Checkpoint I
Kepada
Garuda, Penjaga Perisai Pancasila,
terutama Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Hmm, let me think first, should I use bird language here?
Dalam mitologi dan literatur abad pertengahan, bahasa burung dianggap sebagai bahasa mistis atau magis yang digunakan oleh burung untuk berkomunikasi antar sesama mereka dan dengan makhluk lain. Jadi ...
Chakalaka laka, chirp chirp, tuhuuuuu?
Ngerti enggak, Garuda?
Kaaaak, kulik kulik kulik, cuit cuit!
Oke, silly! Aku juga enggak ngerti. Eh, tapi Jihan malah ngeliatin aku waktu keasyikan sendiri niruin burung, dan .... Dia bagi aku sepotong kuenya. Nice! Biasanya dia pelit pedit koret. Hmm, jangan-jangan aku tadi pakai bahasa balita ya? Atau bahasa kakak-kelaparan-ngiri-enggak-dikasih-kue-yang-sama-dengan-adik?
"Ardi, itu kue buat Jihan. Kamu kan sudah Ibu kasih uang saku. Bisa beli sendiri."
Tapi-tapi ... Bu, uang saku kan buat jajan di sekolah.
"Ya, tepat sekali. Belilah kue di sekolah! Kalau enggak ada, sinikan uangnya, Ibu belikan."
Yaaaah, Ibu!
Di mana keadilan sosial itu, Garuda? (Jangan-jangan ada di Mami Rayn yang suka beliin aku lemper sekalian buat anaknya.)
Anyway, aku nulis ini bukan tentang Jihan yang ngebolehin kuenya kucomot kalau aku mau menirukan kicauan burung dulu (nasib!).
Aku menulis ini untuk nyeritain pengamatan tentang kehidupan sosial di lingkungan sekolah. Ya, ini dampak tugas PPKN dari Mister Ridwan. Kami disuruhnya membuat esai tentang penerapan sila kelima Pancasila dalam pergaulan sehari-hari. Apakah kita sudah berbuat adil pada sesama?
Suer, sebelumnya aku pikir sila-sila itu urusannya pemerintah. Mereka lah yang harus mikirin dan mewujudkan keadilan sosial buat semua rakyat tanpa kecuali.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, berbuat adil itu ya sudah jadi kewajiban manusia dari sananya. Kamu enggak perlu sodorin Pancasila itu ke muka orang, Garuda. Harusnya.
Nyatanya, enggak semua orang bisa bersikap adil. Padahal adil juga enggak berarti harus memperlakukan semua orang sama rata. Adil itu bertindak dan bersikap pada tempatnya, memperlakukan orang lain sebagaimana mestinya.
Jadi, Ibu sudah adil memberi aku uang saku, untuk jajan apa yang kumau. Sementara Jihan yang belum sekolah, dibelikan cheesecake (yang enak banget dan bikin ngacay itu, yang selalu dimakannya sorean kalau aku sudah pulang sekolah dan lagi laper-lapernya. Fair enough but not nice, Sis! )
Balik lagi ke keadilan sosial di sekolah. Garuda, sudah lama aku mengamati fenomena polarisasi ini. Eh cieee, bahasamu, Ardi!
Singkatnya, di sekolah, ada kelompok-kelompok ekslusif yang enggak mau membaur dalam pergaulan. Ngegeng. Bicara pake bahasa kode. Menolak kehadiran orang lain.
Sebetulnya, hal yang wajar sih kita berkumpul sama teman-teman yang bikin kita nyaman, dan menjauhi anak-anak rese pembuat onar (kecuali yang sudah tobat). Tapi eksklusivitas enggak dibenarkan.
Aku, Rayn, Megan, Raiden, Hya, Wynter, dan Lucy akhir-akhir ini memang sering ngumpul saat istirahat. Enggak sengaja. Awalnya kan karena sekelas, aku, Rayn dan Hya ngobrol. Terus Wynter bergabung karena Hya. Terus Rayn pasti melambaikan tangan ke Megan yang lewat (bangga banget dia kalau bisa menemukan Megan biarpun tanpa ciri pengenal!). Habis itu, Raiden pasti ketarik kayak serangga terhipnotis sinar ultraviolet. Zap! Kesetrum deh. Lucy pun karena sekelas sama Megan, biasanya ya kebawa. Bertujuh.
Tapi bukan berarti ini jadi kelompok eksklusif. Enggak ada bahasa dan kode khusus. Enggak pake dress code atau atribut seragam. Dan siapa saja yang mendekat enggak didiemin sampai sadar diri untuk menyingkir. Buktinya Xylon. Beberapa kali dia nyamperin. Entah kenapa, aku selalu senang kalau ketemu dia lagi. Walau dia salah nama melulu tiap kali menyapaku.
"Ardi, bukan Ryan, bukan Fajar, bukan Tyo. Jauh banget sih. Nama lengkapku Lazuardi Aristides Parahita. Kalau Ardi terlalu sulit diingat, pakai aja penggalan lainnya dari namaku."
"Parah?" sahut Xylon dengan senyum selebar samudra.
Aku tercengang. Sementara yang lain ngakak. Sesaat kemudian aku sadar dan meninjunya main-main. Xylon tergelak sambil menghindar.
"Baiklah, Bung ... Lon!" balasku. Disambut sorak teman-teman.
Xylon menyeringai sambil garuk-garuk rambut. Hoodie-nya melorot turun dari kepala dan memaparkan wajah sepenuhnya. Lagi, efeknya dramatis buat Wynter, Raiden, dan Hya. Pasti gara-gara kemiripannya dengan mendiang Wynn.
Ekspresi mereka tertangkap Xylon. Begitu saja keceriaannya menguap. Aku bisa memahami perasaannya, mungkin seperti kehilangan dirinya kalau semua orang melihat dia sebagai Wynn, lalu merambat ke perbandingan perilaku dan lain-lain. Dalam dua minggu Xylon di DIS, itulah yang terjadi.
"Hoodie, topi, perubahan gaya rambut terbukti enggak mempan. Mungkin aku harus oplas!" gumamnya sarkastik, lalu berpamitan. Tidak peduli usahaku untuk menahannya agar tetap bersama kami. Sejujurnya aku penasaran banget. Kenapa dia balik lagi ke DIS hanya beberapa minggu sebelum UN? Kan nanggung banget. Orang lain pasti bela-belain nerusin di SMA yang lama sampai lulus di waktu semepet ini. SMA mana sih sebelumnya? Apa yang terjadi sampai pindah jadi pilihan terbaik?
Tapi Xylon sudah kabur dengan hoodie rapat lagi.
"Bisa enggak sih kalian nahan diri di depan dia. Xylon bukan Wynn!" Aku berbalik pada Wynter, Raiden, dan Hya. "Harusnya kita bantu dia merasa diterima apa adanya, sebagai dirinya."
"Whoa, Ardi?" Rayn menepuk-nepuk bahuku. Merangkul dan berbisik. "Ada apa? Kamu overreacting. Kayaknya enggak ada yang salah-salah amat ke Xylon."
Sebelum aku menjawab, Wynter berdiri. "Ardi benar. Biar aku ajak Xylon bicara. Kalian tunggu di sini." Lalu cowok itu lari mengejar Xylon yang sudah keluar dari kafetaria.
Garuda, insiden itu bisa jadi sampel perlakuan tidak adil di lingkungan sekolah, walau enggak disengaja dan skalanya kecil. Wynter pun siap mengoreksi.
Sekarang, bagaimana dengan ketidakadilan besar dan nyata yang disengaja?
Sejauh yang aku tahu, enggak kejadian sih. Mungkin karena tampang kamu dipampang besar di aula, Garuda.
Ditambah aturan ketat dari Dewan Etika Darmawangsa.
Salah satu penerapan aturan itu adalah, penggunaan bahasa. Jika kebetulan berkelompok dengan sesama suku atau bangsa, boleh menggunakan bahasa daerah atau nasional sendiri. Tetapi kalau ada satu saja di antaranya yang berasal dari daerah/bangsa lain, maka kelompok itu wajib menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Internasional.
Contohnya, kalau cuma aku, Rayn, dan Megan, kami boleh pakai bahasa Sunda. Tapi begitu Raiden bergabung, harus ganti bahasa Indonesia. Kecuali kalau Raiden berminat belajar bahasa Sunda.
Kalau anak-anak dari Korea berkumpul sesama mereka, silakan pakai bahasa Korea, tapi saat Xhosa dari Afsel bergabung, wajib berbahasa Inggris.
Salah satu pelanggaran berat di sekolah ini adalah diskriminasi, diikuti perlakuan yang merendahkan martabat. Bullying termasuk. Dewan Etika Darmawangsa (DED) tidak akan segan-segan mengeluarkan pelakunya. Untungnya belum pernah ada kasus Drop Out gara-gara itu.
Untuk tugas PPKN itu, aku pernah mewawancarai teman-teman sebelumnya, apa pendapat mereka tentang diskriminasi, apa pernah lihat praktiknya di DIS, kalau ya, kenapa lolos dari DED?
Ini jawaban Megan:
"Diskriminasi itu kalau kamu sengaja mengucilkan orang karena dia berbeda. Atau mengganggap derajatnya lebih rendah karena hal berbeda yang dimilikinya. Contoh, anak -anak berkebutuhan khusus."
"Seperti Neru dengan OCD-nya," sambung Hya. "Dulu sering ditolak gabung sana sini, tapi kukira ini bukan diskriminasi yang disengaja. Cuma karena mereka enggak ngerti harus gimana sama dia. Setelah dijelaskan, enggak ada penolakan lagi."
Ya, kukira itu salah satu sebab DED masih memberi toleransi. Tugas sekolah memang untuk mendidik dan mengoreksi.
"Aku juga ABK." Raiden tiba-tiba nyeletuk.
Semua memandangnya heran.
"Aku punya kebutuhan khusus untuk selalu dekat dengan kalian," kata Raiden. Mulutnya bilang kalian, matanya menatap Megan lekat. Kedip-kedip menggoda.
Megan langsung mengganjarnya dengan satu dua pukulan. Raiden mengaduh dan tergelak. Lucy menatap mereka dengan alis bertaut. Rayn bersedekap dengan ekspresi seperti dipaksa menelan bekicot. Raiden mengangkat dua jari simbol damai pada keduanya.
Aku berdeham, mengembalikan topik semula. Diskriminasi, kenapa ada?
"Karena manusia takut sama yang enggak dimengerti. Takut sama perbedaan. Bahkan ingin melenyapkannya." Lucy menjawab.
"Perbedaan itu fitrah. Pengelompokan juga tak terhindari, sudah jadi kebutuhan untuk gabung dengan yang senada setujuan. Tapi kita bisa belajar dari martabak." Wynter awalnya bicara serius tapi tahu-tahu tertawa geli, enggak habis-habis seperti mengingat satu kejadian lucu yang cuma dia yang tahu.
"Martabak?" Beberapa suara serempak.
Wynter mengusap mata. Tawa juga bisa mengundang air mata. "Ya, martabak kan dibuat berkasta. Bertingkat menurut jumlah telur. Biasa, spesial, istimewa. Tapi diciptakan untuk tujuan yang sama, menghilangkan lapar. Martabak jenis apa pun kamu, mulia derajatnya kalau memenuhi fungsi kamu diciptakan."
Analogi menarik, kataku, kok bisa kepikiran. Tapi Wynter mengaku ide martabak itu dari Wynn. Dan entah karena pengin martabak atau ingat Wynn, mata birunya basah.
Aaah, aku enggak pandai menanggapi yang emosional kayak gitu.
Udah deh Garuda, pokoknya dari obrolan dengan mereka, aku bisa nulis esai unik dan dapat A.
Kulik kulik kyaaaaa!
Yang so cuit
Ardi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro