Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

45. The Sacred Sign

VI. The Sacred Sign-last-

Eve merasakan perasaan rindu yang ganjil ketika mereka bertiga kembali ke lorong yang menuju ruangan misterius itu. Dan dia tidak tahu apa sebabnya.

 “Jadi, kenapa kau begitu penasaran dengan lambang yang terlihat tidak penting itu, Sakura?” Pertanyaan Ayato sejenak berhasil mengusir perasaan ganjil itu dari benak Eve.

 “Tidak ada alasan khusus, aku hanya penasaran saja. Dan ….” Sakura berhenti sebentar, sepertinya jadi sedikit ragu untuk mengucapkan apa yang sedang dia pikirkan. “Suara juga bilang, sebaiknya aku melihat ruangan itu.”

Eve hampir lupa mengenai Suara, entitas misterius dalam kepala Sakura yang kadang berbicara padanya. Di dunia ini kadang memang ada orang yang memiliki kemampuan misterius seperti itu, makanya Eve sama sekali tidak curiga. Lagipula, menurut Sakura, Suara sudah beberapa kali membantunya.

 “Kita sampai.”

Mereka sudah tiba di ujung gua itu, dalam ruangan gelap tempat ceruk itu berada. Eve menunduk ke tanah dekat tempat mereka bertiga berdiri, mencari letak tombol untuk mengaktifkan batu-batu bercahaya di sepanjang dinding ruangan.

 “Di mana letak tombol itu, kau ingat, tidak?” tanya Eve pada Ayato, yang sudah berjongkok dan meraba tanah di sekitarnya.

 “Sebenarnya, aku juga tidak ingat,” kata Ayato. “Soalnya, waktu itu, ‘kan, aku hanya tidak sengaja menginjaknya.”

Eve menggerutu, sepertinya dia akan mulai mengomeli Ayato seandainya saja Sakura tidak menginterupsi.

 “Ada gundukan tanah yang aneh di sebelah sini,” seru Sakura. Sebelumnya Eve telah memberitahunya soal tombol untuk mengaktifkan ruangan itu. “Bentuknya agak besar dan berat, apa ini tombolnya?”

Seketika batu-batu bercahaya di sepanjang dinding gua menyala berurutan. Kini seluruh bagian dari ruangan itu menjadi jelas terlihat, juga Sakura yang masih berlutut seraya menekan semacam gundukan tanah dan memandang sekelilingnya dengan takjub.

 “Ketemu juga. Terima kasih, Sakura,” kata Eve.

Perhatian mereka bertiga kembali teralih pada ceruk di tengah ruangan. Lambang itu, sebilah pedang dan tongkat sihir bersilangan dengan sekuntum bunga di tengahnya.

Sakura melangkah mendekati ceruk itu, memandangi lekat-lekat seolah lambang itu adalah sesuatu paling menakjubkan di dunia.

 “Apa kau tahu sesuatu?” tanya eve.

 “Ah!” Tiba-tiba Sakura berseru, yang mengejutkan kedua rekannya. “Bunga di lambang ini berbeda dengan yang ada di motif keramik!”

Eve ikut mengamati bunga di lambang itu. Terlihat mirip, tapi dia bisa merasakan ada yang berbeda dengan bunga pada motif yang dia lihat di rumah tamu.

 “Lihat, bunga di lambang ini kelopaknya lebih sedikit dan bagian putiknya tidak lebar,” jelas Sakura seraya menyentuh bagian atas ceruk itu. “Sedangkan bunga pada motif keramik memiliki lebih banyak kelopak dan bagian putik yang lebih lebar.”

“Jadi yang kita lihat selama ini adalah dua motif yang berbeda?” Ayato menyimpulkan.

Kening Sakura berkerut dalam, kelihatannya dia sedang memikirkan sesuatu. “Seharusnya begitu, tapi rasanya ada yang aneh–”

Gratak

Belum selesai Sakura berbicara, terdengar bunyi berderak dari dalam ceruk. Eve merinding ketika membayangkan jika suara itu berasal dari dinding ruangan yang hendak roboh, tapi sebelum dia sempat melakukan sesuatu, hal lain terjadi.

Ceruk itu bergeser seperti sebuah gerbang. Perlahan-lahan membawa lambang itu ke sisi ruangan yang lain.

Lalu yang tampak di belakang gerbang itu lebih mengejutkan lagi. Sebuah ruangan lain yang kira-kira besarnya sama dengan ruangan tempat mereka berada.

Eve memandang Sakura, tercengang. “Apa kau melakukan sesuatu?” tanyanya.

Sakura hanya menggeleng. Terlihat sama bingungnya. “Tidak. Ceruk itu tiba-tiba bergerak sendiri.”

Ayato mengintip ke dalam ruangan itu. “Hei, sepertinya ada sesuatu di dalam sana. Seperti batu besar dengan banyak tulisan.”

Eve ikut mengintip di sebelah Ayato. Dia benar, ada sesuatu seperti batu di ruangan itu, yang segera saja mengusik rasa ingin tahunya.

 “Bagaimana kalau kita masuk?” tanya Eve pada kedua rekannya, meminta persetujuan.

Tidak ada yang menjawab. Alih-alih, Ayato malah balik bertanya. “Kau yakin? Kita bahkan sama sekali tidak punya petunjuk mengenai ruangan ini.”

 “Kurasa, tidak ada salahnya mencoba,” kata Sakura. “Soalnya batu besar di dalam itu juga menarik perhatianku.”

Eve senang ada yang setuju dengannya. Jadi mereka bertiga masuk, Eve paling depan. Di ruangan baru itu juga terdapat batu-batu bercahaya di sepanjang dinding. Lalu batu besar yang terletak pada dinding seberang pintu masuk, tingginya kira-kira dua kali orang dewasa dan terdapat pahatan berupa tulisan di sana.

 “Apa yang tertulis di situ?” tanya Ayato.

 “Susunan hurufnya terlihat aneh. Apa ini bahasa asing?” tambah Sakura.

Memang. Susunan huruf pada batu besar itu terlihat berbeda dengan bahasa yang mereka gunakan. Tapi jika dibaca pelan-pelan, Eve bisa melihat bahwa pahatan itu ditulis dengan bahasa yang sama.

 “Ini ejaan lama,” Eve menyimpulkan. “Cara penulisan seperti ini sudah tidak dipakai sejak seratus tahun yang lalu, tapi jika dibaca dengan cara tertentu, maknanya sama seperti ejaan yang digunakan sekarang.”

 “Jadi … kau bisa membacanya?” tanya Ayato.

 “Kurang lebih, akan kucoba.” Eve menelusuri tulisan pada batu itu. Butuh tiga kali pembacaan hingga dia bisa memahami maksud dari tulisan kuno itu, yang rupanya, isinya sama sekali di luar dugaannya.

 “Ini ramalan Delphi ….” desah Eve tegang. “Dan isinya tidak begitu bagus.”

Dia bisa mendengar kedua rekannya juga terkejut. Sakura yang lebih dulu bertanya. “Mengapa kamu bisa seyakin itu?”

Eve berbalik, dia yakin saat ini wajahnya pasti kelihatan pucat. “Kalian pasti juga akan berpikir seperti itu jika membaca larik pertama. Mau kubacakan?”

 “Yah, karena kita sudah di sini … tolong, ya.” Ayato mempersilakan.

Eve membaca tulisan itu sekali lagi, hingga dia benar-benar yakin apa yang tertulis di sana memang sebuah ramalan. Kemudian dia menarik napas dalam-dalam dan mulai membaca keras-keras.

Ketika waktu yang dikeramatkan tiba dan seluruh kepingan bersatu, biarkan darah sakti sang martir membasahi tanah sebagai penebusan dosa. Bila sang guntur menggelegar, niscaya segalanya akan berubah.”

Seketika, bulu kuduk Eve berdiri. Ini kali ketiga dia mendengarkan ramalan Delphi, dan entah kenapa, ramalan kali ini terasa lain. Mungkin perasaan aneh itu muncul karena dia membaca sendiri larik-larik lamaran itu dari sumbernya, barangkali. Namun, baris pertama dari ramalan itu juga mengganggunya.

 “Hei, baris pertama itu ….” Celetukan Ayato segera membuyarkan lamunan Eve. “Sama persis seperti dua ramalan sebelumnya, ‘kan?”

Entah kenapa, ruangan itu jadi terasa lebih dingin. Seolah-olah angin yang amat kencang sedang mencoba menerobos masuk lewat dinding gua, tapi mungkin itu hanya perasaan Eve saja.

Yang lebih penting, Eve ingin segera keluar dari tempat itu.

 “Hei, ayo keluar. Urusan kita sudah selesai, ‘kan?” kata Eve cepat-cepat. “Apapun yang kita lihat di sini, kita bahas nanti saja.”

Tidak ada yang menolak, barangkali memang tidak ada yang ingin berlama-lama di ruangan itu. Jadi mereka bertiga kembali. Saat mereka berpindah ke ruangan sebelumnya, ceruk gerbang itu menutup dengan sendirinya, kembali terlihat seperti dinding bercorak biasa.

Ayato memandangi gerbang yang baru menutup itu agak lama. “Satu lagi hal aneh terjadi, kurasa?”






Tidak ada yang bicara hingga mereka kembali ke lereng gunung. Waktu makan siang sudah lama berakhir dan orang-orang kembali sibuk menanam pohon.

 “Aku akan membantu warga desa sedikit lagi,” kata Ayato. “Kalian mau ikut? Tapi jangan memaksakan diri, ya, Eve.”

Eve baru hendak membuka mulut ketika dia mendengar suara Mei yang memanggil mereka bertiga. Anak itu berlari dari kaki gunung seraya melambaikan sesuatu yang terlihat seperti amplop surat.

 “Akhirnya ketemu juga. Dari tadi aku mencari-cari kalian,” ucap Mei dengan napas terengah. “Ini, ada surat yang datang ke rumah tamu, untuk kalian.”

Mei menyerahkan dua buah amplop surat pada Ayato.

Eve melirik sedikit pada salah satu amplop surat, ada logo resmi Biro Layanan Pahlawan di sana. Sedangkan, amplop lainnya hanya berisi nama pengirim.

Ayato membuka amplop dari Biro Layanan Pahlawan dahulu, lalu dengan cepat membaca isinya. Dia memandang amplop lainnya sebentar, sebelum berkata, “Hei, kalian ingat waktu aku juga mendapatkan dua surat sekaligus seperti saat ini?”

 “Saat kita pergi ke benua Topaz, ‘kan? Misi ganda dari Tuan Andrew,” kata Sakura.

Ayato mengangkat amplop yang dia terima. “Betul, yang kali ini juga sepertinya sama seperti waktu itu. Coba kalian lihat nama pengirimnya.”

Misha Chernenko. Eve tahu nama itu. “Jadi, tugas kita selanjutnya adalah ….”

 “Misi ganda dengan Pahlawan dari Utara.”

***
Arc VI. The Sacred Sign
End


To be continued to
Arc VII. The Femme Fatale

coming soon...

***

Published on: 24/11/2024

1308 words
-Eri W. 🍁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro