21. Sang Gadis Bunga
III. The Flower Maiden
Sehari berlalu setelah penyerbuan ke benteng tuan tanah. Kedamaian kembali menyelimuti Kamakura. Orang-orang yang kena pengaruh Maria sudah kembali seperti sebelumnya, rupanya mereka ingat apa yang terjadi pada mereka selama ini.
Seharian ini, tidak banyak yang dilakukan Sakura selain berdiam di rumah untuk memulihkan diri. Sebenarnya, masih ada satu hal yang membuat Sakura resah, dan dia jadi makin gelisah karena baik Eve maupun Ayato tidak ada yang menyinggungnya. Itu adalah...
BRAKK!
Pintu geser didorong dengan sangat keras.
"Gawat, gawat, GAWAT!!! Kalian harus lihat ini!!" Itu Rin, yang masuk sambil melambaikan surat kabar di depan mukanya.
"Ada apa, sih?" tanpa bertanya lebih lanjut, Ayato langsung menyambar surat kabar itu.
"Sudah lihat dulu, nah, di sebelah sini..." Rin membukakan halaman yang dia maksud.
Karena penasaran, Sakura ikut menggeser posisi duduknya agar bisa ikut mengintip surat kabar di tangan Ayato. Seketika matanya membelalak melihat artikel yang baru ditunjukkan Rin.
Kamakura: Pahlawan Timur Membongkar Kedok Penguasa Korup. Di sana tertulis mengenai apa yang sudah dilakukan Kurogiri selama ini, bagaimana dia bekerjasama dengan monster, lalu Pahlawan Timur (nama Ayato tidak disebutkan) yang membongkar itu semua bersama kedua rekannya. Penjelasannya terkesan dilebih-lebihkan.
"Apa-apaan--" Tentu saja, Ayato jadi tidak bisa berkata-kata waktu membaca berita itu.
"Bagaimana mereka bisa tahu identitas Ayato begitu cepat?" cetus Sakura.
"Aku tidak suka Ayato mendapat begitu banyak perhatian, padahal Sakura yang berperan paling besar." Eve mendengus.
Rin hanya mengangkat bahu mendengarkan keluhan-keluhan itu. "Bagaimana ya, berita ini sudah masuk koran nasional. Cuma perlu beberapa hari sampai seluruh dunia tahu Ayato masih hidup dan ada di Yamato."
"Benar juga, sebelumnya kau dianggap sudah mati, 'kan," timpal Eve.
"Bukan cuma itu, coba teruskan baca." Rin ikut menyusuri baris demi baris artikel tersebut. "Di sini tertulis, mereka akan melaporkan keberadaanmu pada Biro Layanan Pahlawan untuk didata. Katanya itu lembaga untuk mengatur tugas para pahlawan."
"Berarti, Ayato akan kembali sebagai pahlawan lagi?" Sakura menyimpulkan.
"Susah juga, sekali kau dipanggil ke dunia ini sebagai pahlawan, jangan harap bisa mencari celah untuk lari dari beban itu," tambah Eve, "nah, bagaimana?"
Semua diam, menunggu reaksi Ayato yang masih sibuk membaca keseluruhan berita itu.
Akhirnya Ayato menghela napas. "Artinya, aku sudah tidak bisa berada di sini lagi. Benar begitu?"
Rin membenarkan, "Harusnya, iya, kayaknya kau benar-benar diminta untuk kembali ke ... apa?"
"Iberia," sambung Eve. "Tempat pemanggilan pahlawan terakhir kali."
Ah. Sakura menelan ludah. Akhirnya mereka sampai ke pembahasan ini. Sebenarnya, Sakura sudah memikirkan hal ini sejak kemarin. Ayato dan Eve tidak mungkin tinggal lebih lama lagi di Yamato, mereka harus pergi. Tapi ... bagaimana dengan Sakura?
"Anu ...." Sakura mencoba memecah keheningan. "Kalau mau, kalian bisa pergi besok pagi. Aku akan tanya Ayah apakah bisa mengantar kalian ke pelabuhan."
Mereka semua saling pandang, hanya pilihan itu yang tersisa saat ini. Eve lalu menjawab, "Ide bagus. Jadi, sudah diputuskan."
"Kita akan berangkat besok pagi. Lalu, Saku--"
"Aku akan tanya Ayah dulu!" Sakura memotong perkataan Ayato. Dia segera berdiri dan berlari keluar dari ruangan itu.
Sakura menutup pintu geser rapat-rapat. Dia menghembuskan napas. Sekarang bagaimana?
"Kau juga ingin pergi, 'kan?"
Suara itu kembali. Sungguh, dia benar-benar jago membaca pikiran Sakura. Ya, Suara benar, Sakura juga ingin pergi.
Dia sendiri tidak tahu darimana keinginan kuat itu berasal. Yang pasti, Sakura benar-benar menikmati perjalanan singkatnya ke benua Safir. Mungkin itu yang mendorongnya untuk pergi, sekali lagi, berkelana ke dunia luar.
Tapi apa dia bisa melakukannya? Meninggalkan Yamato? Meninggalkan orangtuanya? Setelah dia pergi, akan butuh waktu cukup lama sampai dia bisa kembali lagi.
Sakura tidak benar-benar mencari ayahnya, dia masih ingin memikirkan keputusan itu. Saat Sakura memutuskan untuk berpikir di kamarnya, dilihatnya sudah ada orang lain di sana.
"Bunda? Dan ... tas apa itu?"
Ran ada di kamar Sakura, yang kebingungan melihat ibunya mengepak beberapa barangnya ke dalam sebuah tas.
"keperluanmu, barang-barang yang akan kau butuhkan selama bepergian," jawab Ran lembut.
Sakura mengecek tas tersebut. Dia belum bilang apa-apa, tapi ibunya jelas sekali paham akan keinginannya.
"Apa tidak apa-apa jika aku pergi?" bisik Sakura. Dia tidak ingin keinginannya ini malah membuat ibunya sedih.
Ran membuka pintu geser yang menuju teras dan meminta Sakura mengikutinya duduk di sana.
"Akhirnya hari ini tiba juga," kata Ran saat mereka sudah duduk. "Bunda tahu, Sakura pasti mampu merampungkan pengembaraan keluarga Hinomoto."
Kening Sakura berkerut, tidak mengerti dengan kata-kata Ran barusan.
"Kau masih ingat asal-muasal keluarga kita?" tanya Ran.
"Leluhur keluarga Hinomoto berasal dari ujung barat dunia ...." Sakura mencoba mengingat-ingat apa yang dulu pernah diceritakan ibunya. "Lalu keturunan-keturunan mereka bermigrasi, terus ke timur, sampai ke Yamato ini."
"Kau tahu apa artinya itu?"
"Setelah perjalanan dari barat ke timur tercapai, artinya harus ada yang pergi ke barat untuk menutup siklus itu. Itukah yang dimaksud dengan merampungkan pengembaraan?"
Ran mengangguk. "Terus bergerak hingga membentuk siklus. Itulah tradisi yang terus diwariskan oleh keluarga kita selama bergenerasi-generasi. Ketika generasi pertama Hinomoto tiba di Yamato, ujung timur dunia, mereka tahu kelak keturunan mereka akan kembali ke tempat asal. Kata-kata yang tadi Bunda ucapkan, diwariskan seperti itu."
"Tapi ... hanya karena aku ingin pergi ke luar, bukan berarti aku yang akan menutup siklus itu, 'kan?" Sakura mencoba berkilah. Dia tidak mengerti mengapa dirinya harus terlibat masalah leluhur seperti itu.
"Keluarga Hinomoto sudah terlalu lama berdiam di Yamato," tutur Ran, "generasi pertama Hinomoto berasal dari daratan Ringalia. Bertahun-tahun terlewati, dan saat ini, nyaris tidak ada darah Ringalia yang tersisa dalam dirimu, Sakura. Karena itulah Bunda yakin, kau akan membawa keluarga kita menuju tempat baru, kau akan mewariskan darah baru di tempat yang kau tuju."
Ran mengelus kepala anak perempuan satu-satunya itu. "Bunda tahu kau selalu penasaran akan dunia luar. Barangkali, itu adalah tanda bahwa kau bisa menutup siklus ini."
Sakura menunduk. Penjelasan ibunya itu benar, tapi dia masih tidak mengerti mengapa dirinya terlibat dalam semua ini. Sakura tiba-tiba jadi sangat tertarik dengan rumput halaman yang belum dipotong. "Begini apa tidak apa-apa?"
"Jika kau ingin pergi, maka pergilah. Bunda dan Ayah akan selalu menunggu kepulanganmu."
Ibu dan anak itu berpelukan. Hangat. Sakura pasti akan merindukan pelukan ini saat dia sudah pergi jauh nanti. "Aku akan merindukan Bunda," bisiknya.
"Kami sudah lama menduganya," kata Ran ketika dia melepaskan pelukannya. Sakura terkikik, dia berharap ibunya tidak berekspektasi terlalu tinggi. Tapi dia senang sekali. "Terima kasih, bunda, aku akan sering kirim surat untuk kalian."
Sakura terkikik, dia berharap ibunya tidak berekspektasi terlalu tinggi. Tapi dia senang sekali. "Terima kasih, bunda, aku akan sering kirim surat untuk kalian."
"Satu hal lagi, ada aturan baku dalam keluarga Hinomoto yang mengharuskan setiap anak perempuan yang lahir untuk diberi nama berunsur bunga. Kau tahu mengapa?"
Sakura menggeleng. Dia tidak tahu nama nenek-nenek buyutnya, tapi nama ibunya juga berunsur bunga, Ran Hinomoto--Ran berarti anggrek.
"Barangkali, itu satu dari banyak petunjuk yang ditinggalkan leluhurmu. Petunjuk untuk sesuatu yang lebih besar."
Ran menutup percakapan itu, kemudian dia berdiri. "Nah, karena kau akan berangkat besok pagi, istirahatlah dengan benar malam ini."
Setelah ibunya pergi, Sakura kembali memandangi rumput halaman. Sekarang setelah mendapatkan dukungan penuh, dia benar-benar akan pergi. Untuk sesuatu yang besar. Sakura tidak terlalu memikirkan itu, tapi barangkali, dia akan menemukan sesuatu yang baru di ujung barat dunia sana.
***
Sakura mengamati setiap sudut rumahnya lamat-lamat. Setelah dia menginjakkan kaki keluar dari Yamato, tidak ada yang tahu berapa lama lagi dia bisa kembali ke tempat itu. Jadi Sakura menggunakan sisa waktunya pagi ini untuk mengamati seluruh sudut rumahnya. Sakura sekali lagi membuka pintu kamarnya, sekarang ruangan itu akan jadi sangat sepi.
"Bunda akan menunggu surat-surat darimu, ceritakan apa yang kau lihat sepanjang perjalananmu."
Ketika Sakura keluar, Ran sudah menunggunya. Di sudut halaman, dia melihat ayahnya tengah sibuk menyiapkan karavan untuk mengantar mereka ke Pelabuhan.
Sakura mengangguk cepat. "Pasti, aku akan kirim banyak surat!"
Setelah memberi pelukan singkat pada ibunya, Sakura mengangkat tasnya dan bergegas menyusul ayah dan kedua rekannya. Dia sudah benar-benar siap sekarang. Dia akan pergi melihat dunia luar, menuju tempat yang belum pernah dia bayangkan sebelumnya.
"Kau akan baik-baik saja, iya 'kan."
"Iya!"
Saat itu, suasana hati Sakura seindah matahari pagi.
-----
Published on : 06/08/2021
1260 words
-Eri W. 🍁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro