Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Delapan :: Dijadikan Calon Mantu

Setelah berkutat di dapur kurang lebih selama satu jam, akhirnya Eri bisa duduk-duduk santai di halaman belakang. Bersama Ramah, Ibu dan kue buatan mereka yang baru saja matang.

Benar seperti dugaan Eri, Ramah pasti meremehkan hasil usahanya sembari tertawa. Kemudian tanpa sadar mengambil lagi dan lagi kue buatan mereka. Eri tersenyum lebar, sembari meledek Ramah karena terus menerus memakan kuenya.

"Katanya jelek, nggak enak, kok dimakan terus, Mah?" Ramah tergelak. Kemudian mengusap lembut rambut anaknya yang mulai memanjang.

"Ramahmu itu emang kebiasaan, bilangnya nggak enak, ujubg-ujungnya habis sama dia juga."

Ramah lagi-lagi hanya tertawa. Beralibi kalau ia hanya ingin menguji kesabaran mereka saja.

Tawa mereka terhenti kala ibu tak sengaja mendengar suara ketukan pintu. Dengan tergesa-gesa, ibu mengambil kerudungnya, memakai asal lalu berlari menuju pintu. Membuat Ramah tertawa melihatnya. Eri hanya tersenyum saat itu, kemudian menikmati momen berdua dengan ayahnya sambil menceritakan banyak hal.

Biasanya, Eri hanya akan berbicara dengan ibu. Kemudian ibu akan meneruskannya kepada Ramah. Tapi semakin lama, Eri semakin resah karena ia menganggap Ramah tidak tau apa-apa padahal mengetahuinya, jadi daripada ia bingung dan menganggap salah keadaan. Ya, pada akhirnya ia juga akan bercerita kepada Ramah. Mengenai masalah di sekolah, kendala bahasa daerah yang lagi-lagi jadi mapel yang paling tidak Eri suka dan juga tentang mimpinya.

Saat mengatakan ingin menjadi penulis tiga tahun lalu, Ramah mengejeknya habis-habisan. Kemudian Eri mengganti mimpinya menjadi reviewer buku agar sering dapat buku gratis, lagi-lagi ditertawakan. Saat itu Ramah mengatakan kalau itu bukan cita-cita, tidak dapat mengambil keuntungan yang lebih. Eri jadi berpikir keras, apa tujuan yang ia ingin capai di masa depan. Yang berhubungan dengan dirinya sendiri, dengan kesukaannya.

Lalu tercetuslah satu mimpi yang bahkan membuat Ramah terdiam. Bukan karena kagum, tapi karena bingung. Saat itu Eri mengatakan kalau ia ingin menjadi pustakawan. Satu-satunya cita-cita yang ketika itu Eri pikirkan dan juga berhubungan dengan hal-hal yang ia suka. Pertama, Eri suka membaca berbagai jenis bacaan, ia suka mengoleksi buku. Kedua, Eri adalah orang yang banyak bicara. Sangat cocok dengan kepribadian pustakawan. Dan untungnya, Ramah mendukung cita-citanya itu. Ramah tak lagi menertawakan atau mengejek ia seperti biasa, malah mengatakan...

"Kalau kamu memang ingin jadi pustakawan, berjuang. Raih mimpimu meskipun Ramah, Ibu atau orang lain nggak percaya sama apa yang ingin kamu capai."

Dan Eri sangat lega karena akhirnya, apa yang ia impikan didukung sepenuhnya oleh Ramah.

Pembicaraan mereka terhenti, kala Ibu datang membawa seorang wanita yang belum pernah Eri lihat, atau mungkin pernah namun ia lupa, ke halaman belakang. Ramah bangkit, lalu menyalami wanita itu sembari berbincang sebentar.

Sedangkan Eri masih diam. Ia masih mengingat-ingat siapa wanita yang bersama ibunya ini. Seingat Eri, ia pernah bertemu, tapi lupa di mana.

"Eri sini." Ibu melambai, memintanya mendekat. Eri mengangguk saja.

Ia mendadak merasa malu karena tak memakai kerudung. Karena biasanya, Eri akan melepas kerudungnya di dalam rumah lalu memakainya kembali ketika keluar rumah. Berhubung letak halaman belakang ini, di belakang rumah mereka, Eri santai-santai saja tidak memakai kerudung saat berada di sini.

"Haduh, cantiknya. Eri udah besar sekarang. Dulu, terakhir kali Bunda lihat kamu masih di bawah bahu Ibu kamu, sekarang udah tinggi, ya." Saat menyebut dirinya sebagai Bunda, mata Eri sedikit membola. Ia terkejut lantaran wanita di depannya ini adalah Bunda Bian. Astaga, mengapa Eri sampai lupa wajah Bunda Bian?

Eri meraih tangan Bunda lalu menyaliminya.

"Eri kayaknya udah lupa sama Bunda, nih. Dari tadi bengong aja." Eri hanya tersenyum, karena memang apa yang Bunda bilang benar adanya.

"Kamu berubah banget. Waktu pertama kali lihat aku juga bingung, ini siapa? Ternyata Bundanya Bian. Duduk, yuk, duduk dulu. Kebetulan baru bikin kue, nih. Dicoba, dicoba, tadi Eri juga ikut bantu." Ibu mengarahkan Bunda untuk duduk di meja makan mereka kemudian menghidangkan segelas teh, dan kue-kue kering yang baru saja mereka buat.

Eri hanya mengikuti saja. Sedangkan Ramah, pamit pergi keluar sejak ia dipanggil tadi.

"Nggak usah repot-repot Mbak, aku cuma sebentar, kok. Habis ini mau keliling bagiin oleh-oleh."

"Haduh, repot banget. Padahal kamu sekeluarga pulang aja, aku udah seneng. Akhirnya pulang juga setelah lima tahun, ya. Gimana? Bian nambah adik berapa?"

Bunda Bian tertawa disinggung masalah adik Bian. "Baru satu, Mbak."

"Baru satu, nih. Nggak mau nambah? Sekalian menggenapkan jadi empat."

"Duh, udah ketuaan, Mbak. Dua aja cukup."

Eri hanya diam saja, menyimak percakapan ibu-ibu yang sudah lama tak bertemu ini. Dulu, saat masih berada di sini, Bundanya Bian dan Ibu memang seperti berteman dekat. Selain karena tetanggaan, mereka berdua sudah merasa seperti saudara karena memang sama-sama dari perantauan.

"Eri ini, buat Eri. Bunda sengaja beli ini khusus buat Eri. Maaf ya, sayang. Dulu kami perginya mendadak, nggak sempet nunggu kamu pulang liburan. Nanti main-main ke rumah kayak dulu, ya. Duh, Bunda kangen banget sama kamu. Kangen sama celotehan kamu kalau lagi main sama Bian. Bian juga kayaknya lagi masuk angin, nggak enak badan anaknya. Makanya Bunda nggak ajak ke sini. Nanti malam main, ya. Sama Mbak juga sekeluarga, kita makan malam bareng." Eri lagi-lagi hanya tersenyum dan mengangguk. Ia masih merasa canggung. Kemudian menerima bingkisan yang cukup besar dari Bunda Bian.

Bunda Bian bangkit kemudian. Pamit pulang, karena harus membagikan hadiah oleh-oleh kepada tetangganya yang lain. Sekali lagi, Bunda Bian memeluk Eri. Kembali meminta Eri untuk datang ke rumah mereka nanti malam.

"InsyaAllah, Bunda. Terima kasih oleh-olehnya." Eri hanya menjawab demikian.

Tak lama kemudian, Ibu kembali masuk. Lalu menatap bingkisan yang Eri pegang. Sambil sesekali menggoda anaknya. "Awas kalau habis ini kamu dijodohin sama Bundanya Bian."

Eri terkejut, pipinya bersemu. Tapi sebisa mungkin Eri bersikap biasa saja. "Ibu, ah. Ngeselin."

"Bercanda sayang. Coba buka apa isinya. Punya Bunda kayaknya cuma syal sama coklat atau nggak keju."

Eri mengangguk. Kemudian membuka satu per satu hadiah dari Bunda. Ada tiga batang besar coklat berbeda rasa, kemudian satu bungkus permen coklat dan satu bungkus cokelat berukuran cukup kecil, syal dengan warna merah maron dengan motif bunga-bunga kecil di bagian pinggir dan dua baju kaos yang sepertinya khas Swiss. Ada satu lagi, satu bungkus keju Appenzell yang terkenal itu.

Ibu yang melihat anaknya mendapat begitu banyak barang daripada dirinya, terus saja menggoda Eri yang semakin menyembunyikan wajahnya.

"Ah, fix ini mah dijadiin calon mantu."

🌼🌼🌼

Madura, 271120

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro