Checkpoint Q
Kepada
Bunda Ary Nilandari
Author Darmawangsa High Series
Salam Bunda,
Terima kasih sudah milih aku untuk bantuin Bunda riset tentang kegiatan teman-teman untuk bahan menulis.
Awalnya, aku excited dengan tugas itu. Cocok banget gitu dengan karakterku. Aku kan tipe pengamat, peneliti, pendengar, dan pencatat. Kapan lagi coba, aku kepoin dan ngulik-ngulik urusan mereka dengan dalih riset?
Tapi, kupikir-pikir lagi, kok aku kayak jadi mata-mata ya? Trus, aku kayak bocorin rahasia teman-teman juga.
Maaf, Bunda, karena itu aku menolak tugas dari Bunda. Aku senang Bunda bisa ngertiin aku dan enggak memaksa.
Nah, belakangan ini, banyak banget kejadian di DIHS menyangkut sahaba-sahabatku. Tapi aku enggak sempat nulis checkpoint. Maklum, Bunda, sejak gabung B3, aku terpengaruh teman-teman. Salah satunya, aku kurangi waktu cooling down untuk menulis. Lebih banyak bersosialisasi. Duh bahasa pejabat banget. Iyaaaa, ngaku, alias banyak kelayapan bareng mereka.
Tapi yakin deh, aku juga memengaruhi mereka. Buktinya, Wynter jadi rajin nulis harian. Eh, itu mah karena Hya. Raiden aja deh contohnya. Sekarang rajin merenung dan ngayal. Jadi hal baru yang ajaib banget kalau perusuh satu itu diem lebih dari 30 menit.
Bunda kan bilang, wajarlah kalau interaksi kami mengubah dan mengembangkan karakter masing-masing. Remaja emang masih kayak telur ayam mentah, tanpa tempat pijakan yang pas, bakal menggelinding, jatuh dan pecah. Ouch!
Aku jadi ngerti, kenapa cerita kami ditulis, untuk kasih contoh dinamika pertemanan dan persahabatan, berbagi wawasan dan asah empati. Iya kan?
Makanya, aku jadi mikir lagi. Kalau emang cerita kami bisa jadi inspirasi buat teman-teman di luar sana, kenapa enggak, aku bantu Bunda?
So, here I am. Bawain update seputar B3 di DIHS.
Aku mulai dari siapa dulu ya? Urut umur aja kali, dari yang paling tua.
Xylon Natadilaga
Xylon semakin sibuk dengan ujian sekolah, nasional, plus internasional. Ke mana-mana bawa buku, walau sering cuma jadi penutup muka saat tertidur di bangku taman.
Biasanya, di kalangan cowok, puas banget kalau bisa bangunin teman dengan tendangan. Tapi enggak ada yang tega sama Xylon. Setidaknya Wynter dan aku.
Raiden sampai geleng-geleng waktu Wynter malah pasang badan sungguhan, jadi penangkal sinar matahari buat Xylon.Tapi dia ngerti Wynter cuma melampiaskan perhatian buat seseorang di pikirannya.
Rayn juga enggak habis pikir aku sok tahu bilang Xylon pasti kurang tidur, sudah habis-habisan belajar malamnya. Loh, enggak ada salahnya berprasangka baik.
Waktu yang lain harus masuk kelas, aku dan Wynter nungguin Xylon, sambil iseng main dam-daman dengan kerikil di paving. Tapi terus ketahuan guru piket yang keliling hingga ke pelosok taman.
Xylon yang dibangunin langsung duduk dan ketakutan. "Bukan salah Nirvan. Josha jatuh bukan didorong Nirvan. Bukan. Nirvan sayang Josha, enggak pengin Josha mati ...."
Sesaat kami hanya bengong. Siapa Nirvan dan Josha? Apakah mereka tokoh-tokoh sejarah yang sedang dihafalnya? Mengingat Xylon susah mengingat nama, bisa jadi yang dimaksudnya orang-orang yang berbeda.
Setelah ditenangkan Wynter, Xylon sepenuhnya sadar dan bilang, itu cuma mimpi buruk. Kami balik ke kelas masing-masing. Tapi aku enggak bisa berkonsentrasi belajar.
Ekspresi Xylon ... aku jadi ingat Jihan waktu aku suruh berbohong pada Ibu. (Jangan mikir yang enggak-enggak dulu soal ini) Jihan sayang banget ke aku, pengin aku enggak dimarahi Ibu, berbohong pun rela. Di lain pihak, dia sayang banget-banget pada Ibu, dan enggak mau bohong padanya. Jihan akhirnya menurut sama aku, tapi malamnya demam dan mengigaukan kebenaran. Nah, eskpresi Xylon itu lebih kelam bekali-kali lipat ketimbang Jihan.
Nirvan dan Josha. Aku catat nama-namanya. Perutku mulas memikirkan kata mati di akhir igauan. Mungkin enggak berarti apa pun. Sama kayak Raiden bilang, enggak pengin Hazel mati. Saking sayangnya. Kan enggak berarti ada kematian. Hazel masih hidup.
Di lain kesempatan, aku coba menyebut nama-nama itu di depan Xylon. Seperti biasa, tampangnya nge-blank. Enggak ada bedanya Nirvan, Josha, Wynter, atau namaku. Xylon lebih hafal merek es krim, sepatu, sabun, dan obat nyamuk.
Wynter menarikku minggir. "Kamu sepikiran sama aku. Yang masuk ke daymare Xylon pasti bukan sembarang orang. Xylon punya adik lelaki yang sudah meninggal kan? Jadi aku coba search, Nirvan Natadilaga dan Josha Natadilaga. Nirvan enggak ada. Tapi Josha muncul di satu berita obituary, meninggal dunia pada usia 12 tahun. Seusia kamu kalau masih hidup."
"Itu dia! Mungkin aku bisa mengingatkan—"
Wynter menahan lenganku. "Setop. Jangan ganggu Xylon dengan masalah yang mungkin bikin dia trauma. Ingat, dia mau ujian."
"Ah ya. Sorry. Oke." Kulihat mata biru Wynter berpendar dengan semangat. "Kamu sudah punya rencana. Apa?"
Wynter menyeringai. "Menemukan satu-satunya orang yang Xylon ingat namanya. Xetra Dwiasty." Ia megulurkan kepalan tangan.
Aku ragu, itu cara terbaik. Tapi untuk sementara, okelah. Kuadukan tinjuku pelan. Dan begitu saja kami punya rahasia berdua. Karena Wynter merasa misi ini tidak perlu melibatkan lebih banyak orang lagi. Khawatir Xylon akan merasakan perubahan atmosfer dan sikap kami.
Rayn Xavier Wrahaspati
Belakangan ini, Rayn suka bete dari ujung jempol kaki ke ubun-ubun. Semua serba salah. Semua buku yang menarik dan ada di hadapannya sudah dia baca, berulang pula. Semua pelajaran sudah dikuasainya, berulang pula dengan mengajari aku dan Megan. Jalan-jalan pun enggak membantu, banyak tempat tujuan bikin dia enggak nyaman, tapi enggak semua orang suka menyepi kayak Rayn, paling cuma aku yang menemaninya dan itu bikin dia semakin bete. Ekskul musik dan taekwondo terasa enggak menarik lagi, entah kenapa. Berangkat sekolah pun malas-malasan, paling karena pengin ketemu Megan saja ia mau jalan. Sering ia uring-uringan enggak keruan. Marah tapi enggak tahu marah ke siapa dan kenapa. Kalau sudah begitu aku disuruhnya menjauh ketimbang jadi korban salah sasaran, katanya. Di tengah-tengah kami, Rayn lebih banyak bengong dan mendesah.
Megan pun jarang berhasil mengembalikan semangatnya. Sampai suatu ketika, Megan dengan kesal bilang, "Rayn, kamu kayak Penyihir Niu yang sudah mencapai segalanya, punya segalanya, termasuk 7 asisten, yang mengurus keperluanya dari melek pagi sampai merem lagi malamnya. Niu tinggal bernapas, dan menyuap sambil tiduran."
Aku tercengang. Megan selalu membuatku terpukau. Plak! Sadar, Ardi! Eh, bukan begitu. Idenya itu loh, pasti dari hasil membaca. "Wah, enak banget jadi Niu."
"Enak?" Megan berkacak pinggang. "Mungkin awalnya enak, karena bebas enggak ngapa-ngapain, enggak punya beban, semua keinginan terwujud dengan menjentikkan jemari. Tapi itu enggak lama ...."
Jeda dramatis. Kulirik Rayn mulai mendongak tertarik, walau aku yakin, apa pun yang dibaca Megan, pasti sudah dibaca Rayn. Gaya Megan tentunya yang membuatnya tergerak.
"Lalu apa? Gimana Niu?" Aku enggak sabar, Megan belum juga melanjutkan.
Megan memandang kami berganti-ganti. Serius banget. "Cuma makan dan tiduran? Enggak mikir enggak gerak? Jelaslah. Badannya mekar kayak tahu bulat baru digoreng. Tapi kopong. Kecerdasannya ilang. Kegantengannya ... ah, apa yang tersisa pada bulatan rata? Lembek pula, kalau jatuh di lantai, mana bisa menggelinding? Keinjek deh."
Setiap kata membuat aku dan Rayn berjengit dan mengkeret. Kami saling pandang dan tawaku meletus, membayangkan tahu bulat dengan wajah Rayn.
Rayn cemberut. "Beda kali aku sama Niu! Dia malas, aku bosan," katanya. Lalu membalikkan badan. Mendesah.
"Kalau DIHS bikin kamu bosan, lulus saja buruan, bareng Xylon." Aku main-main.
Tapi Rayn berbalik cepat. Mengguncang bahuku. "Bisa? Boleh?"
"Whoa! Kamu serius bosan sekolah?" Aku bertanya balik. Enggak kusangka Rayn kena sindrom Rematik Akut, Remaja Tidak Kekurangan. Alih-alih, Kurang Tantangan. "Tentu saja, kamu bisa lompat kelas, kan ada program akselerasi di sini. Kamu boleh langsung ke kelas 11, siapa tahu sekelas sama Megan. Atau kalau mampu langsung kelas 12. Temui aja Miss Jansen."
Rayn menggeleng. "Aku tanya kamu. Soalnya, kalau aku lompat kelas, nanti kamu sama siapa?"
Aaaaaah, Bunda! Help me. Aku di sini ... di bawah sini, lihat nih ... meleleh.
Wynter Mahardika
Sibuk jadi detektif mencari Xetra, kayak mencari anak hilang dalam kasus penculikan. Misi rahasia ini, entah gimana, bikin resah Hya. Nah, gimana juga Hya bisa sampai terlibat? Katanya rahasia berdua denganku?
Mungkin karena Wynter enggak mau menyembunyikan apa pun dari Hya. Belakangan aku tahu, Hya kebawa-bawa karena Wynter memulai dari catatan Wynn dan mengorek ingatan Hya. Dengan izin keluarga Wynn, email-email Wynn dengan Xetra diberikan kepada Wynter dan katanya banyak mengungkap hal-hal baru.
Terlalu personal. Aku enggak pengin tahu. Dari awal, aku ragu lewat jalur memutar begitu. Kalau mau tahu tentang Xylon, kupikir aku tinggal bertanya langsung. Masalah waktu saja, tapi aku sabar menunggu kesempatan itu tiba.
Soal Xetra bakal aku abaikan andaikan Hya enggak curhat. Ia khawatir karena Wynter mulai terobsesi. Aku bilang, Wynter cuma pengin menolong Xylon kok.
Ekspresi Hya enggak bisa kubaca. "Xetra sekarang beda banget dengan waktu SD. Dari fotonya, sekarang tinggi, langsing, cantik. Waktu aku bicara sama dia di telepon, Xetra malah enggak gagap lagi, lebih pede, ramah dan baik hati pula."
"Trus kenapa? Kan jadi lebih mudah Wynter deketin dia ...." Aku tertegun sendiri. Wajah Hya sudah merah padam. Ah, aku salah bicara. "Maksudku, kalian jadi lebih mudah deketin dia untuk cari info tentang Xylon."
Hya menggeleng. "Kupikir ini ide buruk. Xylon bukan Wynn. Enggak masalah kalau Wynter mau bantuin Xylon karena Xylon itu Xylon. Tapi kalau Wynter merasa ini kesempatan buat nebus waktu dengan Wynn, itu salah kaprah. Aku khawatir Wynter akan kecewa. Xylon kan enggak minta bantuan. Mungkin bakal enggak suka juga direcokin masalah pribadinya. Ardi, bantu aku kasih Wynter kesibukan lain. Alihkan perhatiannya dari Xetra, eh Xylon."
Kata-katanya masuk akal. Tapi enggak perlu ikutan Master Class urusan cinta, aku juga bisa lihat, di balik logikanya, Hya cemburu, khawatir Wynter bakal tertarik dengan Xetra. Aneh ya cewek kalau cemburu. Terlalu rasional sampai terasa enggak rasional. Kan sudah jelas, Xetra itu cewek paling penting buat Xylon. Wynter menghormati Xylon, nyaris memujanya. Bagaimana mungkin bakal ngembat gebetan Xylon, kan?
Hya memang cewek banget. Aku ingat Wynter bilang gitu. Dan Wynter itu cowok banget, sering enggak peka. Klop lah. Resep mujarab untuk keributan yang enggak perlu.
Untungnya, Ramadan tiba. Berkah untuk semua orang. Wynter fokus latihan puasa. Aku enggak tahu kapan dan gimana Wynter beralih agama. Mungkin juga masih berproses. Semoga dimudahkan saja. Tapi kalau lihat semangat Wynter, aku yakin ia sudah tahu pilihannya.
Di hari pertama puasa, Nana meminta kami menemani Wynter sahur. Menginaplah kami di rumah Nana. Minus Xylon yang janji datang jelang sahur tapi kesiangan bangun, dan Neru yang bukan muslim.
Pernah lihat batang pohon tumbang? Bisa bayangin gimana menegakkannya? Perlu penopang, kan?
Nah, aku, Rayn, dan Raiden berfungsi jadi penopang badan setinggi 184 cm dan seberat 75kg itu. Mau oleng ke kanan ada aku, oleng ke kiri ada Rayn, ke belakang ada Raiden. Cuma ke depan yang enggak kami sangka. Ada sepiring nasi yang sudah disiram kolak oleh Wynter sebelum kami sadar apa yang dilakukannya. Tapi ampuh membuat matanya melek lebar begitu ia mulai makan.
Raiden Aindrea Rahagi
Masih ingat cerita Rayn tentang parut luka di bawah telinga Raiden? Aku menduga ada kaitannya dengan jatuh dari pohon waktu kecil. Cerita sederhana yang biasa dialami anak-anak lelaki. Kalau Raiden bilang begitu, semua orang pasti percaya. Tapi Raiden selalu punya cerita berbeda dengan parutnya.
Pernah, katanya, ada perampok masuk rumah pejabat. Waktu itu ada pesta keluarga, Raiden hadir bersama ayahnya. Ia disandra karena paling kecil, di bawah acungan belati. Perampok itu meminta pertukaran dirinya dengan kalung jade yang dipakai kucing sang pejabat. Saat Raiden nekat melepaskan diri, ujung belati menggores bawah telinganya. Darah yang keluar segelas. Tapi Raiden sempat menendang kemaluan si perampok sampai pingsan.
Di lain waktu, ia bercerita, parut itu disebabkan cakaran lynx, kucing liar dari hutan Amerika Utara. Lynx itu sebetulnya jinak, milik kepala suku Indian yang dikunjungi Raiden dan ayahnya. Tapi Raiden terlalu kuat memeluknya, dan kucing besar itu melukainya.
Cerita versi lain, Raiden menerobos pagar kawat berduri pangkalan militer. Apa yang dicarinya di sana? Mirkat, induk Re, Na, dan Ta, yang menghilang. Waktu masuk, ia baik-baik saja. Ditemukannya Mirkat dan dibawanya menerobos balik. Saat itulah, alarm tanda bahaya berbunyi yang membangunkan pasukan. Raiden kaget dan tidak hati-hati menerobos keluar. Duri kawat melukainya.
Versi lainnya lagi, katanya, koki istana kesultanan di Malaysia melemparnya dengan spatula. Melempar kucing yang mencuri ikan sebetulnya, tapi karena Raiden menyelamatkan kucing itu, spatula mengenai dirinya. Ingat, Raiden pernah tinggal di Kuala Lumpur beberapa tahun. Ayahnya sering diundang ke perjamuan para sultan.
Ada variasi lain?
Ada. Raiden jatuh dari mobil pickup yang melaju kencang. Pengemudi pickup menculik sekandang anak kucing ras mahal dari petshop tempat Raiden bekerja part time.
Mulai bosan?
Bentar, ada satu lagi. Tapi ini versiku sendiri yang kutambahkan.
Raiden diculik alien. Makhluk-makhluk itu membedah otaknya, menyisakan parut di bawah telinga. Ada sebuah chip canggih yang ditanam di sana. Kepalanya akan meledak kalau Raiden bicara jujur.
Raiden tergelak. "Enggak kreatif, Di. Tapi aku suka."
Artinya apa? Raiden enggak suka versiku. Soalnya kalau dia jujur suka, BOOM!
"Jujur saja, Di, kamu suka versi yang mana?" Raiden memandangku dengan mata penuh bintang. Berkedip-kedip manja.
Bundaaaaa, boleh aku tabok dia pakai wajan?
Aku dengar Bunda menjawab, "Boleh, tapi nanti setelah aku tulis ceritanya. Raiden belum dapat jatah jadi lead character."
Oke, tolong jangan masukkan aku di sana ya.
Lazuardi Aristides Parahita
Yang ini skip aja ya, Bunda? Kan di laporan ini, sudah jelas, aku ngapain. Pokoknya, oke kok. Status bahagia, sejahtera.
Chandrawinata Neru
Neru tiba-tiba kesambet Rhea Rafanda. Sejak cewek itu mendatangi kami di jembatan belakang sekolah dan nanya-nanya Neru soal sepupunya, Keiran.
Iya kesambet, Bunda. Setiap kumpul, yang diomongin Rhea lagi Rhea lagi. Padahal sejak itu enggak ketemu lagi.
"Enggak cuma di jembatan itu, kok." Neru berkilah. Lalu wajahnya semringah dengan senyum malu-malu. "Kemarin dan tadi, dua kali aku ditabrak Rhea."
Hoaaa, astaga. Lalu?
"Ya udah, aku jatuh, dia minta maaf. Terus lari ke lantai dua."
Susah untuk enggak ketawa. Tapi kok kasihan.
Wynter saja sampai bangun untuk nepuk-nepuk bahunya. "Apa enggak ada cewek lain, yang lebih muda dari kamu?"
"Hei, apa salahnya cewek yang lebih tua?" Aku enggak terima.
Wynter angkat bahu. "Masalahnya, gimana kalau Rhea gebetan sepupu Neru? Kan waktu itu ngajak ketemuan?"
Neru jadi gelisah. Kakinya dijengit-jengitkan. Naik turun naik turun. Wynter tampak merasa bersalah. "Apa yang bikin kamu tiba-tiba naksir Rhea? Jangan bilang karena dia unik, aneh, ajaib, cakep, baik. Kalau alasanmu enggak pasaran, mungkin aku bisa bantu."
Neru menggeleng. "Aku enggak tahu. Tapi kayaknya Rhea ngertiin aku biarpun aku enggak bicara."
Kami saling berpandangan.
"Dulu Rhea tahu aku mulai sembuh OCD. Tahu aku baru balik dari sekolah di Singapura. Enggak betah di sana. Mau balik lagi ke DIS. Waktu nabrak aku, yang pertama, dia bilang gini, 'Neru, lukisan kamu bagus. Tapi aku enggak pernah pakai gaun merah. Kok tahu, aku melukis dia? Yang kedua, aku pikir dia sengaja nabrak aku. Biar bisa bilang, 'Neru, kacamatamu ketinggalan di toilet putra lantai 3, bilik 3.'"
Kami saling berpandangan lagi.
Neru berdiri dengan puas. Seolah memiliki semua bukti di dunia tentang Rhea dan perasaannya pada Neru.
"Rhea mata-matain kamu? Ngikutin kamu?" Raiden berbisik penuh sensasi. "Atau benar kata orang, dia cenayang?"
"Rhea jadiin kamu batu lompatan ke Kei?" Wynter serius memberikan masukan.
"Soal Rhea nabrak kamu, jangan dianggap serius dulu, Neru. Soalnya, aku sering lihat dia lari-lari di koridor sambil bicara sendiri. Banyak yang pernah ditabraknya." Aku berniat membantu juga.
Rayn tidak bicara apa-apa, tapi pandangannya empatik pada Neru. Sesama penyandang disorder, mungkin begitu pikirnya, saling menguatkan.
Tapi tanggapan Neru di luar dugaan. Begitu saja anak itu berbalik dan meninggalkan kami.
"Hei!"Raiden berseru memanggilnya.
"Neru!" Wynter hendak mengejar.
Xylon menangkap lengan Wynter. "Biarkan dia sendiri. Kita sudah membuatnya sedih. Bukannya mendukung, malah bikin dia kecil hati."
"Tapi .... " Aku memprotes.
Xylon menggeleng. "Guys, kebenaran kalau ditamparkan pasti sakit juga. Kalian mungkin berniat membantu agar Marwan enggak kecewa nanti. Tapi coba pakai sepatu dia. Kalian suka sama seseorang dan punya harapan, tiba-tiba teman-temannya ngomong kayak gitu."
Kami terdiam. Neru atau Marwan, serba salah.
"Biar aku yang bicara sama ...." Xylon menunjuk ke arah Neru menghilang sambil mencari-cari nama dalam ingatannya. "Aku salah sebut? Bukan Noval ya?"
"Neru. Chandrawinata Neru." Serempak kami membantunya.
Xylon mengangkat jempol dan bergegas pergi.
Sepeninggal dua orang itu, Raiden memecah kebekuan dengan menghela napas panjang, agak dibuat-buat. "Guys, kalau aku bilang sedang naksir beberapa cewek sekaligus, sebagai sahabat, kalian mau bilang apa?"
"Jangan coba-coba!" Wynter menggulung lengan baju. "Hya is off limit."
Rayn berdeham. "Kupikir, Megan sudah menyatakan jawabannya dengan jelas."
Raiden tercengang. Apa lagi saat Wynter dan Rayn kompak meninggalkan tempat. "Aku salah apa?"
Aku tergelak-gelak. "Mereka hanya menamparmu dengan kebenaran."
"Tapi aku enggak bicara soal Hya dan Megan. Mereka aja yang sensi. Aku kemarin lewat petshop dan mikir mau adopsi lagi. Ada Rusian Blue dan Siam mata biru cewek yang bikin aku jatuh cinta sekaligus. Enggak bisa tidur deh."
Aku sudah menendang bokongnya. Tapi Raiden gesit mengelak. Lari sambil tertawa-tawa.
Begitulah laporanku, Bunda. Silakan ditindaklanjuti.
Salam
Ardi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro