Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua :: Apa Kabar, Bian?

Setelah semalam menangisi kepergian Bian, Eri mulai tenang. Hadiah berisi buku-buku anak dari Bian, Eri pegang erat-erat. Saking tak ingin berpisah dari hadiahnya, gadis itu tertidur sembari memeluk buku-bukunya. Ia masih tidak terima teman baiknya pergi begitu saja. Lagipula siapa yang akan terima jika teman baik kalian pergi tanpa mengucapkan perpisahan? Eri rasa tidak ada yang menerimanya.

Padahal beberapa waktu yang lalu, Bian berjanji akan satu sekolah dengannya saat SMP juga berjanji akan membuka surat rahasia mereka saat Eri berumur 17 tahun nanti. Sekarang, cowok itu malah pergi ke tempat yang jauh. Eri jelas tidak bisa mengejarnya. Kata Ibu, Bian pergi ke tempat yang nanti banyak saljunya. Eri juga ingin pergi ke sana, tapi Ibu bilang nanti saat Eri dewasa.

Sekarang yang gadis itu lakukan hanya marah-marah. Ia masih kesal karena Bian meninggalkannya. Ibu sudah berusaha keras membujuk Eri untuk tidak memberantakan kamarnya. Ramah juga berkali-kali mengatakan kalimat penenang. Tapi sayang, gadis itu masih tidak menerima kepergian sahabatnya. Saat pagi, ia menangis dan tidak mau sarapan. Saat kembali dari bermain, ia juga menangis melihat rumah Bian sepi tanpa penghuni. Saat malam hendak tidur, gadis itu nangis lagi karena teringat Bian yang pergi. Ibu dan Ramah sampai pusing melihat Eri yang terus saja menangis.

Sampai pagi harinya, entah siapa dan apa yang membuat gadis itu berhenti mencari dan menangisi Bian. Eri kembali seperti biasanya. Ceria dan selalu tertawa, seolah melupakan kejadian yang membuatnya menangis hampir seharian. Tentu ibu dan ramah tidak ingin membiarkan hal itu terjadi kembali, memutuskan untuk tidak membahasnya lebih lanjut.

Bisa dikatakan sejak hari itu, Eri tidak lagi membahas tentang kepergian Bian. Meski sesekali Eri bercerita dan bertanya kepada ibunya tentang bagaimana kabar Bian di sana. Sudah berapa kali salju turun di tempatnya? Sudah berapa kali pohon cherry bermekaran di sana? Dan banyak hal lainnya. Ibu pun tak keberatan menjelaskan banyak hal tentang tempat tinggal Bian di sana. Meskipun tak banyak tahu, tapi penjelasan ibu mampu membuat Eri terdiam dan tidak lagi banyak bicara.

Beberapa minggu setelahnya Eri tak lagi bertanya macam-macam. Tak lagi merengek menginginkan Bian atau tak lagi terlihat sedih saat melihat rumah kosong Bian yang perlahan mulai ditempati sanak saudaranya. Eri kini telah cukup mengerti bahwa Bian tak lagi kembali, dalam waktu yang cukup lama. Namun Eri tetap percaya, suatu hari nanti Bian pasti kembali. Ia hanya perlu bersabar, menunggu waktu kembali mempertemukannya dengan teman pertamanya itu.

Kini Eri beranjak semakin besar. Seragam yang dikenakannya tak lagi merah putih, atau pun putih biru. Eri beranjak dewasa. Tahun ini, tahun kedua ia duduk di bangku putih abu-abu. Meski tak lagi bertanya macam-macam tentang Bian yang jauh di sana, Eri tetap mengingat cowok itu. Ia masih teringat bagaimana senyum manisnya. Ia masih mengingat suara tawanya. Dan berharap bahwa Bian mengingatnya dengan cara yang sama, juga janji mereka. Bian tidak akan lupa bukan? Sebentar lagi ulang tahun Eri yang ke 17.

Eri berharap cowok itu tumbuh sehat dan tampan sebagaimana keinginannya dahulu. Berharap ia masih teringat padanya dan seluruh kenangan masa kecil mereka. Walaupun Bian meninggalkannya tepat seminggu setelah libur ujian nasional, yang berarti hampir lima tahun yang lalu, Eri tetap berharap Bian mengingatnya. Bian pantang melanggar janji, tentu saja Eri berharap Bian akan terus ingat janji mereka. Walaupun kata Rika itu adalah hal yang terasa tidak mungkin. Mengingat Bian pergi ke negara nan jauh di sana, mudah saja untuk Bian melupakan semua kenangan di tanah kelahirannya. Tapi Eri tetap meyakini keyakinannya, sekeras apa pun Rika membantahnya.

Seperti biasanya, Eri kembali menceritakan masa kecilnya. Kembali mengingat kenangannya dan tentu menceritakan semua pada Rika yang sebenarnya ogah mendengarkan. Ia terlalu sering mendengar nama Bian terucap dari bibir sahabatnya. Terlalu sering mendengar cerita yang sebenarnya sama saja. Selalu tentang Bian yang pergi, Eri yang tertinggal di sini dan janji kekanakan yang entah akan ditepati atau tidak. Tapi Rika sedang mencoba menjadi sahabat yang baik. Ia tidak ingin menyinggung lalu berakhir menyakiti Eri.

"Rika tahu nggak, sih, Kalau bentar lagi Bian ulang tahun? Aku harus nyiapin kado nggak, ya? Siapa tahu dia pulang tahun ini."

"Tahun lalu kamu udah beli kado, kan? Dan buktinya dia nggak pulang. Jadi mending uangnya disimpen aja. Jangan boros-boros, bentar lagi banyak pengeluaran."

"Mending jam atau sepatu?" Eri masih tetap dengan pendiriannya dan jika situasi sudah begini, Rika sebenarnya ingin pergi saja. Susah menghadapi kemauan Eri yang kadang sulit dibantah.

"Kamu cuma jadi numpuk barang, kalau ternyata Bian nggak pulang. Daripada kek gitu, mending mikirin tugas naskah drama bahasa Madura aja."

Eri berseru pelan, kepalanya merosot ke bangku. Menelungkupkannya di atas lengan. "Kamu 'kan tahu, kalau aku nggak tahu bahasa Madura, nggak ngerti dan nggak bisa."

"Jhek ghitak ajher le tak taoh ka'adek (orang belum belajar udah nggak tahu duluan)." Rika membuka tasnya, lalu mengeluarkan bolpen. Mencoba mengerjakan.

"Aku nggak tertarik belajar Bahasa Madura. Susah."

"Lebih susah mana dibanding Bahasa Inggris?"

"Bahasa Madura lah," katanya masih dalam posisi yang sama.

Kalau sudah begitu, artinya Eri tak ingin membahas lagi perkara 'Bahasa Madura'. Sejak dulu kelemahannya hanya dalam bahasa itu. Matematika di matanya masih lebih gampang di banding bahasa daerah. Selain pelafalannya yang susah menurutnya, cara menulisnya pun susah. Ada koma di atas huruflah, cara baca e yang beda, bahasa Madura dalam empat kabupaten pun berbeda. Eri 'kan pusing belajarnya. Apalagi bahasa Madura daerah timur, seperti daerah Sumenep dan sekitarnya. Berbeda sekali dengan bahasa di daerahnya meski sama-sama bahasa Madura.

Beberapa saat setelah Rika mencoba mengerjakan tugasnya, Eri tiba-tiba mengeluarkan buku. Setidak suka ia pada bahasa daerah, pada akhirnya ia akan mengerjakan juga. Dan satu-satunya cara adalah dengan menyontek tugas Rika. Tolong jangan ditiru kebiasaan buruk Eri yang satu itu.

🌼🌼🌼

Selesai mengerjakan tugas rumah yang tak sedikit itu, Eri merenggangkan tubuhnya. Rebahan di kasur sejenak sebelum akhirnya duduk tegak. Menatap jendela kamarnya, menatap lurus kamar yang sudah lima tahun ditinggalkan pemiliknya. Apa lagi kalau bukan kamar Bian? Sejak kepergiannya lima tahun lalu, Eri memang tak lagi berusaha menanyakan keberadaan dan kepulangan tetangganya itu pada ibu. Tapi diam-diam, ia selalu melakukan hal ini.

Memandangi kamar Bian yang kini telah berganti pemilik.

Setiap hari, sebelum memejamkan matanya atau pun lelah mengerjakan tugas, Eri selalu memandangi kamar seberang sana. Berharap waktu segera mempertemukannya dengan Bian. Mengingat usianya yang akan bertambah dua bulan mendatang.

"Bian apa kabar?" Ia berkata lirih, sambil menatap kamar Bian yang masih terang benderang.

Jika dulu mereka melakukan banyak hal sebelum beranjak tidur, kini Eri hanya bisa menatapinya. Seolah melihat bayangan dirinya lima tahun yang lalu. Bercanda bersama sosok Bian hingga kantuk membuat canda mereka bubar.

Jujur saja, Eri merindukan semua itu. Semua hal yang ia dan Bian lakukan bersama. Atau lebih tepatnya, merindukan semua yang ada pada sosok Bian-nya.

Bersambung

Madura, 150820

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro