Checkpoint H
Kepada
Cak Kosim
Warung Soto Sulung
(Wadah Ngariung SOlidaritas TOkoh SULUNG)
Cak Kosim yang baik,
Kenalin, aku Lazuardi Aristides Parahita. Code name LAPar. Tapi bukan karena itu aku menulis untukmu. Eh, iya sih, sejak ekskul voli tambah jadwal latihan di hari Minggu, aku memang selalu kelaparan sesudahnya. Kafetaria sekolah tutup dan bekal dari Ibu sudah kuhabiskan di break pertama. Jadilah aku pelanggan baru warungmu. Biasanya makan sendirian.
Sebulan berlalu, enggak ada kejadian apa-apa di warungmu, kecuali makan-minum, bayar, pulang. Tapi siang tadi, mendadak warungmu kayak magnet yang mengumpulkan orang-orang tertentu di satu waktu dan Bang! Something strange happened. Itu bukan kebetulan.
Enggak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Siapa yang bilang gitu, ya?
Oh ya, dari novel Runako keempat, karya Kak IgGy. Di pengantarnya, Kak IgGy bilang dapat quote itu dari istrinya, Kak Gemi. Kak Gemi sendiri dapat dari dosennya, Kak Juno.
Jadi, jangan geer dulu, Cak. Soto sulung-mu lumayan enak, tapi enggak terlalu istimewa. Warungmu nyaman, tapi bukan yang bakal dibela-belain orang. Perlu inovasi lebih deh untuk bisa menarik pelanggan, terutama para WNA dari kompleks Darmawangsa. Kan itu harapan Cak dengan buka warung persis di seberang DIS?
Anyway, Cak, siang ini di warungmu ada delapan siswa Darmawangsa (ajaib ini!) dan deklarasi SOTO SULUNG, Solidaritas Tokoh Sulung (lebih ajaib lagi).
Ini kronologisnya.
Rayn dan Megan punya kegiatan ekskul tambahan juga dan pulang bareng aku. Entah mereka, tapi aku lapar berat. Rayn berbaik hati mau traktir makan siang. Dan sebelum aku mengusulkan soto sulung, Rayn sudah memilih warungmu, Cak, katanya tinggal nyeberang.
Tapi jam makan siang lagi puncak-puncaknya, semua meja terisi. Ala di restoran bintang lima, kami diminta menunggu to be seated. Alias nunggu meja kosong.
Ada yang sudah mau beres. Tapi ternyata orang-orang di meja itu masih betah duduk. Makanan sudah habis, masih saja mereka ngobrol sambil minum dikit-dikit, malah satu orang pesan kopi pula, dan semeja itu dapat extended hour. Pengin lempar bola voli ke meja mereka! Tenggang rasa, dong!
"Kamu masih kuat jalan satu blok? Ada Kedai Pasta di sana," kata Rayn, memandangku dengan iba.
Di depan Megan, dia tanya gitu, coba! Sahabat macam apa itu? Megan sudah senyum-senyum menggoda pula. Kayak aku mau pingsan saja.
And Raiden saved the day!
Dari pojok warung, anak itu melambaikan tangan dan manggil-manggil, mengajak kami bergabung dengannya. "Muridku" itu ternyata lagi di situ bareng Wynter, Hya, dan Lucy. Dari semua tempat makan di sekitar sekolah, anak-anak elit itu ada di tempatmu, Cak! Meja mereka cukup untuk berdelapan. Dan Raiden lagi mau berbaik hati. Ingatkan aku untuk memberinya pelajaran tambahan turun dari pohon dengan cara berayun.
"Gimana kabar Hazel?" tanya Rayn pada Raiden. Ah ya, bisa jadi motif Raiden adalah Megan. Makanya Rayn peka. Aku tahu itu taktiknya untuk mengalihkan fokus Raiden. Rayn lebih sabar mendengarkan Raiden bicara soal kucing-kucingnya ketimbang godain Megan.
Sambil menunggu pesanan yang pake lama banget (not cool, Cak!), begitu saja percakapan di meja terpecah. Raiden dengan Rayn. Megan dengan Lucy. Wynter dengan Hya. Aku dengan stoples bertuliskan acar, yang enggak mau jawab waktu kutanya ke mana timun, wortel, dan nanasnya, kok air melulu.
Kurebahkan kepala di meja, lebih jelas menatap sendok dalam stoplesyang seakan patah di garis permukaan air. Kenapa bisa gitu, ya?
Baru deh dia ngaku dengan bahasa ilmiah, "Ardi, medium air dan udara punya kerapatan optik berbeda, akibatnya, cahaya terbiaskan, dan aku kelihatan seperti patah. Apa yang bisa kamu simpulkan dari fenomena fisika ini?"
"What I see is not always what it is? Jadi jangan langsung percaya penampakan luar, pasti ada alasan, penyebab, atau apalah di belakangnya."
"Pintar!" kata Sendok.
Aku terkekeh, bangga dong, ada pelajaran fisika nyangkut di otak. Teman-teman mendadak berhenti mengobrol dan memandangku heran. Aku menunjuk stoples acar dengan perasaan ikutan kecut. Ah, mereka kurang imajinasi. Tapi aku dapat pelajaran bagus: diam berarti menerima "keganjilan". Membaurlah, maka sebutan orang ketiga, kelima, atau ketujuh kayak sekarang bakal lebur sendiri. Cak, mana sotoku?!
Aku masuk dalam percakapan di sana-sini,dengan lelucon ringan, maka orang bisa melihat tujuh anak SMA Darmawangsa, dua di antaranya bule, enjoying themselves, bercanda dan tertawa-tawa. Pemandangan yang pasti jadi penglaris warungmu, Cak. Aku enggak minta persen, cuma lain kali, layani aku dengan cepat sebelum lutut goyah.
Tapi orang juga bisa lihat ada satu cowok ganjil dalam pemandangan itu dan yang mereka maksud adalah aku. Iya aku inget, aku jomblo happy. Tetap saja deep down, I wished ada orang kedelapan, yang ngerti perasaanku.
Oh, btw, be careful with your wish, Ardi!
Seorang cowok seumuran kami di meja belakangku tiba-tiba marah pada lelaki paruh baya di depannya. Omelannya tajam. Beberapa kali disela si bapak yang tidak sabaran pula. Aku kembali menghadap meja sendiri, demikian pula teman-temanku. Obrolan kami terhenti gara-gara pertengkaran mereka. Mau tidak mau, kami dengar mereka dan jadi enggak nyaman untuk meneruskan percakapan sendiri.
"Karena aku anak sulung? Enggak ada alasan lain yang lebih berbobot gitu? Bawa surat-surat ini. Aku enggak butuh. Leave me alone! Atau aku saja yang pergi sebelum soto ini pindah ke dokumenmu!" Begitu saja cowok itu mengakhiri cekcok mereka, lalu pindah duduk ke kursi kosong di sampingku. Nyaris membanting mangkoknya di meja, dan isinya tumpah mengenai tanganku. Ia tidak peduli.
"Semenit lagi saja bareng pengacara berbulu domba itu, aku bisa meledak." Cowok itu ngedumel, bicara pada mangkuk soto. Aha, sepertinya dia biasa jadi pengganjil juga, sampai enggak sadar baru saja jadi penggenap yang kuminta. Iya, cowok! Ah, harusnya, minimal kusebutkan jenis kelaminnya kali ya. Sekarang, terima sajalah apa yang diberikan semesta!
Tidak ada yang bersuara. Semua hanya memandang heran pada cowok yang mengenakan hoodie nyaris menutup separuh muka ini. Aku membersihkan tangan dengan lap, lalu memutar leher ke arah si pengacara di belakangku. Tapi lelaki itu sudah tidak di mejanya, sedang berjalan menuju pintu keluar.
"Dia sudah pergi," kataku, tanpa sadar dengan nada konspirasi, kayak bilang, kamu sudah aman di sini. Astaga!
Cowok itu memandang pintu keluar dan mendengkus. Lalu menoleh sekilas padaku. "Kalian Darmawangsa, kan? Aku juga. Biarkan aku duduk di sini."
"Tentu, silakan," kataku sambil mengulurkan tangan. "Aku Ardi, kelas 10A." Kenapa aku ramah banget ya? Kayak ada kekuatan tak kasatmata mengatur reaksiku.
"Xylon Natadilaga, 12C," sahutnya, menyalamiku lalu kembali menekuri sotonya. Dan tiba-tiba terkekeh sendiri. "Soto sulung, berarti lahir duluan dari adik-adiknya, soto tengah, soto bungsu. Sial benar kamu. Hanya karena kamu sulung, semua masalah orangtua ditimpakan ke pundakmu. Perlakuan mereka ke kamu juga keras atas nama penggemblengan sebagai anak tertua, sebagai contoh buat adik-adikmu. Kalau pola asuh mereka salah, enggak masalah, anak sulung memang biasa jadi eksperimen. Biar ortu jadi lebih pintar untuk ngasuh anak-anak berikutnya."
Aku ikut tertawa mendengar kalimat pertamanya. Tapi nada getirnya kemudian membuatku terdiam. Ingat pelajaran dari sendok. Apa yang kamu lihat enggak selalu seperti itu adanya. Jelas, cowok ini punya kerumitan yang melebihi soal pembiasan cahaya di air.
Xylon tiba-tiba mengangkat muka, membuka hoodie-nya, dan memandang berkeliling.
Wynter dan Hya terkesiap, serempak menyebut nama. "Wynn ...."
Xylon mengibaskan tangan. "Aku baru masuk lagi ke DIS seminggu ini, tapi sudah banyak yang bereaksi gitu. Coba pandang aku baik-baik. Seberapa mirip aku dengannya? Terakhir aku ketemu Wynn, waktu dia kelas 6 atau 7, pipinya chubby ...."
"Wynn sudah tiada ...." Hya berbisik. Matanya mengerjap.
Wynter buru-buru meraih tangan Hya sementara mata birunya tetap pada Xylon. Dari ekspresinya, kukira Wynter kayak mau menubruk dan memeluk anak ini.
Cowok di sampingku mengangguk. "My deep condolences. Dua tahun aku tinggalin DIS, banyak kejadian ya. Aku dengar berita duka itu dari adikku yang dulu sekelas dengan Wynn."
"Siapa adikmu?" Hya sudah bisa menguasai diri.
"Xetra Deika Dwiasty." Suara Xylon melirih. Tapi masih jelas tertangkap.
"Dwi," kata Hya, menoleh pada Wynter. "Yang pernah nulis harian bareng Wynn setahun sebelum pindah ke Surabaya."
Wynter mengangguk. Belum lepas dari wajah Xylon.
Detik-detik canggung pun bergulir sampai pelayan datang membawakan pesanan kami. Meja mendadak ramai lagi karena semua orang merasa berkewajiban mengembalikan suasana ceria. Sebutan soto sulung dan soto bungsu dari Xylon mengemuka lagi dan mengundang tawa.
"Sori, Xylon, bukan ngeremehin masalah kamu. Aku juga anak sulung dengan tiga adik, ngerti banget rasanya dijadikan tester, tapi di sisi lain, diharapkan jadi leader. Enggak boleh melakukan kesalahan." Megan berdiri dan mengulurkan tangan pada Xylon. "Aku Megan Naja Nitisara, kelas 11A. Welcome back."
Lucy berikutnya. "Lucy Kenward, 11A, anak sulung juga, satu adik."
"Rayn Xavier Wrahaspati, 10A, sulung yang tidak punya adik." Rayn tajam mengamati Xylon sambil salaman. Pasti cari-cari sesuatu yang bisa diingat. Tapi hoodie rapat membalut badan hingga leher Xylon. Rambutnya lurus, enggak rapi. Sangat biasa. Tidak ada ciri mencolok yang terlihat. Suaranya saja yang kupikir agak kasar, tapi itu mungkin karena habis bersitegang.
"Aku Raiden Aindrea Rahagi, 11C, aku enggak minta jadi anak tunggal, tapi nyatanya begitu," kata Raiden.
"Hyacintha Sheridani, 10A, sama kayak Rayn dan Raiden. Firstborn tanpa adik."
"Wynter Mahardika, 11B, sulung dengan tiga adik."
Setelah menyalami mereka satu per satu, Xylon membalikkan badan untuk memandangku. Jelas sekarang, warna matanya cokelat madu, dengan tatapan menyelidik. Aku enggak pernah ketemu Wynn langsung, wajahnya kukenali dari video dokumentasi sekolah yang beberapa kali diputar saat assembly untuk mengenangnya. Memang mirip, tapi Xylon tidak punya aura tenang dan lembut kayak Wynn. Bahkan kembar identik pun tidak 100% identik, bukan?
"Kamu sulung juga?" Xylon bertanya.
"Eh, ya, dengan satu adik perempuan, masih kecil," kataku tergagap.
"Wow, kalian sadar enggak, punya banyak kesamaan begitu?" Xylon tertawa saat beberapa dari kami menggeleng. Baru ngeh setelah Xylon menggarisbawahi kesulungannya. "Kita bisa mendirikan kelompok solidaritas anak sulung nih."
"Soto Sulung, solidaritas tokoh sulung," aku mengoreksi. Berasa pintar dan kreatif.
Xylon menepuk bahuku. "Kamu cerdas, Wynter."
What?
Tapi sebelum aku memprotesnya, tiba-tiba cowok itu berdiri, waspada memandang berkeliling. Terkejut saat sebuah mobil van hitam memasuki parkiran. "Aku harus pergi. Jangan bilang-bilang kalian kenal aku kalau kakakku datang dan tanya-tanya. Sesama anak sulung harus solider. Oke?"
Dan cowok itu kabur dengan cara seaneh hadirnya. Tidak cukup hoodie membungkus kepala, ia mengambil nampan untuk menutupi muka. Keluar dari pintu belakang.
Meja masih sunyi beberapa saat setelah punggungnya tak terlihat lagi.
Lalu Raiden, Wynter, dan Hya berbicara berbarengan, heboh tentang kemiripan wajah Xylon dengan Wynn. Bagaimana reaksi keluarga Darmawangsa kalau melihat anak itu? Pak Darmawangsa dan Pak Sam, selaku pemilik dan kepala sekolah, mungkin sudah. Enggak kebayang syok mereka.
Aku sendiri masih tidak habis pikir. "Katanya anak sulung, tapi punya kakak?" Dan nyatanya, yang turun dari van hitam adalah sepasang suami istri dengan dua anak balita. Tidak mencari Xylon atau siapa pun kecuali meja kosong. Kakak apa atau siapa yang dimaksudnya?
"Aneh banget sih. Parnoan pula." Lucy menimpali, sambil mengibaskan rambut pirang abunya yang mulai panjang lagi.
"Tapi dia benar soal firstborn," kata Rayn, lebih santai. "Ada adik atau tidak, semua tanggung jawab dan harapan orangtua ada pada kita."
"Hidup soto sulung!" seruku, memutuskan untuk lanjut makan. Lapar ternyata enggak hilang hanya karena kamu ketemu anak aneh. Tapi sambil mengunyah pelan ... Xylon Natadilaga ... hmm ... 12C, bakal sering ketemu. Let's see. Dan aku menangkap pandangan Rayn. Alis bertaut tanda ia curiga aku enggak bakal melupakan begitu saja anak itu.
"Rayn, tolong sambalnya!" Aku buru-buru fokus pada apa yang ada di depanku. Semangkuk soto sulung. Ah, malah semakin kepikiran. Apa masalah Xylon sebetulnya? Solider macam apa yang diharapkannya? Kenapa aku merasa berkewajiban memenuhinya? Cuma karena aku yang meminta orang kedelapan?
Ah, Cak Kosim, aku enggak akan bisa lagi memandang soto sulungmu sebagai soto sulung setelah insiden ajaib Xylon. Maafkan aku. Mungkin minggu depan aku pindah makan ke tempat lain. Oh ya, pesan untuk juru masakmu, jangan terlalu bermurah hati dengan garam. Dan buang air rebusan pertama daging yang digunakan. Itu kata ibuku. Terlalu banyak lemak, enggak sehat.
salam,
Ardi
yang-batal-jadi-anak-tunggal
tapi-bangga-punya-kakak-angkat-kayak-Rayn
pengganjil-yang-kreatif-dan-happy.
PS.
Xylon dari bahasa Yunani ξύλον yang berarti pohon; kayu; tongkat pemukul. Dibaca Silon.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro