Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Satu :: Bian Pergi

"Bian, Bian, itu apa?" Gadis kecil berkuncir dua itu mendekat perlahan ke salah satu pohon mangga berukuran kecil di dekat mereka.

Anak laki-laki yang dipanggil Bian itu juga ikut mendekat. Kemudian mengamati apa yang tengah ditunjuk oleh gadis kecil itu.

"Ini namanya ulat, masa Eli nggak tahu, sih?" Eri, nama gadis kecil itu hanya bisa menggelengkan kepalanya berkali-kali. Membuat kunciran rambutnya berkibas ke kanan dan ke kiri.

"Eri belum pernah lihat. Yang pernah Eri lihat yang nggak ada bulunya. Ini ada. Boleh Eri pegang, Bian?"

Bian menggeleng sembari menggerakkan telunjuknya ke kanan dan ke kiri di depan wajah Eri.

"Kata Bunda, nggak boleh. Nanti tangan Eli gatal-gatal, terus bentol-bentol gede. Pokoknya kata Bunda nggak boleh."

Mendengar Bian melarangnya menyentuh ulat itu, Eri menunduk dan meringis di saat bersamaan. Membayangkan tangannya akan gatal dan bentol-bentol membuatnya cukup merasa takut.

"Ayo, pulang. Kata Bunda nggak boleh lama-lama main di luar. Kita main di rumah Eli aja." Eri mengangguk, lalu meraih tangan Bian yang terjulur di di depannya.

"Pegangannya nggak boleh lepas, ya. Takut kamu hilang, nanti di marah Ibu."

"Iya."

Dua anak kecil berumur kurang dari lima tahun itu berjalan bersama sembari menyenandungkan lagu-lagu yang mereka hafal. Meninggalkan seekor ulat berbulu lebat yang tadi sempat mereka perhatikan cukup lama.

🌼🌼🌼

"Bian, Bian. Rapor Bian bagus-bagus nggak? Tadi, Eri dimarah Ibu katanya Rapor Eri banyak tujuhnya. Apalagi Bahasa Madura. Bian dimarah juga nggak?"

Bian tersenyum sambil mengangkat rapornya. "Eri mau lihat rapor aku? Sini, sini."

Dengan langkah ringan, Eri memasuki rumah Bian. Sejak menerima rapor dan ditanyai Ibu tadi, suasana hatinya tidak bagus. Rasanya ia ingin menangis dan kabur dari rumah untuk sementara waktu. Dan kabur yang ia maksud adalah pergi ke rumah Bian. Mengajaknya bermain atau hanya berdiam diri di rumahnya sudah cukup membuat suasana hatinya membaik.

Meskipun sebenarnya Eri tidak dimarahi. Ibunya hanya bertanya mengapa nilainya bisa tetap sama dan menanyakan apa yang belum ia pahami dari materi yang telah diberikan. Hanya saja, suasana hati Eri memburuk sejak di sekolah, oleh karenanya ia menganggap Ibunya marah karena nilainya tetap sama sejak kelas tiga.

"Bian, masa tadi Eri dimarah Ibu karena nilai Bahasa Madura Eri nggak pernah naik, tujuh terus dari kelas tiga. Padahal kan emang susah, buktinya Eri belum bisa fasih Bahasa Madura. Bian tahu, kan, kalau Eri pake Bahasa Indonesia dari kecil. Di rumah juga Ibu pake Bahasa Indonesia. Ramah aja yang sering pake Bahasa Madura. Jadi kesel," keluhnya. (Ramah = Ayah)

"Nggak pa-pa nggak bisa, yang penting paham. Lagian temen-temen kelas juga sering pake Bahasa Indonesia kok, nggak usah dipikirin," kata Bian menenangkan.

Menjadi anak dari orang tua berbeda suku memang susahnya di situ. Mereka berdua berasal dari ayah yang asli suku Madura sedangkan Ibu mereka sama-sama asli suku Jawa. Bahasa yang mereka gunakan sehari-hari pun lebih banyak bahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Kendati masing-masing orang tua tidak memaksakan kehendaknya pada sang anak untuk fasih di kedua bahasa, baik Eri maupun Bian terkadang kesusahan untuk bisa menggunakan kedua bahasa itu.

Ada perasaan sedih kala berbicara dengan teman-teman mereka yang berbahasa daerah dan mereka hanya bisa menjawabnya dengan bahasa Indonesia. Terkadang pula dijadikan sebagai bahan candaan karena bahasa daerah mereka kurang fasih dibanding lainnya. Meskipun begitu, Eri dan Bian berusaha untuk terus meningkatkan kefasihan bahasa mereka.

"Ya udah, nanti Eri minta ajarin Keke aja bahasa Maduranya."

"Kemarin Ayah bilang, kamu habis jatuh? Jatuh dari mana?" Pertanyaan yang Bian lontarkan membuat Eri terdiam. Jemari telunjuk dan jempol mungilnya reflek menyentuh dagu. Berusaha mengingat peristiwa yang Bian tanyakan.

"Ohhh, yang itu! Kemarin Eri main sepeda sama anak kampung sebelah. Katanya lomba sepedahan, yang menang dapet jajan dari yang kalah. Terus pas ngebut, Eri jatuh."

Mendengar cerita dari Eri, Bian langsung memindai seluruh tubuh gadis itu. Mulai dari meneliti kakinya hingga mengangkat lengannya. Berusaha mencari bagian yang lecet. Gerakan Bian tersebut membuat Eri tertawa.

"Aku nggak luka, kok. Soalnya begitu mau jatuh, aku loncat. Jadi sepedanya aja yang jatuh." Helaan napas lega terdengar dari Bian.

Bian kemudian mengambil buku rapornya di atas meja. Membukanya bersama Eri. Beberapa saat kemudian, terdengar suara gaduh dari gadis itu yang terus berseru lantaran nilai-nilai yang Bian dapatkan jauh lebih tinggi dari nilainya.

🌼🌼🌼

"Bian suka Eri nggak?"

Bian yang saat itu sedang melipat kertas untuk dijadikan kapal-kapalan, menoleh. Menatap Eri dengan pandangan bingung.

"Kenapa?"

"Itu katanya Keke suka sama Beno. Terus mereka pacaran. Emang pacaran itu apa?"

Bian menepuk keningnya. Lalu menggelengkan kepala. Eri tidak boleh dibiarkan bermain terlalu lama bersama Keke. Bisa hilang kepolosan Eri jika ia terlalu lama bermain bersama Keke. Bian tidak ingin gadis itu mengetahui hal yang tidak-tidak.

"Kata Bunda, pacaran itu dosa, anak kecil nggak boleh pacaran. Besok-besok kalau udah gede baru boleh."

"Berarti kalau udah gede boleh?" Eri menatap Bian yang saat itu menganggukkan kepala. "Jadi besok-besok kalau gede, Bian jadi pacarnya Eri aja, ya? Mau, ya?"

Bian tertawa mendengar permintaan yang entah mengapa terdengar sangat konyol di telinganya. Anak berusia 12 tahun itu hanya bisa mengusap lembut puncak kepala Eri yang lebih kecil satu tahun darinya itu sembari menahan gemas.

"Gimana kalau nanti sore kita bikin surat rahasia? Nanti boleh dibuka waktu kamu umur 17 tahun. Gimana?"

"Umur 17 itu berapa tahun lagi? Enam, ya? Oke. Eri pulang dulu ambil buku, bulpen sama kotak, ya. Bian tunggu di sini, nanti kita kubur bareng pohon yang kata Ramah mau ditanam nanti sore." Gadis itu kemudian berlari keluar sambil menenteng tas selempang kecil yang sejak tadi ia pakai. Bian hanya geleng-geleng kepala saja.

Tak butuh waktu lama, Eri datang dengan buku, bulpen dan sebuah kotak pensil terbuat dari seng yang sepertinya merupakan kotak pensil lama. Terlihat dari bagian dalam yang mulai berkarat.

"Ayo, tulis," katanya tiba-tiba. Bian hanya bisa terkekeh melihat tindakan sahabatnya itu.

🌼🌼🌼

Bian menatap heran pohon yang baru saja Ramah Eri tanam. Merasa heran karena belum pernah menemui pohon serupa semasa hidupnya. Tapi sepertinya Bian pernah melihat, hanya saja lupa di mana.

"Kertasnya mana? Udah masuk kotak pensil aku tadi?" Bian menoleh begitu Eri sudah berdiri di sampingnya. Beberapa saat yang lalu, gadis itu masuk ke dalam rumah karena haus.

Bian menggoyangkan kotak pensil tadi. "Udah, kok. Udah masuk ke sini. Mau dikubur sekarang?" Eri mengangguk.

Awalnya mereka ingin menguburkan kotak itu di dekat pohon yang baru saja ditanam, Bian tak tahu nama pohon itu apa. Tapi ayah Eri menolak. Katanya takut kotak itu tertahan oleh akar dan tak akan bisa diambil suatu saat nanti. Oleh karena itu, Eri menyarankan Bian untuk menguburkannya di pojok pagar tembok di halaman belakang rumah Eri. Ia setuju saja asal tempat itu tidak akan berubah, setidaknya ketika Eri berusia 17 tahun nanti.

Jika ditanya apakah janji itu akan benar-benar mereka tepati? Bian yang kala itu berusia 12 tahun akan dengan lantang mengucapkan iya. Eri dan dirinya sudah menghabiskan banyak waktu bersama, terhitung semenjak dirinya berusia satu tahun setengah dan anak itu baru beberapa bulan lahir, mereka sudah berteman. Dan ajakan Eri  tadi, akan benar-benar ia sanggupi ketika berusia 18 tahun nanti.

Yang perlu Bian lakukan sekarang selain menunggu adalah berharap, semoga janji itu benar-benar terealisasi seperti keinginannya.

🌼🌼🌼

"Ibu, Ibu. Rumah Bian dari tadi kok sepi banget, ya. Masa Eri baru pulang dari rumah nenek, Bian pergi juga, sih? Nggak asik."

Ibu yang saat itu sedang sibuk memasak, mengabaikan celotehan putrinya. Lebih tepatnya tidak mendengar celoteh Eri karena suara dari masakannya jauh lebih nyaring daripada suara gadis kecilnya.

Mendapati ibunya menghiraukannya dan terus memasak, Eri pergi menemui sang ayah yang sedang minum teh di belakang rumah.

"Ramah, Ramah. Kok rumah Bian sepi, ya? Tadi pagi aku ke sana, gerbangnya tutup. Apa mungkin Bian juga pulang kampung kayak aku kemarin? Kalau iya, lama nggak, Mah?"

Ramah mengusak rambut putrinya yang sedang bergelayut manja. "Kata Ibu, Bian udah pindah dari seminggu yang lalu. Emang Eri nggak tahu? Oh, iya. Ada titipan dari Bian buat kamu. Disimpen Ibu tadi, Ramah nggak tahu di mana. Tanyah (tanya) ke Ibu aja."

Setelah mendapat penjelasan, Eri pergi menemui ibunya. Sembari bertanya-tanya dalam hati, mengapa Bian pindah tanpa memberitahunya sama sekali? Bukankah sebelum Eri pulang kampung, Bian mengatakan akan menunggu Eri pulang dan kembali main bersama seperti biasanya. Mengapa ketika Eri pulang, Bian malah pergi. Bahkan tanpa mengatakan salam perpisahannya.

"Ibu, Ibu! Kata Ramah Bian pindah. Bian titip sesuatu, ada di Ibu. Mana? Aku mau lihat!" teriak Eri ketika melihat Ibunya yang masih sibuk dengan masakannya.

Ibu yang mendengar Eri berteriak, segera menoleh. Mendapati gadis kecilnya hampir menangis karena fakta yang baru saja ia ketahui. Ibu juga sebenarnya terkejut mendapati tetangga dekatnya tiba-tiba pindah, ke tempat yang sangat jauh pula. Mereka belum sempat bertemu untuk mengucapkan salam perpisahan. Dan tentunya, ibu juga ikut merasakan sedihnya Eri ditinggal teman dekatnya.

Setelah dirasa masakannya matang, ibu mematikan kompor. Lalu beranjak, menatap putrinya yang kini telah menangis. Mengusap punggung tangannya perlahan. Berusaha menenangkan tanpa pernah membentak.

"Ibu juga baru tahu Bian pindah kemarin sore. Jangan sedih, ya. Suatu saat Bian pasti kembali lagi. Kita makan dulu, baru ibu kasih hadiah dari Bian. Oke? Jangan nangis, sayang." Ibu mengusap air mata Eri.

"Kalau Bian mau pindah, kenapa nggak kasih tahu Eri dulu. Eri kan bisa nyiapin hadiah juga, biar Bian ingat Eri terus. Nanti kalau Bian pindah terus nggak ingat Eri gimana, Bu?"

"Sejauh apa pun Bian pergi, Bian pasti kembali sayang. Jangan nangis, ya. Ibu panggil Ramah dulu, kita makan siang bareng."

Dengan terpaksa, Eri harus bersabar. Entah kapan ucapan ibu itu akan benar-benar datang, Eri tetap akan menunggu. Sampai kapan pun itu.

Bersambung

Susahnya punya orang tua beda suku tuh, gitu. Harus bisa menyesuaikan bahasa. Tapi kasus seperti itu di sini kebanyakan anak-anaknya pada nggak tahu bahasa daerah. Bahkan nggak bisa walaupun sebenarnya mereka ngerti, cuma susah ngucapinnya. Kadang kasihan, tapi lucu juga kalau udah ngomong campur-campur gitu. *ini berdasarkan pengamatan pribadi, ya. Bisa jadi malah kebalikannya. Tapi rata-rata temen atau saudara saya yang campuran gitu emang lebih fasih bahasa Indo atau bahasa Jawanya.

Madura, 11-08-20

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro