32. Loner Woman
V. The Cradle of Gentleness
Perlu waktu dua hari hingga mereka tiba di kota Bern. Belakangan, mereka juga memutuskan untuk sejenak melupakan ramalan-ramalan itu.
Selama dua hari ini pun, Ayato terus memberitahu dirinya sendiri, bahwa ramalan itu memang bukan ditujukan untuk dirinya. Walaupun sebagian hatinya meragukan itu, tapi hanya itu yang bisa dia lakukan agar tidak panik.
Toh, masih banyak hal lain yang harus dilakukan Ayato. Sebulan lalu, dia mati lalu dikirim ke dunia lain, tanpa tahu apapun tentang dunia itu. Sekarang pun, Ayato sadar masih ada banyak hal yang perlu dia ketahui tentang dunia ini.
"Jadi di setiap benua ada kota transit, kota Bern untuk benua Safir?"
Ketika mereka memasuki kawasan kota Bern, berbagai karavan dan tenda pedagang bertebaran di sana-sini. Setelah pengalamannya di dua kota transit berbeda, Ayato langsung mengerti, kota ini adalah pusat perdagangan benua Safir.
Sakura mengangguk. "Benar. Tapi kota Bern tidak sesibuk kota lainnya, karena komoditi dari benua Safir tidak sebanyak benua lain."
"Tapi makarel raksasa dari laut utara hanya bisa ditemukan di kota ini," sahut Eve dari bangku kemudi. "Bicara soal makarel, aku lapar. Bisa kita istirahat dulu? Sekalian mencari informasi soal Nyonya Vogel."
Tidak ada yang membantah. Toh, mereka sudah tiba di tempat tujuan. Dan tentu saja mereka butuh informasi soal Mutti Vogel, orang yang disebut Alastor dalam suratnya.
Setelah mengamankan karavan dan memastikan Sherly kenyang dengan beberapa butir apel, mereka memutuskan sebaiknya mencari kedai yang bisa ditanyai. Kebetulan, ada kedai makarel panggang di dekat situ.
Sepertinya paman pemilik kedai ini mengenal Nyonya Vogel. Tapi dari ekspresi yang dia tunjukkan, kesan paman ini terhadap Vogel barangkali tidak begitu baik.
"Dia dulu penduduk kota ini," jelas paman itu. "Tapi dia agak ... yah, ada urusan apa kalian dengannya?"
"Kami hendak mengantar barang." Eve beralasan.
"Baiklah, dia tinggal di kaki gunung Liebe, sekitar situ."Sembari bicara, paman pemilik kedai menunjuk pada gunung berselimut awan yang terlihat dari jendela. "Tapi kalian sebaiknya hati-hati. Jangan lama-lama di sana."
"Mengapa dia tinggal sendirian?" tanya Ayato.
"Sudah enam tahun dia tinggal di sana, sejak ...."
Beruntung saat itu kedai sepi, hanya ada mereka bertiga di sana. Si paman pemilik kedai mengedarkan pandang ke sekeliling, seolah apa yang akan dia ceritakan adalah rahasia yang dapat mengubah dunia. Sebelum memberi isyarat pada mereka bertiga untuk lebih mendekat.
"Nyonya Vogel itu sebenarnya orang baik. Semua bermula dari serangan seekor naga hitam atas kota ini enam tahun lalu, dia kehilangan suami dan putra semata wayangnya dalam kejadian itu. Dan ... yah, sudah pasti dia jadi kacau."
Hening sejenak. Paman pemilik kedai makarel ini pasti sudah berusaha keras agar ceritanya terdengar memukau.
"Naga itu berhasil dibunuh. Tapi setelahnya, warga kota menemukan penyebab naga itu jadi begitu marah. Ternyata dia itu induk naga, dan beberapa waktu sebelumnya, seorang warga telah mencuri telur milik naga itu dan membawanya ke kota."
"Berarti sejak awal kalian yang salah, ya," sindir Eve. Ayato menyenggolnya.
Paman Pemilik Kedai mengabaikan sindiran Eve. Dia melanjutkan. "Kami sepakat untuk menghancurkan telur itu. Tapi, Nyonya Vogel muncul dan bersikeras untuk merawat telur itu."
"Aku tahu, tindakan sinting, ya? Tapi tidak ada yang berani menghentikannya. Barangkali nyonya itu sudah kacau akibat duka, tidak ada yang berniat menambah bebannya."
Seorang perempuan yang bersikeras merawat naga. Mulanya, Ayato berpikir, harusnya tidak ada yang salah dengan itu, selama dia tidak mengganggu orang lain.
"Akhirnya telur itu diberikan kepada Nyonya Vogel. Tapi masalahnya baru dimulai waktu telur itu menetas. Bagaimana kalau naga itu bakal menyerang kota, sama seperti sebelumnya. Kami beritahukan hal itu pada Nyonya Vogel, tapi dia tetap bersikeras naga itu takkan menyerang siapapun. Lalu ... dia jadi dijauhi penduduk kota, dan memilih menyepi ke kaki gunung di sana."
"Anu ... apa kalian memang harus sampai menjauhinya begitu? Nyonya itu tidak mengganggu orang lain, 'kan?" ucap Sakura.
Paman pemilik kedai hanya mengangkat bahu. "Itu juga betul. Tapi merawat naga itu tindakan ekstrim, sebaik apapun kau merawat seekor monster, tidak ada yang tahu apa yang akan dia perbuat padamu sesudahnya. Jadi sebisa mungkin kami tidak ingin terlibat. Nah, tiga porsi makarel panggang siap, selamat makan."
Cerita itu berakhir dengan aroma makarel panggang yang sungguh menggoda, tapi Ayato sudah kehilangan selera makan. Seorang perempuan yang tinggal bersama monster. Kedengarannya tidak bagus. Ayato mengingat pengalaman terakhirnya bersama seekor naga, bukan pengalaman yang menyenangkan.
Mereka pergi dari kedai setelah membayar. Menurut keterangan si paman pemilik kedai, butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk mencapai kaki gunung Liebe. Lalu karena tidak ada hunian lain di daerah itu, seharusnya menemukan kediaman Mutti Vogel bukan hal sulit.
"Kau tidak punya gambaran kenapa gurumu menyuruh kita menemui nyonya itu?" tanya Ayato pada Eve ketika mereka kembali memacu karavan.
Eve hanya mengangkat bahu. "Entahlah. Kata paman kedai makarel tadi, Nyonya Vogel itu seorang penyihir, mungkin dia kenalan Guru," katanya.
Tidak ada petunjuk lain. Tapi ada satu hal yang membuat Ayato penasaran.
"Hei, apa di dunia ini betul-betul ada orang yang mau hidup bersama monster?" tanya Ayato.
Dilihatnya Eve dan Sakura saling pandang. Sepertinya pertanyaannya itu agak rumit.
"Yah ... aku tidak bisa bilang 'betul-betul tidak ada'. Nyatanya, selama tiga ratus tahun ini, monster yang muncul semakin banyak. Beberapa monster yang cukup baik terbukti dapat membaur dengan manusia. Sebaliknya, manusia yang hidup dan berbaur dengan monster, itu bukan tidak mungkin." Eve hanya memberi jawaban menggantung.
"Tapi, dengan hidup bersama monster, 'kan bukan berarti Nyonya Vogel itu orang jahat," bela Sakura. "Pasti ada alasan kuat di balik keputusan itu."
Eve tampaknya juga setuju. "Semoga memang begitu. Pokoknya, kita temui dulu orang ini dan lihat apa maunya, baru kita putuskan harus melakukan apa."
Ketika kabut semakin tebal dan hawa bertambah dingin, Ayato tahu mereka telah tiba di tempat tujuan. Kaki gunung Liebe. Waktu Ayato mendongak, pemandangan puncak gunung yang menjulang tinggi memenuhi pandangan. Jauh lebih besar daripada yang terlihat dari jendela kedai makarel tadi.
Di tengah-tengah kabut, Ayato melihat sesuatu yang asing. "Hei, yang di sana itu asap, 'kan?" tanyanya, menunjuk satu titik agak jauh di depan.
Eve memicingkan matanya. "Kelihatannya seperti asap dari cerobong. Oh, apa itu rumahnya?"
Sebuah pondok kayu berukuran sedang terlihat mencolok di tengah-tengah kaki gunung yang hampir tidak ada apa-apanya itu. Asap membumbung dari cerobong, sudah pasti ada orang di dalam sana.
"Itu pasti rumah Nyonya Vogel! Tidak ada rumah lain di sekitar sini," seru Sakura yakin.
Ayato memperhatikan hunian itu lekat-lekat. Kelihatannya bukan tempat berbahaya.
"Nah, karena sudah ketemu, langsung kita datangi saja?" usul Eve.
Mereka memarkir karavan agak jauh dari rumah itu. Ketika Ayato mengetuk pintu, seorang perempuan menyahut dari dalam. Terdengar suara derap langkah kaki, disusul dengan pintu berderik terbuka di depan mereka, menampakkan sosok sang empunya rumah.
Mutti Vogel terlihat seperti seorang wanita paruh baya biasa, rambut panjangnya dikepang hingga mencapai punggung. Namun, dari tatapan mata cokelat dari balik kacamata bulatnya, juga senyumnya yang penuh kehangatan, Ayato langsung tahu dia orang baik.
"Ah, apakah kalian murid-murid Pak Alastor?"
-----
Published on : 26/02/2022
1137 words
-Eri W. 🍁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro