Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33. The Lady and the Dragon

V. The Cradle of Gentleness

Ketika membayangkan seseorang yang tinggal bersama naga, yang pertama kali terpikir adalah seseorang yang tampak kejam dan berbahaya.

Tapi Nyonya Vogel jauh dari bayangan itu. Setelah menyambut rombongan Ayato dengan penuh sukacita, dia mempersilakan ketiga anak itu masuk dengan senyum terkembang. Dia juga menyuguhkan cokelat hangat sewaktu ketiganya sudah duduk berjejer di kursi tamu dan memperkenalkan diri.

"Aku tidak menyangka Pak Alastor benar-benar mengirim pas tiga orang, kalian masih muda sekali, tapi aku sangat senang."

Dia mengatakan itu dengan cepat dan dalam satu kali tarikan napas. Sejauh ini, Nyonya Vogel tidak terlihat seperti orang yang menyimpan dendam dan keterpurukan atas kejadian enam tahun lalu.

"Oh, ya ampun, kok aku jadi meracau begini. Padahal kalian sudah datang jauh-jauh." Nyonya Vogel menepuk tangannya. "Kita langsung ke intinya saja ya. Apa Pak Alastor ada bilang mengapa aku butuh bantuan?"

"Uhm ... tidak secara detil, sih," balas Ayato. "Beliau hanya menyuruh kami untuk datang menemui Mutti Vogel, menemui Nyonya ...."

Nyonya Vogel segera memotongnya, "Ah, Pak Alastor memang selalu begitu ya, tapi tak apa, aku senang bisa menjelaskan detilnya langsung pada kalian. Dan, panggil dengan nama depanku saja, ya?"

Permintaan itu membuat mereka bertiga saling pandang. Mungkin panggilan 'Nyonya' terasa terlalu formal untuk situasi di tempat itu.

".... Bu Mutti?"

"Iya, begitu saja, terima kasih."

"Baiklah, kita lanjutkan yang tadi, ya." Bu Mutti kembali pada inti pembicaraan. "Awalnya ini permintaan yang akan kuajukan pada Biro Layanan Sihir. Tapi waktu aku bertemu Pak Alastor, dia mencegahku melakukan itu dan berjanji akan mengirim orang lain sebagai pengganti. Lalu mengenai permintaan yang kuajukan, itu adalah penjelajahan labirin ...."

Suara kepakan sayap makhluk besar mengalihkan perhatian Bu Mutti. "Ah, sudah pulang, ya."

Karena mereka bertiga duduk membelakangi jendela, sulit untuk melihat makhluk yang menimbulkan suara itu. Tapi Ayato dapat merasakan sekelebat bayangan hitam yang mendarat tepat di depan rumah itu.

Sesaat kemudian, pintu depan terbuka, dan sesuatu--atau seseorang, masuk.

Usianya mungkin sekitar empat atau lima tahun, dan sekilas dia terlihat seperti bocah laki-laki biasa. Kecuali sepasang tanduk yang menyembul diantara helaian rambutnya yang sewarna raven serta matanya yang kuning mengkilat seperti mata reptil. Mendadak bekas luka di perut Ayato jadi terasa gatal.

Ayato merasakan sensasi horor ketika mata reptil anak itu menangkap tiga sosok asing di hadapannya. Tapi perhatiannya segera teralih ketika Bu Mutti bicara padanya dengan nada ceria. "Eden, selamat datang. Ayo beri salam pada tamu-tamu kita."

Tatapan mata anak itu melembut ketika dia mengangguk pada mereka bertiga. Ayato mengawasi ketika anak itu meninggalkan ruang tamu.

"Dia putraku, Eden. Dan ...." Nada bicara Bu Mutti tiba-tiba memelan. "Kalian, sudah dengar dari penduduk kota, 'kan?"

"Dia ... anak naga?" kata Eve pelan. Bu Mutti mengangguk.

Rasanya atmosfir ruangan itu jadi lebih gelap. Bu Mutti kembali berucap. "Penduduk kota mencegahku. Aku tahu mereka melakukannya karena khawatir. Tapi telur naga itu, dia sendirian, induknya baru saja tewas."

"Aku merawatnya, karena dia sama sepertiku."

Ayato bisa melihat kesedihan di dalam mata cokelat milik Bu Mutti. Sejenak, dia agak merasa bersalah karena merasa takut pada Eden. Tapi mau bagaimana lagi ....

Bu Mutti kembali menepukkan tangannya. "Ah, aku meracau lagi. Nah, sebaiknya kembali ke tujuan kita. Jadi, kalian tentu sudah tahu tentang penjelajahan labirin, 'kan?"

"Ah, itu ...."

Kedua rekannya serentak menatap Ayato. Bu Mutti sepertinya juga menyadari itu. Dia berucap, "Oh, benar juga, Ayato pasti belum tahu. Biar kujelaskan dulu."

"Labirin yang dimaksud di sini sedikit spesial. Dirancang oleh si hebat Daedalus ratusan tahun silam dan memiliki kemampuan untuk berkembang sendiri. Labirin ini dapat ditemukan hampir di seluruh dunia. Dan karena sifatnya yang dapat berkembang sediri, labirin ini sering dijadikan tujuan penjelajahan atau penyimpanan harta berharga, bisa dimodifikasi sesuai kebutuhan."

Perlu waktu beberapa detik bagi Ayato untuk menyerap penjelasan itu. Akhirnya Eve yang melanjutkan pembicaraan. "Jika melihat situasinya, berarti tujuan penjelajahan ini ... mencari harta?" katanya.

"Piala Ibu Burung, pusaka keluarga Vogel." Bu Mutti menanggapi. "Disimpan dalam labirin di bawah gunung Liebe selama bergenerasi-generasi. Dan sebagai keturunan terakhir keluarga Vogel, aku ingin mengamankannya."

Keturunan terakhir. Kata-kata itu jadi terdengar jauh lebih sedih ketika Bu Mutti yang mengucapkannya.

Bu Mutti melanjutkan. "Jalur menuju ruang penyimpanan itu dirancang harus dilewati tiga orang. Awalnya aku meminta tenaga bantu dua orang, tapi kemudian Pak Alastor mengirim kalian ...."

"Maaf, tapi Pak Alastor memintaku untuk mengirim kalian bertiga saja. Apa kalian tidak apa-apa pergi sendiri?"

Eve mengangkat bahu. "Yah, orang itu memang suka seenaknya. Tapi aku tidak masalah, kok."

Sakura juga setuju. "Tidak apa-apa Bu Mutti, kami akan bawakan piala itu."

Bagaimanapun, Ayato tetap harus mengikuti keduanya. "Aku juga ... tidak masalah, sih."

Senyum Bu Mutti bertambah cerah. "Terima kasih, aku tahu kalian memang bisa diandalkan. Sekarang mari kita makan malam dan beristirahat, agar kalian kembali segar saat berangkat besok pagi."

"Eh, besok pagi? Kupikir kita akan berangkat sekarang?" kata Eve.

"Anu ... tadinya aku juga berpikir begitu. Jadi setidaknya kita bisa keluar dari labirin besok pagi." Sakura ikut menambah.

Bu Mutti ingin menentang. "Eh, ka-kalian tidak ingin istirahat dulu?"

Eve menenangkannya. "Kami baik-baik saja, Bu Mutti. Soalnya dalam labirin siang atau malam sama saja." Matanya lalu beralih pada Ayato. "Lagipula, ada seseorang yang harus cepat belajar di sini."

"Maksudmu apa, sih," dengus Ayato. "Yah, aku sama sekali tidak tahu tentang labirin. Tapi mungkin lebih cepat kita masuk, lebih baik?"

Kelihatannya Bu Mutti ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi urung ketika melihat keputusan mereka bertiga tidak akan berubah. Dia lalu menyerah. "Baiklah, kita akan menuju labirin malam ini. Tapi lakukan setelah makan malam, ya."

Permintaan terakhir itu tidak bisa ditolak. Setelah makan malam, mereka berempat langsung menyusuri kaki gunung dengan dipandu Bu Mutti. Saat itu Ayato tidak terlalu memperhatikan jalanan, juga penjelasan lanjut dari Bu Mutti yang hanya dia dengarkan setengahnya.

Bu Mutti mengantar mereka ke mulut gua berukuran sedang yang tertutup bebatuan. Di bagian depan gua tentu saja gelap. Tapi jauh di dalam, Ayato bisa melihat sedikit sinar yang seolah memancar dari dinding gua.

"Ini penunjuk jalannya, maaf jika sedikit rumit." Bu Mutti menyerahkan selembar kertas pada Ayato. Tidak ada tulisan apapun di kertas itu, hanya tanda panah yang berbelok-belok tak beraturan.

"Jalan menuju ruang penyimpanan sebenarnya hanya satu arah, penunjuk ini hanya untuk memastikan kita berjalan ke arah yang tepat," jelas Bu Mutti. "Ah, selain piala, kalian boleh ambil berapapun dari ruang penyimpanan. Hati-hati pada si penjaga dan pastikan kalian keluar dari mulut gua yang sama. Nah, kudoakan semoga berhasil!"

Setelah itu, mereka berjalan masuk ke mulut gua yang gelap. Semakin ke dalam, Ayato melihat dinding gua itu seperti berpendar tak wajar. Ketika mereka sampai di tempat dimana mulut gua hanya terlihat seperti titik gelap kecil, barulah dia menyadari pendar itu berasal dari batu-batu berbentuk aneh yang terselip diantara dinding gua.

Sakura mengamati batu-batu berbentuk aneh itu. "Labirin memang tempat yang tak terduga, tapi tak kusangka batu berpendar benar-benar ada."

"Ya, kan, mau kita pergi siang atau malam tidak ada bedanya," komentar Eve. Dia lalu beralih pada Ayato. "Hei, kau tidak keberatan menyerahkan kertas penunjuk itu padaku, 'kan?"

Ayato menyerahkan kertas penunjuk dari Bu Mutti pada Eve. "Tidak masalah. Toh, kau bisa membaca penunjuk ini lebih baik dariku."

"Terima kasih, aku juga ingin penyerang utama kita selalu siap." Eve menerima kertas itu. "Selama kita belum tahu wujud si penjaga itu."

"Siapa si penjaga?" tanya Ayato.

"Kau tidak menyimak penjelasan Bu Mutti waktu kita pergi tadi?" tanya Eve balik.

"Yah ... setengahnya, sih." Ayato harus jujur. Dia tadi memikirkan banyak hal, sehingga tidak terlalu mendengarkan penjelasan itu.

Eve menatapnya tak percaya. "Sudahlah. Intinya, ruang penyimpanan yang hendak kita tuju pasti dijaga," lanjutnya. "Dan akibat sifat labirin, si penjaga selalu berganti wujud, jadi kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi--"

Baru saja Eve selesai bicara, terdengar suara gemerisik dari arah depan.

"Mereka datang," bisik Sakura.

Sesuatu muncul dari belokan depan. Makhluk itu mirip manusia, tapi tingginya hanya sepinggang orang dewasa. Janggut panjangnya hampir menyapu lantai dan mereka mengenakan pakaian seperti penambang.

Ada tiga makhluk. Dan Ayato dapat merasakan hawa pembunuh dari mata merah mereka yang berkilat, juga dari kapak dan golok besar yang mereka acung-acungkan. Rasanya Ayato tahu itu makhluk apa.

"Dwarf?" tebak Ayato.

"Baru saja disinggung. Dalam labirin, apa saja bisa terjadi." Eve menyiagakan tongkatnya. "Tapi dengan ini, rasanya aku tahu siapa penjaga yang akan kita hadapi."

----

Published on: 05/03/2022

1363 words
-Eri W. 🍁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro