiknya. Walaupun telah berusia tiga tahun, adik bungsunya itu suka sekali menangis.

☘☘☘

Selesai makan-makan, yang mereka lakukan kembali mengobrol. Kemudian dipotong saat adik bungsu Bian tiba-tiba menangis dan ayah Bian sedang menerima telepon. Bian masih ada di sana, hanya diam saja.

Sedangkan Eri yang memang banyak bicara tidak tahan ingin mengajak Bian berbicara. Tapi merasa takut di saat yang sama. Eri takut obrolannya tidak akan direspon, ia juga takut membuat Bian tidak nyaman karena ia yang banyak bicara. Akhirnya Eri hanya diam saja dan mengeluarkan ponselnya yang sejak tiba tak pernah ia buka.

Berusaha terlihat sibuk dengan membaca salah satu novel di platform membaca terkenal. Walaupun sesekali sempat melirik Bian yang entah sejak kapan terlihat sedang membaca sebuah buku. Eri tidak tahu apa judulnya karena tertutup tangan besar Bian.

Bian masih sama.

Cowok itu masih sama seperti yang dulu. Kesukaannya akan membaca masihlah sama. Caranya membaca buku juga masih sama. Terlihat tidak ada yang berbeda kecuali tinggi badan dan wajahnya. Bian benar-benar berubah. Jauh berkali-kali lipat lebih tampan dari yang terakhir Eri lihat, lima tahun yang lalu.

Memikirkan itu semua, jantung Eri berdegup lebih cepat. Persis seperti ketika ia pertama kali melihat Bian tadi. Tapi Eri berusaha untuk tidak peduli. Ia percaya sekali kalau apa yang ia rasakan saat ini murni karena ia lama tidak bertemu Bian. Bukan menyukai Bian seperti yang Rika katakan tempo itu.

Bian dan Eri hanya bersahabat. Mungkin hanya itu. Toh, Eri juga tidak tertarik melakukan hal seperti yang teman-temannya lakukan. Pacaran dan berkencan, sangat jauh dari kamus kehidupan Eri. Ia tidak suka dengan hubungan semacam itu.

Ya, Bian dan dirinya hanya bersahabat. Atau mungkin hanya ia yang menganggapnya begitu. Mengingat Bian yang saat ini berada di depannya, memperlakukan Eri seperti orang asing. Eri bahkan tak sadar, jika ia sejak tadi sedang memerhatikan Bian.

"Bian apa kabar?"

Bian yang saat itu tengah fokus membaca, tiba-tiba menoleh dan mendapati Eri menatapnya dengan tatapan kosong. Ia sedang melamun. Lalu dengan menjunjung rasa sopan, Bian menjawab, "Baik."

Satu detik kemudian, Eri tersadar. Bahwa apa yang ada dipikirannya tidak sengaja ia suarakan cukup keras. Demi apa pun, Eri merasa sangat malu sekarang. Ia bahkan hanya diam saja saat Bian bangkit dan pergi dari hadapannya. Tanpa kata dan juga tanpa ekspresi nyata, wajahnya datar.

Sejak detik itu pula, Eri memutuskan untuk pulang, dengan dalih orang tuanya telah datang.

☘☘☘

Madura, 141220

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro