Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Wrong Step

IV. The Newcomer

Pengalaman naik unta bisa jadi akan terasa menyenangkan, jika Ayato masih seorang siswa sekolah menengah yang hanya sedang berlibur dan tidak sedang berada di dunia lain.

Unta Andrew berjalan agak di depan, memimpin perjalanan. Di sampingnya ada unta Kalila (dengan didampingi Sakura) yang bertindak sebagai penunjuk jalan. Ayato ingat bagaimana gadis kecil itu kaget sekali waktu tahu identitas Ayato sebagai pahlawan. Tetapi mereka berhasil menenangkan anak itu dengan mengatakan rombongannya tidak ada diberi hukuman yang berat.

Kemudian, orang yang dianggap bertanggung jawab atas insiden perompakan itu, mantan pahlawan Rosa Brauss. Ayato tahu pemanggilan pahlawan ke dunia ini dilakukan setiap sepuluh tahun sekali. Tetapi dia tidak mengerti mengapa pahlawan, yang seharusnya menolong orang, malah berbalik merugikan orang lain.

Ayato mengerling pada Eve di sebelahnya, yang tidak banyak bicara sejak mereka meninggalkan Memphir. "Kau benar tidak apa-apa?" tanya Ayato.

Eve menatapnya sekilas. "Kenapa?"

"Wajahmu pucat."

"Dari dulu wajahku sudah begini."

"Maksudku ... lebih pucat dari biasanya. Apa kau pusing atau semacamnya?"

"Aku baik-baik saja. Jangan tanya-tanya lagi," dengus Eve, dan Ayato memutuskan sebaiknya dia mengakhiri percakapan itu.

Mungkin pandangan buruk Eve terhadap pahlawan ada benarnya juga. Jangan-jangan masih banyak mantan pahlawan lain yang bertindak semena-mena seperti itu. Lalu perkataan Eve waktu di Memphir juga masih berputar-putar dalam kepala Ayato, seandainya kalian melakukan satu saja hal dengan benar, ayahku tidak perlu mati!

Itukah alasan Eve begitu membenci pahlawan? Dipikir lagi, hanya sedikit yang Ayato ketahui mengenai masa lalu Eve. Waktu di Yamato, ketika Ayato sedang terguncang, dia menumpahkan segala keluh kesahnya pada Eve. Itu membuat perasaannya jadi lebih tenang. Seandainya Eve juga mau melakukan hal yang sama terhadapnya ....

"Itu tempatnya!"

Lamunan Ayato buyar ketika dia mendengar seruan Kalila. Anak itu menunjuk ke sebelah timur, tidak terlalu kelihatan karena jarak mereka masih agak jauh. Namun, Ayato yakin itu sebuah bangunan agak besar.

Selang beberapa menit, mereka bisa melihat bentuk utuh dari bangunan itu. Sebuah villa tiga lantai dari batu bata yang keropos di beberapa bagian. Tidak ada bangunan lain di sekitar situ, dan Ayato agak takjub bagaimana villa kumuh itu bisa bertahan di tengah gurun panas seperti ini.

Pintu villa terbuka ketika rombongan mereka berhenti di depan mansion. Setengah lusin laki-laki dan perempuan mengintip dengan waspada. Ketika Kalila turun dari unta dan maju ke depan, seorang wanita yang mirip dengannya menghambur ke arahnya.

"Kalila! Ya ampun, Nak. Mama takut sekali waktu kau terting--" Dia menghentikan kata-katanya ketika menyadari putrinya datang bersama orang-orang tak dikenal. Didekapnya Kalila kuat-kuat. "A-ada perlu apa, ya?" tanyanya waspada.

"Mama, kakak-kakak ini ingin bertemu Nona Rosa," bisik Kalila.

Ekspresi ibu Kalila berubah gelap, dia menarik putrinya dan mundur perlahan. Sebelum dia sempat bicara, Andrew maju duluan dan berdeham, "Uhm, tidak apa-apa, Bu. Kami datang dalam damai, iya, 'kan?"

Andrew merentangkan tangannya, menunjukkan bahwa dia tidak memegang senjata. Sayangnya dia lupa akan kapak besar yang tersampir di punggungnya.

Kerumunan orang di depan pintu berbisik-bisik, sebagian melemparkan tatapan menuduh pada Kalila. Kemudian, suara seorang perempuan menginterupsi.

"Beri jalan."

Perempuan itu barangkali baru berusia akhir dua puluh-an, tetapi ekspresi letihnya membuatnya tampak lebih tua. Rambut cokelat gelap bergelombangnya dibiarkan tergerai sepanjang punggung. Melihat bagaimana orang-orang langsung menurutinya, perempuan itu pastilah sang mantan pahlawan yang sedang mereka cari.

Dia meletakkan tangan di dadanya. "Aku Rosa Brauss. Banyak yang ingin kalian bicarakan denganku, bukan?"

Ayato baru sadar, dari tadi Andrew ternganga, kehilangan kata-kata. Baru tiga detik kemudian dia mengerjap. "Eh, yah, tidak sopan kalau aku tak memperkenalkan diri. Namaku Andrew Kale, Pahlawan Selatan saat ini. Dan, benar, banyak yang perlu kita bicarakan, Nona Rosa Brauss."

Rupanya Andrew juga bisa bicara sopan. Kemudian, terdengar suara langkah kaki lain, dan seorang lelaki kurus tinggi bergabung dengan Rosa.

Rosa meneliti Andrew dengan intens, kemudian dia beralih pada Ayato dan yang lain. Kemudian, dia menghela napas. "Diantara kalian, siapa saja yang merupakan pahlawan?"

Ayato memperkenalkan diri.

"Baiklah, kalian berdua, mari kita bicara. Sementara itu ... Paul." Rosa menoleh pada lelaki kurus tinggi di belakangnya. "Perlakukan tamu-tamu lain dengan baik."

Paul hendak membantah, "Tapi, tapi Nona--"

"Paul!"

Lelaki itu menyerah. Ayato dan Andrew berpisah dari rombongan dan mengikuti Rosa menuju tingkat atas villa itu. Rasanya agak sulit dengan banyaknya tatapan dingin dari orang-orang di sana.

Rosa membawa mereka ke sebuah ruangan dengan beberapa sofa yang sudah agak lapuk. Perempuan itu menutup pintu di belakang mereka dan mempersilakan mereka duduk.

"Ehm, jadi." Andrew memulai, "Kami menerima laporan adanya komplotan perompak di area Memphir. Setelah melakukan beberapa penyelidikan, lalu ada bantuan dari adik kecil di bawah tadi. Kami menduga kaulah yang mengatur semua ini. Benar, 'kan?"

Selama tiga detik pertama, Rosa tidak menjawab. Kemudian, dia merebahkan diri ke sofanya. "Benar, sudah sejauh ini, aku tidak bisa menyembunyikan apapun lagi. Orang-orang di villa ini, para pengikutku, adalah kawanan perompak itu. Dan mereka memang bertindak atas perintahku." Dia mengakui.

"Tapi mengapa? Anda ini pahlawan, 'kan?" tanya Ayato.

"Kau, berapa usiamu?" potong Rosa.

"Eh, enam belas."

Rosa mencibir. "Bahkan lebih muda daripada usiaku ketika dikirim kemari. Tidak heran kau begitu naif."

"Maaf?" Ayato tampak tersinggung. "Jadi, mengapa Anda mengirim pengikut Anda untuk merampok?"

Ayato bisa merasakan Rosa menatapnya tajam. "Kesalahan terbesarku." Dia memulai.

"Sepuluh tahun lalu, ketika aku mulai ditugaskan di wilayah ini. Saat itu, pahlawan amat dihormati, semua orang akan melakukan apapun demi menjadi pengikut kami, demi mendapat perhatian dari kami." Rosa menarik napas panjang. "Aku memanfaatkan situasi itu. Memphir adalah wilayah vital. Jadi, kuberikan perlindungan penuh pada kota itu, dengan bayaran berupa kebutuhan pokok."

"Bukannya kita dilarang minta imbalan dari penduduk?" potong Andrew.

Rosa menggeleng. "Tidak ada larangan seperti itu pada zaman kami. Dan, kuakui kalian beruntung, peraturan itu menahan kalian dari bertindak kelewat batas."

Dia memasang senyum lemah. "Kami terlena, mengira kejayaan itu akan berlangsung selamanya. Namun, sepuluh tahun kemudian, pahlawan baru dipanggil, dan kami disisihkan begitu saja."

"Imbalan dari Memphir berhenti. Kami benar-benar tersingkir, bahkan para pedagang Memphir menolak ketika beberapa pengikutku ingin bekerja pada mereka. Aku tahu, tindakan kami sebelumnya memang memuakkan. Mereka pantas marah."

Ayato bisa menangkap nada penyesalan dalam penuturan Rosa. Perempuan itu terus melanjutkan. "Lalu aku sadar, aku tidak punya keahlian lain selain membunuh monster. Selama sepuluh tahun itu, aku terus bergantung pada orang lain untuk bertahan. Sekarang pun, aku tidak bisa berbuat apa-apa."

"Itu sebabnya Anda mengarang cerita itu, bahwa para pengikut tidak bisa meninggalkan pahlawan." Ayato teringat cerita Kalila sebelumnya.

"Bila tidak begitu, mereka pasti sudah pergi." Rosa membenarkan.

"Sampai begitu segala, bukannya kau ini terlalu kejam?" timpal Andrew.

"Kejam? Ya, baiklah. Sebut saja begitu." Rosa memakukan pandangan tajam kepada Andrew. "Tapi aku berani bertaruh kau akan melakukan hal yang sama jika ada di posisiku. Ketika aku yang tidak tahu apa-apa dikirim ke dunia ini dan ditunjuk sebagai pahlawan, diiming-imingi dengan fasilitas lengkap yang nyatanya hanya bertahan sementara, lalu dicampakkan begitu pahlawan lain datang. Siapapun pasti akan muak!"

"Tapi itu bukan alasan untuk berbuat seenaknya, 'kan?" tukas Ayato.

"Sekarang kau bisa berkata begitu," potong Rosa. "Tunggulah sepuluh tahun lagi. Ketika kau tenggelam dalam kehormatan semu, ketika kekuatan dan pengaruhmu tergantikan, mari kita lihat apakah pemikiranmu masih sama seperti saat ini."

Sejenak, tidak ada yang bicara. Sampai kemudian Rosa kembali berucap, "Aku memang salah. Dan sekarang kalau kalian--"

Bumi berguncang, perkataannya terhenti.

"Gempa!" Andrew panik. Dia langsung berdiri dan segera mengambil ancang-ancang untuk lari.

"Bukan." Rosa langsung berlari ke jendela. Apapun yang dia lihat di sana, jelas tidak bagus. Dia menghentakkan kakinya. "Sial! Di saat seperti ini ...."

Ayato segera menyusulnya, dan dia nyaris memekik melihat makhluk apa yang menyebabkan guncangan itu. Seekor kadal gurun berduri raksasa, panjangnya barangkali mencapai tiga puluh meter, dengan duri bagai jarum seukuran orang dewasa di sepanjang punggungnya. Kadal itu bergerak lurus ke arah villa.

"Gede banget, gila!" Andrew sudah berada di belakang mereka. Dia memandang kadal raksasa itu dengan tatapan penuh minat, seolah sudah tidak sabar untuk membelahnya jadi beberapa bagian. "Oke, ini pasti bagian kita. Waktunya menebas monster!" Dia langsung berlari keluar ruangan.

"JANGAN!" Rosa menjerit. Daripada perintah, itu lebih terdengar seperti memohon.

Perempuan itu berlari menyusul Andrew. Ayato mengerling ke jendela, kadal raksasa itu kian dekat. Sebelum ikut menyusul.

Orang-orang berkumpul di teras depan, sebagian meneriaki Andrew untuk berhenti. Andrew berlari menyongsong sang kadal, bersama Karen.

Sebelum Ayato memutuskan apakah dia harus mengikuti Andrew atau menghentikannya, Kalila menghambur ke arahnya. "Kak, tolong hentikan Kakak Kapak itu!"

Ayato menepuk kepala anak itu. Kemudian, dia melihat Eve dan Sakura di kerumunan.

"Ada apa ini sebenarnya?" tanya Ayato ketika dia mendatangi teman-temannya.

"Ini bahaya, Ayato. Kita harus hentikan Tuan Andrew!" Sakura berkata panik.

Eve menggertakkan gigi. "Tidak akan sempat, dia sudah terlalu dekat. Dasar pria bodoh!"

Terdengar suara desisan marah. Andrew pasti berhasil melukai kadal itu. Ketika Ayato berbalik untuk melihat kejadian itu, si kadal membalas dengan memukulkan ekornya ke pasir, tepat sebelum Karen memunculkan penghalang.

Kadal itu berlari cepat ke samping, dengan kecepatan yang luar biasa untuk ukuran raksasa. Mulanya, Ayato mengira kadal raksasa itu hanya kabur, namun dia menyadari maksud lain ketika ekor berduri si kadal terus memukul-mukul pasir ke udara.

Dia membuat badai pasir, langsung menuju villa.

-----
Published on: 02/10/2021

1512 words
-Eri W. 🍁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro