38. Reminiscence
V. The Cradle of Gentleness-last-
Ayato tidak salah dengar.
Perlu usaha ekstra untuk membujuk Bu Mutti agar mau menerima harta yang diambil dari ruang penyimpanan labirin. Akhirnya, Bu Mutti membagi harta itu, setengah untuk dirinya, dan setengah lagi untuk rombongan Ayato.
"Ini sudah lebih dari cukup untuk kami berdua. Sisanya, anggap saja sebagai tanda terima kasih dariku, ya." Begitu kata Bu Mutti.
Karena sudah diberi, tentu saja mereka bertiga menerimanya.
Setelah semalam menginap di rumah Bu Mutti, waktunya melanjutkan perjalanan. Ayato dan kawan-kawan akan kembali ke Ingla dahulu, baru kemudian pergi ke benua Zamrud dengan Gerbang Migrasi.
Eden mengawal mereka hingga tiba di tepi kaki gunung. Anak naga itu kembali mengusapkan moncongnya pada Ayato, sebagai ucapan selamat tinggal. Sekarang, Ayato menganggap perlakuannya itu imut.
Mereka singgah sebentar di kota Bern untuk membeli perlengkapan dan perbekalan. Harus diakui, harta pemberian Bu Mutti ternyata amat membantu, terlebih, ketika mereka menemukan bahwa Sherly punya nafsu makan yang besar.
Kali ini, perjalanan akan terasa lebih lambat karena mereka menggunakan kereta kuda, bukan kereta api seperti sebelumnya. Mereka juga harus menaikkan kereta kuda ke atas kapal yang melintasi selat Dover.
Ketika mereka bertiga tiba di Ingla, masih ada banyak waktu sampai Gerbang Migrasi terbuka.
Saat itu Ayato yang mengemudikan kereta. Dia tengah memikirkan apa yang harus mereka lakukan sambil menunggu Gerbang Migrasi, ketika Eve memanggil.
"Bisakah kita pergi ke suatu tempat dahulu?" Nada bicara Eve lebih lembut dari biasanya, itu membuat Ayato bertanya-tanya. "Biar aku yang pegang kemudi."
Eve tidak berkata apa-apa lagi. Ayato juga merasa kalau dia sedang tidak ingin diajak bicara, jadi mereka hanya diam saja sampai Eve akhirnya memperlambat laju kereta.
Eve melongok ke dalam karavan. "Aku ada urusan di sini, cuma sebentar, kok."
Ayato keluar untuk melihat kemana Eve membawa mereka. Eve memarkir karavan di sebelah kios bunga kecil, dan di seberangnya, Ayato melihat tempat yang akan dituju Eve, kompleks pemakaman umum.
Eve keluar dari kios bunga sambil menenteng dua buah buket. Saat itu, Ayato melihat tatapannya berubah sendu.
"Mau ikut?" tanya Eve.
Ayato tidak menjawab. Tapi nampaknya Eve tidak peduli, dia terus saja berjalan ke arah pemakaman. Dari gesturnya, kelihatannya dia juga tidak keberatan jika diikuti.
Sakura juga sudah turun dari karavan dan bergabung dengan Ayato, mereka mengikuti Eve. Kompleks pemakaman itu sangat sepi. Tidak ada orang selain mereka. Aura sedih yang menggantung di udara terasa membebani bahu Ayato. Mereka terus berjalan, hingga Eve berhenti di depan dua buah batu nisan yang berbentuk sama.
Eve berlutut di depan batu nisan kembar itu, diletakkan buket bunga yang baru dibelinya di atas masing-masing batu. Ayato membaca nama pada masing-masing batu, di sana tertulis AMELIA SHRINES dan HOWARD SHRINES.
"Waktu ibu meninggal ...." Ayato sedikit terlonjak karena Eve tiba-tiba bicara. "Ayah bilang, petak tanah di sebelah itu untuk dirinya. Mungkin waktu itu dia sudah punya firasat, karena ayah menyusul lima tahun kemudian."
Ayato teringat pada cerita Eve waktu di Memphir.
Sambil menunjuk petak tanah kosong di sebelah makam orangtuanya, Eve melanjutkan. "Jadi petak tanah di sebelah sini juga, untukku."
Ayato merinding, dia tidak suka cara bicara Eve. Sakura ikut berlutut, diusapnya bahu Eve sambil berkata tegas. "Tidak dalam waktu dekat, ya?"
Eve menatap cewek itu. Dia tidak berkata apa-apa, tapi ada sedikit ekspresi terkejut di wajahnya. Dia menghela napas. "Yah, tidak ada yang bisa menebak, 'kan?" katanya.
Ayato juga ikut berlutut. Perjalanan mereka baru dimulai, tapi dia tidak suka kata-kata Eve yang seolah mengisyaratkan bahwa perjalanan mereka akan berlangsung singkat. Seolah dia akan pergi paling dulu.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak," kata Ayato. "Atau kau mau mengingkari janji yang kau buat dengan orang itu?"
"Orang itu?" tanya Eve.
"Orang yang datang ke desamu tujuh tahun lalu."
Ketika menyadari siapa yang dimaksud Ayato, seketika mata Eve membulat. "Kau--Ini tidak ada hubungannya dengan dia, tahu!"
Mulanya, Ayato pikir, Eve akan marah, tapi tampaknya tidak seperti itu. Ada semburat merah di pipinya, dia juga menghindari kontak mata dengan Ayato.
"Tapi itu benar, 'kan." Ayato jadi semakin bersemangat. "Bukannya dia sudah janji akan menemuimu lagi?"
"Bukan urusanmu," jawab Eve ketus.
Sakura, yang sejak tadi menyimak dengan raut penasaran, langsung memotong. "Siapa? Apa aku ketinggalan cerita seru?"
Eve menatapnya sekilas. "Akan kuceritakan, tapi jangan di sini." Dia berdiri. Mengusap pelan ujung batu nisan dan berbisik, "Aku pergi dulu."
Setelah urusannya selesai, Eve mengambil langkah menuju pintu keluar pemakaman. "Ayo kembali, Sakura. Aku berutang satu cerita padamu."
Sepertinya Eve memang marah, dia bahkan tidak bicara pada Ayato sepanjang sisa siang itu.
Setelah kunjungan singkat itu, mereka kembali memacu karavan. Mereka tiba tepat waktu, ketika Gerbang Migrasi hampir terbuka. Tetapi kali ini, mereka harus menunggu giliran sedikit lebih lama, karena mereka membawa karavan.
Rupanya sudah ada seseorang yang menunggu mereka.
"Guru?" Eve yang pertama menyadari sosok lelaki itu.
Ketika Alastor mendekati karavan, mereka bertiga turun. Alastor melirik singkat pada Sheryl, sebelum memakukan pandangan pada tiga anak di depannya.
"Jadi, semua lancar? Imbalan dari Vogel cukup mengesankan, bukan?" tanya Alastor.
"Terlalu mengesankan sampai rasanya aku ingin tinggal di gua saja." Eve melirik sekilas pada Ayato. Kemudian, dia merendahkan suaranya. "Tapi, Guru juga tahu soal Eden?"
Alastor hanya mengangkat bahu tak acuh. "Apapun wujud asli anak itu, tidak ada masalah selama dia tidak merugikan orang lain."
Dia beralih pada Sakura. "Kau kelihatan menikmati," katanya.
Sakura mengangguk bersemangat. "Iya, aku senang sekali."
"Bagus." Alastor tersenyum kecil. "Dan, Eve, saat ini kubiarkan kau melakukan apapun yang kau inginkan, tapi jangan lupakan apa yang kuminta darimu setelah ini."
Eve cemberut. "Bisakah Guru tidak membahas itu di saat begini?"
Alastor tampak tidak peduli. "Yah, semoga perjalanan kalian lancar. Apa yang menunggu kalian di misi berikutnya, sudah pasti jauh lebih sulit daripada yang telah kalian hadapi."
Terakhir, dia beralih pada Ayato. "Lalu, si pendatang baru ini, kuharap kau tidak membuat masalah."
"Kapan aku membuat masalah?" bantah Ayato.
"Kata orang yang hampir mengubur kita bertiga hidup-hidup?" potong Eve.
"Kau masih dendam soal itu, ya ...."
Alastor berdeham. Perhatian kembali terpusat padanya. "Yah, kulihat kalian baik-baik saja, rasanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Terdengar gemuruh dari arah Gerbang Migrasi. Pertanda gerbang penghubung antar tempat itu akan segera beroperasi.
"Tuh, sebaiknya kalian cepat kalau tidak mau tertinggal." Alastor mengerling ke arah antrian di depan gerbang. "Nanti akan kukirim surat. Eve, pastikan kau membalas suratku, kalian berdua juga harus mengingatkannya."
"Ya, baiklah ...." jawab Eve malas.
Alastor menepuk pundak mereka bertiga, masing-masing sekali. "Sampai jumpa, kalau begitu. Kudoakan perjalanan kalian lancar."
Eve dan Sakura naik duluan ke karavan. Ketika Ayato hendak menyusul kedua temannya, mendadak Alastor menarik bahunya.
Pria itu berbicara di dekat telinga Ayato, cukup pelan sampai dua anak lain tidak akan bisa mendengarnya. "Kalau kau buat mereka berdua menangis, kubunuh kau."
Ayato menelan ludah. Sorot mata Alastor amat serius. "Tidak akan, aku janji," katanya pelan.
Sorot mata Alastor melembut. Perlahan, dia melepaskan cengkeramannya. "Kau bisa dipercaya. Semoga beruntung."
Setelah Ayato naik, karavan mereka kembali maju, bergabung dengan antrian karavan lain. Sakura meneriakkan ucapan sampai jumpa pada Alastor, yang masih mengawasi mereka hingga dia hilang ditelan kerumunan.
Sebentar lagi giliran mereka memasuki gerbang. Eve, yang bertugas memegang kemudi kali ini, melongok dari tempat kusir dan bertanya pada Sakura. "Kau yakin tidak ingin mampir ke Yamato dulu?"
Sakura menggeleng. "Tidak apa, aku sudah memutuskan untuk menceritakan apa saja yang kulihat sepanjang perjalanan, sewaktu pulang nanti. Aku tidak bisa pulang sekarang."
Eve beralih pada Ayato. "Dan kau, kuharap kau tidak membuat masalah lagi ke depannya," katanya.
"Bisa hentikan itu?" gerutu Ayato.
Dari depan, Ayato bisa melihat cahaya dari Gerbang Migrasi yang semakin terang. Setelah mereka melewati gerbang itu, tentu sudah tidak ada jalan kembali.
***
Arc V. The Cradle of Gentleness
End
To be continued to
Arc VI. The Sacred Sign
coming soon...
***
Published on: 09/04/2022
1249 words
-Eri W. 🍁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro