39. In Search of Certain Someone
VI. The Sacred Sign
Belakangan ini ada yang membebani pikiran Eve.
Bukan, bukan soal Ayato. Eve sudah memutuskan untuk tidak akan ambil pusing soal apa yang akan terjadi atau bagaimana cowok itu akan bertindak. Soalnya, tidak akan ada habisnya!
Ini tentang jimat liontin yang mereka terima dari Bu Mutti. Sebenarnya, Eve sudah merasa aneh waktu Bu Mutti menunjukkan rancangan jimat itu padanya tempo hari.
"Jadi, kali ini kenapa?"
Ada satu masalah lagi. Sekarang Ayato tahu sedikit 'kelemahan' Eve. Yah, sebenarnya bukan masalah besar. Hanya saja, itu membuat Eve hilang konsentrasi setiap Ayato menyinggungnya.
Eve tidak menjawab. Dia terlalu sibuk mengamati liontin tiga warna dari Bu Mutti itu, yang sejak tadi terus berada di tangannya. Dia pernah melihat jimat yang sama seperti itu sebelumnya. Eve yakin akan hal itu. Dan jimat yang dilihat Eve adalah milik ....
"Ada hubungannya dengan orang itu?" Ayato kembali bertanya.
"Berisik!"
Sepertinya balasannya terlampau keras. Eve tidak berniat membentak, tapi sudahlah. Pada akhirnya dia menyerah dan merebahkan diri di lantai karavan.
"Aku yakin itu liontin yang sama, tapi bagaimana bisa!?" erang Eve. Liontin tiga warna itu masih dia genggam di tangannya.
"Hei, maaf kalau aku membuatmu kesal, atau aku terlalu ikut campur." Ayato mengintip dari bangku kusir. "Tapi tidak ada gunanya mengeluh sendirian seperti itu, 'kan? Sebenarnya ada apa dengan liontin itu?"
Ayato benar. Tidak akan ada yang berubah jika Eve terus mengeluh dan mencoba mencari tahu melalui ingatannya.
Eve membenarkan posisi berbaringnya, menghindari terpaan sinar matahari yang masuk lewat jendela karavan. "Orang itu ... dia juga punya liontin yang sama dengan kita."
Terdengar suara berderak. Sakura melompat masuk dari kebun atap melalui sisi jendela, matanya berkilat penasaran. "Ada apa? Apa ada sesuatu dengan orang itu?"
Ayato tidak berkata apa-apa, tapi dia terus memandang Eve dari bangku kusir. Terlihat penasaran sama seperti Sakura.
Mau tak mau Eve tersenyum kecil. Ini tentang orang itu, laki-laki misterius yang muncul di desa Eve tujuh tahun lalu. Yang entah bagaimana, Eve jadi bisa menggunakan sihir setelah bertemu dengannya, yang kepergiannya sama misteriusnya seperti kedatangannya.
Itu sudah lama sekali, dan Eve hampir saja melupakan orang itu. Seandainya dia memilih menyimpan cerita itu seorang diri, bukan membaginya pada kedua kawan barunya itu, Eve pasti sudah kehilangan harapan.
Lagipula, dia tidak bisa mengabaikan perasaan familiar yang belakangan ini dia rasakan.
"Dia punya liontin yang sama persis, aku masih ingat bentuknya." Eve memulai, sementara Ayato dan Sakura menyimak dengan penuh perhatian. "Yah, mungkin aku yang terlalu berlebihan. Bentuk liontin seperti itu bukan milik Bu Mutti seorang, 'kan? Bisa jadi dahulu ada seseorang yang merancang bentuk yang sama, hanya kebetulan saja orang itu memilikinya."
Kemudian Eve teringat sesuatu. Rasanya dia belum pernah menceritakan yang ini.
"Ah, satu hal lagi. Orang itu bilang padaku, katanya dia berasal dari Yamato," tutur Eve.
Tentu saja fakta baru itu membuat Sakura terkejut. "Eh? Sungguh!? Kalau begitu, kenapa waktu itu kita tidak ...."
"Mencari petunjuk soal dimana dia berada?" lanjut Eve. Dia merilik Ayato. "Mustahil. Ingat kenapa waktu itu kita tidak bisa berlama-lama di Yamato?"
"Kenapa itu jadi salahku?" protes Ayato. "Tapi Eve, sebenarnya ada satu hal yang tak kumengerti. Kau ingat semua hal tentang orang itu, tapi tidak dengan nama dan wajahnya?"
Pertanyaan itu juga terus berputar di kepala Eve selama tujuh tahun ini. Eve punya ingatan yang sangat baik, dia ingat hampir semua hal yang terjadi padanya, tapi mengapa dia justru tidak ingat pada seseorang yang penting baginya?
Tapi Eve punya dugaan mengenai hal itu. "Dia pasti menggunakan elixir memori."
"Tepatnya, apa itu?" tanya Ayato.
"Ramuan penghilang ingatan. Rasanya manis dan kelihatannya seperti minuman biasa, jadi kadang kita tidak sadar waktu meminumnya," jelas Eve. "Dia pasti punya satu, entah darimana, dicampur dalam teh yang kuminum pagi hari sebelum dia menghilang."
"Mengapa kamu bisa begitu yakin?" Kali ini Sakura yang bertanya.
"Itu cuma dugaan, tapi hampir tidak mungkin dia menggunakan metode manipulasi memori lainnya." Eve telah bangkit dari posisi berbaringnya. "Agak menyebalkan. Kita dapat mengatur ingatan apa saja yang ingin dihapus dengan elixir memori, dan dia pasti secara spesifik mengatur agar aku lupa pada wajah dan namanya ...."
Eve terdiam. Kalau dipikir-pikir, rasanya aneh sekali.
"Hei, boleh aku tanya pendapat kalian?" Eve kembali membuka suara. "Anggaplah kalian adalah orang itu. Seandainya kalian berteman dengan anak kecil yang belum pernah kalian temui sebelumnya, lalu berjanji akan menemuinya lagi suatu hari nanti. Apa kalian juga akan mengatur agar anak itu melupakan nama dan wajah kalian?"
Sakura menempelkan jari di dagunya, seperti sedang berpikir. "Kurasa itu tidak masuk akal, kita pasti ingin selalu diingat, 'kan? Mengapa harus sengaja menghapus ingatan seperti itu?"
"Aku setuju." Ayato ikut menambahkan. "Sebenarnya cerita itu agak aneh. Orang itu ingin diingat, tapi dia tidak mau identitasnya ketahuan. Maaf, mungkin ini agak jahat, tapi kenapa dia tidak menghapus seluruh ingatanmu tentang dia saja?"
"Sebenarnya, aku juga sempat berpikir begitu," Eve menambahkan. "Kenapa dia sengaja hanya menghapus bagian tertentu ... seperti main tebak-tebakan saja.
"Kalau dia melakukan itu karena suatu hari akan menemuiku lagi, maka dia terlambat, lebih baik aku lupakan saja sekalian. Lagipula, tujuh tahun itu terlalu lama!" Eve meninggikan suaranya di akhir.
Karavan berguncang, Sherly di kuda meringkik. Ayato berseru, "Ah, maaf, Sherly!"
"Tapi apa benar begitu?" Sakura kembali bertanya. "Bukankah hingga saat ini kamu masih menunggunya, Eve?"
Eve hanya menarik napas panjang. "Aku bohong kalau bilang tidak. Soalnya, bagaimanapun, dia itu ...."
"Kalau begitu, kau saja yang cari?" Ayato memotong. Nampaknya dia sudah kembali menarik Sherly ke jalur yang benar. "Barangkali ada petunjuk lain yang bisa dipakai?"
"Bodoh, kalau semudah itu, pasti sudah kulakukan bertahun-tahun lalu!" gerutu Eve, tapi dia tampak memikirkan sesuatu. "Sekarang usianya mungkin sekitar akhir duapuluh-an."
Hening. Seolah keduanya masih menunggu lanjutan cerita Eve.
Tapi Eve menggeleng. Dia segera mengalihkan pembicaraan. "Nah, bukankah ada hal lain yang harus dibereskan? Ayato, pinjam surat dari Biro Layanan Pahlawan itu."
"Ah, tunggu sebentar." Ayato merogoh saku celananya. Surat itu datang tidak lama setelah mereka menyeberangi gerbang dimensi. Kali ini bukan misi ganda bersama pahlawan lain. Bisa dibilang, tujuan mereka saat ini adalah tugas resmi pertama Ayato di dunia ini.
Eve meraih surat yang disodorkan Ayato dari bangku kusir. Dia membaca isinya: Kepada yang terhormat, Tuan Pahlawan Timur. Belakangan ini warga Kima dibuat resah oleh tanah longsor yang tiba-tiba terjadi di wilayah pabrik tembikar, kami menduga terdapat keterlibatan monster dalam kejadian ini. Besar harapan kami agar Tuan Pahlawan mau meluangkan waktu untuk memeriksa kota kami. Tertanda, walikota Kima, Ringalia wilayah selatan.
Sebenarnya Eve juga sudah membaca surat itu. Karena itu, dia menyuruh Ayato mengemudikan karavan melewati jalan besar yang membawa mereka ke wilayah selatan Kekaisaran Ringalia, seperti yang tertulis di surat itu.
"Tapi sebentar lagi malam, berisiko kalau kita tetap melanjutkan perjalanan." Eve kembali menyimpan surat itu ke dalam amplop, lalu menghampiri Ayato. "Di depan ada bukaan, kita bisa istirahat di sana."
Ayato mengangguk. "Tapi kau belum lupa kalau aku sama sekali tidak tahu jalan menuju desa Kima, 'kan?"
"Besok biar aku yang pegang kemudi," janji Eve. "Jika kita berangkat setelah matahari terbit, kita akan tiba waktu tengah hari."
Ketika matahari hampir menghilang di ufuk barat, karavan mereka telah berhenti di bukaan jalan yang cukup lebar.
"Jadi, hari ini kita makan malam di bawah bintang-bintang lagi?"
-----
Published on: 13/10/2024
1194 words
-Eri W. 🍁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro