Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37. The Cradle of Gentleness

V. The Cradle of Gentleness

Sama seperti di labirin, dwarf di kawah itu akan meleleh ketika kepalanya ditebas. Yang jadi masalah adalah jumlah mereka.

Ayato merasa dia sudah menebas puluhan dwarf, tapi jumlah mereka rasanya tidak berkurang. Kalau begini, hanya tinggal menunggu waktu sampai mereka kelelahan.

Tepat saat Ayato merasa mereka tidak punya harapan lagi, dia mendengar suara kepakan berat di udara.

Fajar belum terbit sepenuhnya. Dan di tengah-tengah keremangan kaki gunung itu, dia melihat benda gelap besar melintas di atas mereka, ukurannya kira-kira sedikit lebih besar dari seekor kuda.

Benda itu jelas menakuti para dwarf, karena mereka langsung menjerit dan lari terbirit-birit. Ketika benda itu mendarat tepat di depan mereka bertiga, Ayato bisa melihat sayap hitamnya yang terkembang.

Benda-- bukan, makhluk itu, seekor naga.

Mulanya, Ayato merinding. Tapi ketika dia melihat kilatan yang tidak asing pada mata sang naga, Ayato langsung mengenalinya.

"Eden?"

Naga itu menggeram pelan. Dia melingkarkan tubuhnya hingga menghalau serangan para dwarf. Rupanya, naga adalah makhluk yang amat sangat mengerikan di mata dwarf, karena mereka semua langsung mundur ke ujung kawah.

Eve tertawa. "Tentu saja, naga adalah monster agung. Kau hebat, Eden!"

"Monster, apa?" tanya Ayato.

"Kasta tertinggi para monster," jelas Eve. "Jika kau berada di dekat seekor naga, tidak akan ada monster yang sudi mengganggumu, mereka tidak mau cari mati."

Eden kembali menggeram, kali ini terdengar seperti persetujuan. Kemudian, dia kembali merentangkan sayapnya dan terbang perlahan ke ujung kawah, sambil sesekali menoleh ke belakang. Ayato menangkap itu sebagai sinyal agar mereka mengikutinya.

Kaki gunung perlahan semakin terang seiring mereka berjalan. Hingga Ayato melihat puncak cerobong asap yang tak asing, Bu Mutti juga sudah menunggu mereka di halaman depan.

"Selamat datang, kalian semua memang keren!" Bu Mutti langsung menyalami mereka bertiga.

Eden mengambil tempat di sebelah ibu angkatnya. Ayato agak berjengit ketika anak naga itu mengusapkan moncongnya ke bahu Ayato.

Bu Mutti tertawa. "Wah, sudah kuduga, Eden akan menyukaimu," katanya.

Ayato juga bisa melihat rona bersahabat di mata naga kecil itu, dia memberanikan diri mengelus balik. Eden menggeram pelan. Kemudian, tubuhnya menyusut hingga kembali ke wujud manusianya.

Eden mendatangi ibu angkatnya, memeluknya singkat dan mengangguk pada rombongan Ayato.

"Nah, kalian pasti lelah, ayo masuk dan beristirahat," ajak Bu Mutti sembari menggandeng tangan Eden.

Tidak ada yang membantah, istirahat memang sesuatu yang amat mereka butuhkan saat ini.

Sembari berjalan, Eve merogoh tasnya. "Anu, Bu Mutti, pialanya?"

Bu Mutti mengangguk. "Iya, terima kasih."

Eve menyerahkan Piala Ibu Burung itu. Bu Mutti menatap piala itu dengan tatapan rindu, diusapnya ukiran burung di badan piala. Kemudian, dia menghembuskan napas panjang.

"Sudah diputuskan," katanya. "Maaf, aku harus membersihkan piala ini dulu, tapi kalian boleh ikut, kok, kalau ingin melihat."

Mereka semua mengikuti Bu Mutti ke bagian belakang rumah. Banyak batuan berukuran besar di tempat itu. Bu Mutti meletakkan piala Ibu Burung di tanah, lalu mengambil sebongkah batu yang cukup besar. Kemudian, dihantamnya piala tersebut hingga pecah berkeping-keping, diiringi bunyi yang mengerikan.

Ayato ternganga, sepertinya kedua temannya juga menunjukkan ekspresi yang sama.

Bu Mutti menyadari reaksi itu, diusapkan belakang kepalanya. "Ahaha ... maaf ya, padahal kalian sudah sudah payah mengambilnya, tapi inilah yang harus dilakukan."

Bu Mutti kembali memandangi pecahan-pecahan piala itu. "Piala Ibu Burung adalah pelindung keluarga Vogel. Tapi jika piala ini tidak bisa diwariskan, kekuatannya akan terbuang sia-sia."

"Makanya, piala ini harus dihancurkan, lalu pecahannya bisa dibuat jadi jimat pelindung atau hiasan dinding." Sambil bicara begitu, Bu Mutti berlutut dan memungut sisa-sisa pecahan terbesar, lalu menyimpan pecahan-pecahan itu di tas kulit kecil.

"Sudah selesai. Mari pulang dan sarapan bersama." Bu Mutti berdiri dan menyimpan tas kulit itu.


Pagi itu adalah waktu istirahat paling nyaman yang pernah dirasakan Ayato selama beberapa waktu terakhir ini. Dia sudah nyaris melupakan rasa cemasnya terkait ramalan itu. Lalu berkat Eden, rasa takutnya pada naga juga sudah berkurang.

Bu Mutti meminta mereka tinggal sampai besok pagi. Seharian itu, tidak ada hal khusus yang dilakukan Ayato, tidak seperti kedua temannya yang tampaknya sudah menemukan kesibukan lain.

Sakura bilang, dia menemukan bunga yang menarik di petak bunga milik Bu Mutti, dan si empunya sudah mengizinkan Sakura untuk mengambil beberapa bibit agar dia bisa menanamnya sendiri, Sheryl sudah dibawa ke halaman depan, bisa dipastikan Sakura akan sibuk di kebun atapnya hingga sore hari.

Sedangkan Eve, dia dimintai tolong Bu Mutti untuk membantunya membuat sesuatu. Mereka berdua sudah sibuk di ruang kerja Bu Mutti sejak siang.

Karena tidak ada yang bisa dia lakukan, Ayato hanya berjalan-jalan saja di sekitar kaki gunung. Dia kembali ke celah berbatu tempat Bu Mutti menghancurkan piala tadi, dan duduk bersandar di sana.

Sekarang setelah dia sendirian, berbagai hal kembali muncul dalam benaknya. Dia teringat akan perkataan Rosa waktu itu, bahwa mereka, para pahlawan hanya orang asing di dunia ini.

Orang asing. Ayato tidak akan menyangkal, toh, dia memang tidak punya hubungan apapun dengan dunia ini. Waktu pertama kali dipanggil, Ayato memang berpikir seperti itu. Tapi sekarang, pemikiran itu membuatnya merasa kesepian.

Ayato menganggap Eve dan Sakura adalah temannya, tapi bagaimana jika mereka tidak berpikir demikian? Setelah perjalanan ini berakhir, apakah mereka akan kembali menjadi orang asing?

Selepas dari Memphir, mereka memang memutuskan untuk bersama, tapi tentu saja bukan untuk waktu yang lama. Eve dan Sakura adalah penduduk dunia ini, mereka bisa kembali kapan saja mereka ingin. Sementara Ayato, tidak ada tempat kembali baginya di dunia ini.

Ayato bisa mengerti perasaan Rosa. Mereka memang orang asing di dunia ini.

"Ah, ternyata kau di situ."

Hampir saja Ayato terlonjak. Dia terlalu larut dalam lamunan sampai tidak menyadari kehadiran Bu Mutti, yang langsung duduk di sampingnya.

"Aku mencarimu. Ini, terimalah, tinggal kau yang belum dapat." Bu Mutti menyerahkan sebuah kalung dengan bandul berbentuk prisma tiga warna di ujungnya. "Ini jimat keselamatan, dibuat dari pecahan piala Ibu Burung, masing-masing untuk kalian bertiga. Sekarang mendekatkan, akan kujelaskan keistimewaan jimat ini."

Ayato mencondongkan tubuhnya ke arah Bu Mutti, yang melanjutkan penjelasan. "Kalung ini bukan sekadar jimat biasa, tapi bisa juga dijadikan petunjuk mengenai keberadaan dan kondisi kalian bertiga. Tiga warna pada bandul, masing-masing mewakili kalian."

Ayato memperhatikan warna pada bandul itu, hijau, biru, dan merah. Jika diperhatikan, dia bisa melihat titik gelap kecil di tengah setiap warna. Titik warna hijau berada di tengah, sedangkan titik warna biru dan merah menunjuk ke arah rumah Bu Mutti.

"Bila warnanya menggelap, artinya dia sedang terluka, atau sedang tidak baik-baik saja," lanjut Bu Mutti.

Ayato mengamati kalung itu. Itu benda yang hebat, tapi tetap tidak bisa mengurangi beban pikirannya.

Bu Mutti sepertinya menangkap keresahan Ayato. Dia bertanya, "Apakah ada yang membebani pikiranmu?"

Ayato mengerjap. Dia tidak ingin membuat Bu Mutti cemas. "Ah, tidak apa-apa. Bukan hal yang penting."

"Hm, begitu. Baiklah, tapi tolong jangan memaksakan diri, ya." Bu Mutti memang bilang begitu. Tapi Ayato merasa kata-katanya itu membuat dia jadi sedikit tenang, mungkin tidak apa-apa jika dia sedikit berbagi.

"Sebenarnya, aku sedang memikirkan sesuatu ...."

Bu Mutti mendengarkan cerita Ayato dengan sabar. Dia sama sekali tidak menyela ketika Ayato menceritakan keresahannya, mengenai dirinya yang mungkin tidak punya tempat di dunia ini.

"Kau sungguh berpikir seperti itu?" tanya Bu Mutti setelah cerita Ayato selesai.

"Yah, mengenai kalau aku ini orang asing, kurasa--"

"Bukan, bukan, mengenai kalian bertiga yang mungkin tidak bisa terus bersama?" sela Bu Mutti.

Ayato diam sebentar, sebelum mengangguk.

Ada jeda sebentar sebelum Bu Mutti menjawab. "Hei, tidak baik terus memikirkan hal yang tidak pasti. Lagipula, apa kau punya bukti kalau perasaanmu selama ini tidak berbalas, hm?"

"Bukti? Tapi--"

Bu Mutti kembali menyela, "Kau tahu, memelihara pemikiran buruk tidak akan memberikan manfaat apapun padamu. Fokus saja pada apa yang terjadi saat ini. Mengenai hal yang akan terjadi di masa depan, simpan itu untuk nanti."

Perkataan Bu Mutti berhasil menenangkan pikiran Ayato. Dia benar, tidak ada gunanya memikirkan hal yang tidak bisa dikendalikan.

Barangkali segala urusan dunia lain ini mulai membuat Ayato lelah, tidak heran dia jadi memikirkan hal-hal yang tidak pasti. Namun, dia lega setelah menceritakan apa yang membebani pikirannya pada Bu Mutti. Cara perempuan itu bicara begitu lembut dan menenangkan, rasanya seperti ... seorang ibu ....

Tapi Bu Mutti memang seorang ibu. Dan kelembutan yang ditunjukkan olehnya, sedikit banyak membuat Ayato teringat pada ibunya di bumi.

Sekarang Ayato harus berusaha menahan agar air matanya tidak keluar.

Bu Mutti berdiri. "Yah, sudah hampir gelap. Sebaiknya kita kembali."

Ayato juga ikut berdiri dan mengikuti Bu Mutti. Baru setengah jalan, perempuan itu berhenti, tampak seperti baru saja mengingat sesuatu.

"Oh, soal harta yang kalian ambil di labirin ...." Bu Mutti memulai. "Itu untuk kalian saja, ya." Kemudian, dia kembali berjalan.

Ayato mengerjap. Apa? Apa tadi dia tidak salah dengar?

-----

Published on: 02/04/2022

1419 words
-Eri W. 🍁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro