Checkpoint L - Part 2
Kepada
Yang Mulia Sekjen Brotherhood of Broken Boys
Tembusan: Pencipta Truth or Dare
Dear Sir Lazuardi Aristides Parahita (kapan lagi bisa pakai sebutan keren ini, ya kan?),
Dear Sir Whoever-You-Were-Who-Invented-Truth-or-Dare,
Aku senang truth or dare ternyata efektif untuk mendekatkan hubungan antarteman. Hebat, siapa pun kamu yang menciptakannya.
Aku pernah baca, permainan ini ada sejak 1712, zamannya raja-raja Yunani saling bertaruh, saling tantang, daripada dicatat sejarah kayak kurang kerjaan gitu. Sumber lain bilang, awalnya dari kalangan pasukan Inggris untuk menginterogasi tawanan. British troop memang crazy kata Obelix. Perang juga ada break minum teh pk. 17.00. Pssst jangan bilang-bilang Wynter ya, khawatir nasionalismenya masih condong sedikit ke sana, biarpun sudah Brexit.
Anyway, gimanapun asalnya, seperti pisau, truth or dare berbahaya kalau disalahgunakan untuk mempermalukan orang di muka umum.
Aku wanti-wanti agar B3 manfaatin permainan ini untuk kebaikan. Jadi, sebagai penciptanya, kamu akan dapat pahala. Boleh share sama Yang Mulia SekJen sebagai EO acara B3. Aku sendiri sudah cukup senang bisa lebih baik mengenal teman-teman.
Truth or dare versi B3 aturannya sederhana. Setiap orang diberi pilihan untuk menjawab pertanyaan secara jujur (truth), atau kalau tidak mau, diganti tantangan untuk melakukan sesuatu (dare). Kalau tantangan dirasa terlalu berat, bisa minta tantangan lain. Tapi yang kedua ini harus dilaksanakan.
Aku menyediakan dua gelas kosong, satu untuk menampung truth, satu lagi dare. Lalu setiap orang menulis enam pertanyaan dan enam tantangan pada secarik kertas yang dilipat kecil. Jadi, di tiap gelas, terdapat 36 kertas. Nanti kita bergantian mengambil truth or dare.
Di ruang tamu yang sempit meski semua perabot dipinggirkan, enam cowok malang melintang di karpet, kaki ketemu jidat ketemu pinggul ketemu dengkul, berusaha menulis secara rahasia. Ketawa-ketawa sendiri. Atau mencoba saling intip dan berakhir dengan saling tonjok dan tendang kalau ketahuan.
Enggak mudah loh memikirkan enam pertanyaan dan tantangan yang spektakuler bikin malu tapi enggak sampai buka aib. Aku sendiri ingin memanfaatkan momen ini untuk mencari jawaban serius, tapi kalau yang lain mau lucu-lucuan pun boleh saja. Let's see.
Akhirnya dua gelas itu terisi 36 lipatan kertas yang sudah dikocok rata. Mari kita mulai. Duduk melingkar. Masing-masing mengambil satu truth.
Ronde Pertama: (lihat pertanyaan entah dari siapa yang didapat masing-masing!)
Aku: Siapa yang pernah kamu mimpikan sampai besoknya kamu malu ketemu yang bersangkutan? (Astaga, jleb. Yang dimaksud pasti bukan mimpiin genderuwo, tapi gebetan.)
Wynter: Kejadian apa yang paling bikin malu yang pernah kamu alami di depan cewek? (Cheers buat yang nanya dan pas banget jatuh ke tangan Wynter. Sesekali cewek-hater perlu kena batunya)
Rayn: Benda apa yang kamu bawa tidur setiap malam, and can't sleep without? (Ouch. Aku tahu, aku tahu. Haha, epik ini!)
Raiden: Siapa gebetanmu sekarang? (Dari segala pertanyaan di dunia, yang ditanyain kok itu? Dangkal banget. Siapa sih?)
Xylon: Rahasia apa yang pengin banget kamu bagi ke sahabat biar plong? (Nah, ini baru pertanyaan bermutu.)
Neru: Tiga hal apa yang kamu sadar banget untuk tidak dilakukan di depan gebetan? (Aw seru ini. Sayang enggak jatuh ke Rayn)
Yang di dalam kurung itu komentarku saat pertanyaan dibacakan keras-keras. Disambut tawa dan tanggapan rusuh lainnya dari teman-teman.
Tapi saat giliranku menjawab pertama, beberapa saat aku speechless. Garuk-garuk kepala, sambil memilah-milah memori. Sebetulnya banyak contoh, dan mengingatnya saja bikin mukaku panas. Setdah! Baru nyadar sendiri, aku sering memimpikan orang dan esoknya berusaha banget menghindari yang bersangkutan, khawatir orang itu memimpikan hal yang sama. Memang aneh, tapi perasaan itu nyata. Kupikir, yang buat pertanyaan ini pasti ngalami juga. Aku memandang sekeliling, mencoba menemukan si pembuat, dan kecurigaanku jatuh pada Wynter, karena ia memandangiku dengan mata birunya penuh harap. Aha, dia pengin ada teman!
Baiklah. Ini jawabanku. Jangan khawatir, aku enggak bakal sebut Hya karena yakin banget bakal menimbulkan 'pertumpahan darah.' Meskipun yang aku mimpiin sebatas mengejar-ngejar Miss Dinah untuk minta remedial bareng cewek itu. Setting pantainya yang bikin malu. Dan Wynter bisa menginterpretasikan itu macam-macam. "Rayn! Dia yang aku mimpiin dan enggak cuma esoknya, malah seminggu aku enggak mau ketemu, minimal Rayn enggak lihat mukaku."
"Apa?" Rayn terkejut. "Kapan itu? Kenapa sampai malu?"
Siulan dan ledekan. Raiden malah merangkulku. "Aw, Master Kecil, ternyata kamu nakal ya?"
Aku menyikut rusuknya. Serahkan pada Raiden untuk yang ngeres-ngeres gitu. "Pikiranmu yang perlu direnov! Aku mimpi merayu Rayn untuk tukeran t-shirt LegoLand-nya yang hijau. Aku dikasih Mami Kiara warna merah. Tapi Rayn menolak mentah-mentah. Hijau itu kesukaannya, harga mati."
"Ya ampun, Ardi!" Rayn tergelak. "Itu kan waktu kelas 7? Kenapa enggak bilang? Aku lebih suka yang merah sebetulnya, dan kesal sama Mami karena kupikir dia pilih kasih, mementingkan kamu. Tapi enggak sampai kebawa mimpi. Soalnya, kamu happy dengan yang merah."
"Aaawww .... pengakuan couple yang so cute," lagi Raiden meledek. Dihadiahi lemparan buntalan kaus kaki kotor asal comot oleh Rayn.
"Jadi, kalian masih mau tukeran t-shirt?" Xylon berdeham, pura-pura serius.
Aku menggeleng. Sudah tiga tahun berlalu, kaus itu sudah kekecilan dan belel. Rayn masih memandangiku penuh sesal. Aah, aku tahu apa yang dipikirkannya: Andai waktu bisa diputar ulang, untuk memperbaiki apa yang salah di masa lalu. Keinginan yang kalau terucap bisa menghilangkan prasangka. Lebih dari sekadar urusan t-shirt. Noted, Rayn. Enggak akan lagi-lagi.
"Next! " Xylon menunjuk Wynter sambil berpikir keras. ".... Rahadian!"
"That's my Dad. Aku Wynter." Wynter tersenyum, tampak maklum. Lalu mengulurkan tangan dan Xylon menyambutnya. Lagi, sekuensi salaman yang rumit itu.
Hmm ... mereka tampak sudah akrab. Wynter berhasil mendekati Xylon di luar waktu-waktu B3 kumpul? Bagaimana caranya?
"Kejadian apa yang paling bikin malu yang pernah kamu alami di depan cewek?" Wynter membaca ulang pertanyaannya. "Pertanyaan mudah buatku. Di awal kelas 10, aku berniat menjaili cewek kelas 11. Aku lupa namanya. Dia beberapa kali bikin aku jengkel sampai ubun-ubun, karena seperti tahu banyak tentang aku. Kayak cenayang gitu. Apalagi dia suka pakai sarung tangan. Nah, ada kesempatan membalasnya di kafetaria, dia duduk di meja sebelahku. Aku membidiknya dengan karet gelang. Dia lihatin aku. Tenang ... kayak yang rela banget mau aku jepret ... lalu ...." Jeda dramatis.
Muka-muka tegang. Menahan napas.
"Ctar! Karet itu lepas, kena mukaku sendiri!" suara Wynter makin pelan.
Tawa pun meledak, membahana. Untung saja rumahku adalah rumah dinas SD, berada di tengah kompleks sekolah yang sunyi di malam hari begini. Tidak akan ada yang terganggu dengan keriuhan enam cowok yang lagi melepas kegilaan terpendam.
"Di Darmawangsa, cuma ada satu cewek yang selalu pakai sarung tangan dan punya aura mistis," kata Neru tiba-tiba. Lalu menaikkan kacamatanya dengan gugup karena mendadak dipandangi lima pasang mata yang takjub. "Namanya Rhea Rafanda. Sekarang kelas 12A. Dia pelanggan butik Paman Kedua. Pertama kali aku ketemu dia waktu dia baru masuk SMA, minta dibuatkan sarung tangan khusus. Perlu yang tipis, lentur, tapi enggak tembus. Kubilang mistis, karena dia tahu aku OCD, tahu aku kelas 8, sekolah di Singapura, dan ada rencana balik lagi ke Darmawangsa."
"Whoa ... kenalin dong," sambar Raiden. "Kalau Rhea bisa ngerjain Wynter dari jauh, aku butuh dia jadi sekutu."
Wynter melayangkan tangan melalui kepala Rayn untuk mendorong jidat Raiden. "Ngaku aja kamu desperate, siapa pun digebet sejak Megan lepas dari jangkauan. Eh, sorry Rayn."
Rayn cuma menyeringai. "Giliranku ya sekarang. Benda apa yang kamu bawa tidur setiap malam, and can't sleep without?"
Aku berdeham. Menahan geli. Benda itu sering kujadikan bahan ledekan untuk Rayn bukan karena wujudnya. Tapi karena ia menamainya dengan nama generik hakiki kekanakan yang menggambarkan banyak hal sensitif. Siapa pun yang menulis pertanyaan itu telah membidik Rayn dengan jitu.
Muka Rayn sudah merah. Seperti duduk di atas pecahan batu tajam, ia mengubah-ubah posisi dan enggak juga merasa nyaman. Lalu, jawabannya benar-benar enggak kuduga. "Pass. Berikan gelas dare itu, Ardi!"
"Yes! Dare pertama!" Xylon menggosok-gosok tangan. Melongok penasaran saat Rayn mengambil satu kertas.
Rayn memilih tantangan ketimbang memaparkan rahasia pada teman-teman lain. Aaah, kehormatan banget kan buatku, jadi the one and only yang begitu sering lihat wujud benda ajaibnya. Tapi bersama itu muncul pula tanggung jawab, rahasia Rayn jadi rahasiaku. Aku enggak akan pernah membocorkannya pada siapa pun. Enggak akan kutulis juga di sini biar aman. Silakan menebak-nebak dan penasaran.
"Dare: tunjuk sahabat terdekatmu untuk melakukan tantangan ini buatmu. Jalan dari rumah Ardi ke masjid bolak-balik sendirian tanpa bantuan cahaya hape/senter." Rayn membaca keras-keras. "Kenapa orang lain yang harus melakukan tantangan? Ini enggak fair!"
"Justru itu tantangannya. Kamu tega enggak nyuruh sahabatmu. Dan sahabatmu cukup care enggak untuk berkorban buatmu. Kita akan lihat aksi Raynardi sebentar lagi. Pasti seru." Wynter berargumen. Ah, jelas dare itu darinya.
"Mungkin malah mengharukan," timpal Xylon. "Untung saja bukan aku yang dapat tantangan itu. Bakal bingung nentuin siapa di antara kalian yang kuanggap paling dekat."
Ucapan Xylon sedikit menusuk. Bukankah itu aku? Atau Wynter? Ah, no time for jealousy.
Ini waktu kritis untuk Rayn yang semakin gelisah memandangku. Ia tahu banget, aku paling benci jalan sendirian dari rumah ke masjid melalui hutan belukar gelap. Tapi menolak tantangan itu akan mengundang pertanyaan dan pada akhirnya membuka rahasiaku pada yang lain. Serba salah.
"Kamu bisa ambil dare kedua, Rayn," kata Neru mengingatkan.
Ah, peka banget anak itu. Tapi pertanyaan akan tetap muncul, kenapa Rayn enggak mau meminta aku menggantikannya? Ada apa? Cuma jalan bolak-balik ke masjid saja masa enggak bisa? Atau jangan-jangan ....
"Rayn! Just ask. I'll do it for you!" kataku cepat tanpa berpikir dua kali. Xylon boleh lihat aku tipe sahabat kayak apa.
Rayn mendesah. Mengangguk. "Ardi, please, do it for me."
Suitan dan komentar cie cie di sekelilingku. Duh, Gusti, mimpi apa aku semalam, harus melakukan sesuatu yang dalam ribuan tahun cahaya pun enggak bakal kulakukan dengan senang hati. Belum apa-apa, bulu-bulu di punggung dan tengkukku sudah meremang.
Tapi aku enggak boleh menunjukkan ketakutanku. Ketakutan itu permainan pikiran dan imajinasi. Amygdala yang bertingkah. Tundukkan. Kamu berani, Ardi. Itu mantera yang kuucapkan berulang dalam hati sambil mengikuti teman-teman keluar rumah.
B3 berdiri berjajar di pagar, menghadap jalan ke arah masjid yang bagai lorong gelap berliku terbuat dari pepohonan. Lima pasang kaki mundur selangkah, meninggalkan aku terpaku.
"You can do it!" Wynter menepuk punggungku.
"Piece of cake. Tentu saja Ardi bisa melakukannya. Sudah biasa." Rayn tertawa gugup. Menyimpan ponselku yang kutitipkan padanya.
"Ada pesan terakhir, Di?" tanya Raiden, tergelak. "Sudah nulis surat wasiat?"
"Berapa jauh sih dari sini ke masjid?" tanya Neru.
"Tujuh ratus lima puluh meter," sahutku dengan suara dimantapkan. "Cuma perlu 20 menit untuk jalan bolak-balik, atau 10 menit kalau lari."
"Enggak boleh lari," kata Neru.
Emangnya aku enggak tahu?! Aku menggertakkan gigi, dan mulai melangkah. Seruan memberi semangat memudar di latar belakang, saat aku ditelan lubang yang berbatasan dengan banyak dunia lain. Langkahku berat. Mungkin ribuan makhluk kecil bergerumbul menggelayuti kakiku. Mataku mulai terbiasa dalam gelap, tapi justru bisa menangkap sosok-sosok jangkung di kanan-kiriku. Mereka menjulurkan tangan dengan jemari panjang-panjang, sambil tetap menyembunyikan wajah dalam balutan jubah malam.
Aku membaca doa-doa yang kuhafal. Berkomat-kamit sepanjang jalan. Ampuh menahan mereka di tempat. Tapi jantungku sudah menjerit. Ingin menoleh, untuk memastikan kelima temanku masih ada di sana mengawasi, siapa menolong kalau terjadi apa-apa padaku. Leherku kaku, sulit digerakkan kecuali menghadap ke depan. Apakah ini pengaruh jampi-jampi yang ditiupkan para makhluk itu?
Lalu telingaku ... aaah! Begitu aku sadar dengan indra satu ini, bunyi-bunyian langsung menerpa. Tawa dan kikik, bisik dan desah, jeritan dan lolongan. Aku ingin berteriak minta tolong, tapi aku tahu apa yang ada di belakangku kalau aku nekat menoleh. Dari tadi, makhluk itu membuntutiku, duduk di bahuku, siap membuka mulut lebar-lebar kalau aku berbalik.
Tak ada jalan lain, maju. Tikungan di depan. Maju. Lompati pohon tumbang. Maju. Belok kanan, dan cahaya lampu masjid berkelip di depan. Aku bersorak. Aku selamat! Kakiku mendadak lemas.
"Ardi!" Pak RT membuka pagar masjid dan memberi salam. "Mau apa malam-malam ke sini? Jamaah salat Isya dan pengajian sudah dari tadi bubaran."
"Enggak kok Pak, aku cuma cari udara segar. Aku mau pulang sekarang," sahutku, tapi kulihat Pak RT kesulitan membawa gulungan karpet. Enggak mungkin aku biarkan lelaki tua itu sendirian. Jadi, kutawarkan bantuan membawakan satu. Rumah Pak RT di belakang masjid. Istrinya langsung menawariku makanan berlebih dari pengajian. Aku enggak tega menolak. Lagian, aku perlu energi baru untuk pertempuran babak kedua demi bisa kembali ke rumah. Lima potong kue dan dua gelas teh manis sambil mengobrolkan penerangan jalan dengan Pak RT. Dan istrinya yang ramah bukan jenis orang yang suka dicuekin saat berbicara tentang Bu Anu yang baru pindah, dan Bu Itu yang baru punya bayi setelah sekian tahun menikah. Aku tertawan oleh pasangan ini sampai ada kesempatan untuk memaksa berpamitan.
Mulai perjalanan balik. Kenapa jalan lebih gelap dari sebelumnya, ya? Jangan-jangan, mereka sudah menundukkan awan untuk menelan bintang-bintang. Benar, bahkan jalan sudah disulap terulur lebih jauh. Perutku mulas, bukan karena makanan, tapi karena hawa dingin yang menyelusup ke balik jaket. Kalau tadi mereka stand by, menunggu perintah, sepertinya kini siap menyergapku. Terbukti dari sela-sela pepohonan di belokan, aku melihat ujung sungut menyala dari salah satu makhluk. Mendekat. Mendekat.
Aku merandek. Mencoba tidak bergerak, menahan napas. Mereka hanya akan mengendus dan melewatiku, kan?
"Ardi!" Suara Rayn. Lalu tangannya merangkul leherku.
Aku mundur. Harus pasti dulu ini Rayn, bukan anggota kawanan yang menyamar. Rayn menyalakan ponsel untuk menerangi wajahnya sendiri. Oh, thank God! "Kamu datang tepat waktu." Aku memandang sekeliling, musuh sudah pergi. "Syukur enggak papasan dengan si sungut menyala."
"Sungut menyala?" Rayn menelengkan kepala. "Ya Tuhan. Harusnya aku tahu, ini terlalu berat buatmu. Maafkan aku, Di."
"Eh, Rayn, kamu menyusulku berarti tantangan itu gagal dong?"
"Aku enggak peduli lagi sekarang. Biar saja. Kalau mereka mau tahu soal Guling Peyot Bau Pesing teman tidurku--"
Aku buru-buru membungkam mulut Rayn karena mendengar langkah kaki di belokan, dan beberapa detik kemudian sesosok makhluk dengan kepala bertudung rapat mewujud di depan kami.
"Anggap saja aku enggak dengar rahasiamu," katanya, dengan suara Xylon. Oh, dia rupanya, menyusul juga. Xylon meninju lengan Rayn. Lalu beralih padaku. "Aku enggak menyangka bakal segelap ini. Jadi kepengin beli martabak sekalian lewat menengokmu. Lama banget sih jalannya."
Alasan absurd. Tapi nada cemasnya malah membuatku lega. Terharu. Xylon peduli.
"Aku baik-baik saja," kataku membusungkan dada. "Cuma jalan ke masjid bolak-balik, kenapa kalian terlalu khawatir?"
Xylon tertawa kecil, lalu pamit untuk lanjut beli martabak di jalan raya. Rayn pun menepuk bahuku. "Kamu tunggu di sini sebentar, aku lari duluan. Tadi aku pamit ke belakang dan menyelinap ke sini."
Ardi dengan mulut besarnya! Sekarang sendiri lagi.
Tapi kehadiran dan kepedulian sahabat berdampak besar. Aku bisa melangkah gagah, dan enggak terasa sampai di rumah tanpa kurang suatu apa. Disambut sorak sorai Wynter, Raiden, dan Neru yang menunggu di halaman.
"Kamu keren, Ardi!" Wynter mengacak rambutku kayak aku anak kecil. Oke, tinggiku memang jauh dibandingkan bule satu ini. "Telat lima menit lagi aku bakal nyusul kamu. Khawatir ada begal atau apa."
Aku geleng-geleng geli. Merapikan rambutku. You just don't know, brother.
Truth or dare dilanjutkan setelah Xylon kembali dengan dua loyang martabak manis yang langsung ludes dicomot 12 tangan. Giliran Raiden.
"Siapa gebetanmu sekarang?" Raiden terkekeh. "Ini aku sendiri yang bikin. Boleh tukar?"
I knew it. Cuma Raiden yang to the point soal cewek.
"Tukar? No way!" jawaban serempak dari yang lain. Rasain! Semua orang jadi penasaran juga siapa yang dikejar catkisser satu ini.
"Let's see ...." Raiden mengangkat tangan kanan di depan muka. Satu demi satu jari ditunjuknya bersamaan dengan menyebut nama cewek. "Pertama, aku naksir Hya, dijegal Wynter. Kedua, aku naksir Megan, di-sliding Rayn. Ketiga, Lucy ... enggak jelas maunya, cewek itu. Keempat, Maghda ... too complicated. Lima, Summer ... masih kecil dan aku harus melangkahi mayat Wynter dulu. Pengin ikut Ardi ke ultah Rumi, siapa tahu nemu yang baru. Atau ... mungkin aku perlu konsul sama Rhea?"
Huuuuu .... Raiden pun jadi sasaran gebuk. Cowok itu membalas dan gelut tak terhindarkan. Gelak tawa ditingkahi teriakan.
"Kamu naksir cewek apa salat lima waktu sih? Merasa wajib tapi main-main gitu!" Rayn masih uring-uringan. Di antara lima nama cewek yang disebut Raiden, tentu saja Megan yang paling diseriusi sampai pakai sumpah akan menunggu pula. Meski Raiden terdengar bercanda, Rayn tetap siaga.
"Aku kan minta tukar tadi, enggak dibolehin. Aku jujur kok, enggak ada gebetan kali ini."
"Giliran aku, ya?" Xylon mengambil alih perhatian, semua memandangnya antusias. "Rahasia apa yang pengin banget kamu bagi ke sahabat biar plong?"
Jangan dare please ... diam-diam aku berharap. Kalau Xylon memilih dare, pertanyaanku yang jatuh tepat ke tangannya akan sia-sia.
"Rahasia tentang adikku. Bukan Xetra. Adikku yang sekandung. Laki-laki. Kalau masih hidup seumur kamu," kata Xylon membuatku lega sekaligus kaget. Ia menunjukku.
"Siapa namanya?" tanyaku hati-hati.
Xylon berpikir dan berpikir. Mengacak rambut sendiri. Frustrasi. "Enggak ingat. Tiap hari aku membaca namanya sebelum tidur. Tiap akhir pekan aku ke makamnya. Tapi selalu enggak ingat lagi."
Saling pandang ragu. Sunyi menggelayut.
Lalu Xylon merogoh kantong hoodie-nya, mengeluarkan banyak remasan kertas. "Ini untuk pengingat. Aku menulis nama-nama yang aku ingin sebutkan pada yang bersangkutan. Tapi enggak membantu. Siapa yang punya nama apa, semuanya campur baur."
Aku membuka dan merapikan gumpalan kertas. Nama kami berlima ada di antaranya. Juga nama beberapa guru. Dan selusin lagi nama yang tidak kukenal. Tidak ada yang bermarga Natadilaga. Aku mengembalikan kertas-kertas itu kepada Xylon.
"Buang saja. Percuma."
"Aku Wynter. Bisa sebut namaku?" Wynter berinisiatif mencoba.
Xylon memandang cowok di sampingnya, mulutnya terbuka, seperti sudah ada kata di ujung lidah ... tapi kemudian menutup lagi. "Maaf."
"Mungkin mirip short term memory loss. Normalnya, kita mampu mengingat dan menyebutkan beberapa angka yang baru saja disebutkan --"
Xylon mengibaskan tangan, menghentikan kata-kata Rayn. "Dokterku saja enggak bisa menyimpulkan masalahku dengan kalimat sederhana. I am just a broken boy. Lupakan saja."
"Tapi kamu bisa ingat Xetra," kataku, mendadak teringat. "Sejak awal, kamu bisa menyebut namanya lengkap dan ingat bahwa dia adikmu."
Xylon mengangguk. "Itu anomali. Satu-satunya nama, satu-satunya orang yang bisa kupanggil dengan benar. Selain namaku sendiri, tentunya. Jangan tanya kenapa. Aku enggak tahu."
"Ajaib. Kamu benar-benar ajaib." Raiden geleng-geleng kepala.
"Kalian enggak keberatan kan aku panggil dengan nama apa saja yang muncul duluan di kepalaku?"
Semua mengangguk. Jadi, tidak ada informasi tambahan kecuali bahwa Xylon punya adik laki-laki yang sudah meninggal. Yang rahasianya ingin ia bagi pada sahabat. Rahasia apa? Aku ingin mengejar Xylon untuk menagih truth yang belum dijawabnya. Tapi keduluan Xylon menjentik telingaku main-main dan momennya pun lewat.
"Kalian enggak usah terlalu serius begitu," katanya, lalu bertepuk tangan. Wajahnya cerah lagi. "Truth or dare terakhir sebelum kita tidur. Andy! Apa saja tiga hal yang kamu sadar banget untuk tidak dilakukan di depan gebetan. Itu dari aku. Ayo jawab."
Neru tidak menjawab dengan kata-kata. Ia bersendawa keras. Membuang gas dengan bunyi diulur panjang. Dan yang ketiga ....
"Demi campuran ubi dan telur yang diperam sebulan dalam perutmu, Neru!" Wynter tidak menunggu jawaban ketiga. Ia sudah lari duluan keluar ruangan. Seperti komando buat yang lain saat semua hidung terkena dampaknya.
Tawa dan sumpah serapah bersahutan. Aku masih sempat mendengar Neru mengomel, "Kalian kan bukan gebetanku. Mestinya enggak masalah. Aku malah bisa bikin siulan mengikuti sepenggal lagu ...."
Dare dari Wynter: siapa yang pengin ngikat Neru ke asteroid?
Truth dari Raiden: kalau gebetan kamu melakukan seperti yang Neru lakukan, apa kamu masih ngaku cinta dan gimana kamu belain dia?
Truth dari Rayn: mana yang lebih kamu pilih, duduk bareng Neru sekarang atau cium ketiak Raiden?
"Sudah, sudah! Buka jendelanya! Kasihan tailchaser di dalam. Jangan sampai pingsan sendirian di sana."
Oke, cukup di sini Checkpoint L.
Aku putuskan, B3 kembali diserahkan ke yang berwenang agar dituliskan cerita lengkapnya secara manusiawi, adil, dan beradab.
Demikian, Sir.
Aku pamit dulu.
PS.
Tunggu Checkpoint selanjutnya dengan tema berbeda.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro