17. Di Bawah Cahaya Bulan
III. The Flower Maiden
Pelabuhan Yamato seperti bukan tempat asing bagi Ayato.
Selain Sakura, hampir semua orang di pelabuhan itu mengenakan pakaian yang terlihat seperti baju tradisional Jepang. Barang-barang diturunkan dari kapal yang menepi dan ditempatkan di gerobak barang yang ditarik kerbau atau karavan berkuda. Mendadak Ayato jadi merinding, dia seperti kembali ke zaman Taisho.
Eve, yang baru bangun tepat sebelum kapal mereka menyentuh pelabuhan, kelihatannya tidak begitu antusias. Dia masih berusaha mengusir kantuk dengan beberapa kali mengucek mata dan menahan kuap.
Sakura yang paling sibuk. Sejak mereka turun, dia terus berputar-putar di tempat itu seperti mencari sesuatu. Bahkan dia menolak dengan halus saat Ayato menawarkan bantuan.
Kemudian, Sakura berhenti. Wajahnya berubah cerah dan dia memekik, "Ayah!"
Seorang pria paruh baya berdiri di satu sudut pelabuhan, ada karavan kecil yang ditarik kerbau di sampingnya. Sakura langsung berlari dan memeluknya.
"Ayah, kenalkan, ini Ayato dan Eve. Mereka akan menyelamatkan Kamakura untuk kita!"
Ayato merinding, dia bisa merasakan pria itu menatapnya lekat-lekat, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sebenarnya itu wajar mengingat dia baru saja melihat putrinya datang bersama dua laki-laki tak dikenal.
"Kau pahlawan yang dibicarakan Sakura itu, ya..." Pria itu mengulurkan tangan. "semoga kau benar-benar bisa diandalkan."
"Baik, mohon bantuannya!" Ayato bisa merasakan genggaman tangan pria itu kuat dan keras. Seorang pekerja keras.
"Yorimitsu Matsukata." Pria itu memperkenalkan diri setelah bersalaman dengan Eve (kantuknya sudah benar-benar hilang sekarang).
Dia kemudian berbalik dan masuk ke karavan. "Cepat masuk, kita akan tiba sebelum tengah hari."
Mereka bertiga naik, kerbau melenguh sekali dan karavan bergerak. Pak Yorimitsu mengatakan, dia sudah menyiapkan nasi kepal untuk dimakan sepanjang perjalanan.
"Ayahmu agak seram, tapi ternyata dia baik juga," bisik Eve, pelan sekali.
Sakura terkikik, "Ayah memang tidak bisa ditebak, 'kan? Ayah bahkan bersedia mengganti marganya ketika menikah dengan ibuku."
"Hinomoto itu marga ibumu?" tanya Ayato.
"Iya, itu marga ibuku," terang Sakura, "karena keluarga besar ibuku punya pengaruh lebih besar."
Matahari bergerak semakin tinggi seiring perjalanan mereka menuju Kamakura. Tidak lama, Ayato bisa melihat gerbang kayu agak besar di depan, dua penjaga berdiri di sisinya.
Yorimitsu melongok dari bangku kusir. "Kalian berdua, cepat sembunyi di antara tumpukan kotak itu." Dia menunjuk tumpukan kotak kosong di salah satu sudut.
Meski kebingungan, Ayato dan Eve tetap menurutinya. Mereka meringkuk di samping kotak-kotak kosong, Sakura melampirkan kain agar keberadaan mereka semakin tersembunyi.
Sampai di depan gerbang, mereka berhenti. Ayato bisa mendengar salah satu penjaga menanyai Yorimitsu dengan galak. Yorimitsu beralasan bahwa dia baru saja kembali dari berdagang bersama putrinya. Lewat celah kain, Ayato melihat salah satu penjaga menyibakkan kain penutup karavan. Sakura cepat-cepat menjelaskan bahwa dagangan mereka hampir terjual habis dan yang tersisa hanya barang-barang yang kualitasnya kurang bagus. Berharap agar si penjaga tidak membuka kain tempat persembunyian Ayato. Setelah interogasi berlangsung alot selama sekitar sepuluh menit, barulah mereka diizinkan pergi.
Sakura menyibakkan kain tempat persembunyian. "Sudah aman, ayo keluar."
"Maaf, sudah beberapa bulan ini Kamakura tidak menerima pendatang. Jadi kami terpaksa menyembunyikan kalian. Ini juga alasan mengapa kami tidak bisa meminta bantuan orang banyak," jelas Sakura.
Ayato tidak bertanya lebih lanjut mengenai hal itu. Perhatiannya kini sepenuhnya teralihkan pada pemandangan distrik Kamakura yang mirip dengan Jepang zaman dulu.
Mereka berhenti di depan salah satu rumah. Pak Yorimitsu menyuruh mereka turun sementara dia akan menyimpan karavan di belakang. Saat itu, mereka bertemu pandang dengan seorang perempuan.
"Kak Mira!" panggil Sakura.
"Ara, Dik Sakura sudah pulang rupanya." Perempuan itu kelihatannya berusia sekitar awal dua puluh-an. Dia adalah Mira, tetangga Sakura. Setelah saling diperkenalkan, dia berjabat tangan dengan Ayato dan Eve.
"Kamu sudah ketemu Rin?" tanya Mira.
"Belum. Kami baru saja tiba--"
Belum selesai Sakura bicara, terdengar suara teriakan dari arah samping. Kemudian seorang anak perempuan seusia Sakura melompat dan langsung menubruknya sampai dia hampir kehilangan keseimbangan.
"Sakura~ aku kangen banget~" katanya heboh.
"Rin, aku baru pergi dua hari-- kamu berat!" Sakura mencoba melepaskan dekapan anak itu. Segera saja, mata anak itu, Rin, ganti beralih pada dua orang tamu yang datang bersama Sakura.
Rin langsung menghambur ke arah Eve. "Kalian orang barat benar-benar makan kentang untuk makan malam? Tinggal di rumah besar? Apa mata dan rambut kalian semuanya berwarna-warni?"
Eve mengerjap. Tentu saja dia kaget mendapat pertanyaan beruntun seperti itu. Dia hanya menjawab, "Yah... tidak semuanya begitu, sih."
Gadis itu lalu beralih pada Ayato. "Hei kau si pahlawan itu, 'kan? Kau benar-benar berasal dari dunia lain? Dunia asalmu seperti apa? Apa kau benar-benar mati sebelum dikirim kemari?"
Deg.
Pertanyaan terakhir dari Rin membuat hati Ayato mencelus. Dia menatap sekeliling. Eve menatapnya kaget, Mira menutup mulut, Sakura menggelengkan kepalanya, tapi sepertinya Rin tidak menangkap sinyal itu.
"Yah, kurang lebih begitu..." Ayato mencoba memaksakan seulas senyum, tapi rasanya wajahnya jadi kaku. Mendengar kata mati benar-benar membuatnya kacau.
"Umm... kalian pasti lelah, 'kan. Sakura, sebaiknya kalian masuk supaya teman-temanmu bisa beristirahat. Nanti akan kubuatkan udang goreng untuk semuanya." Mira mencoba mencairkan suasana canggung itu.
"Kak Mira benar. Ayo, akan kutunjukkan kamar kalian." Sakura mengajak teman-temannya untuk masuk.
Ayato pikir, sedikit istirahat dan udang goreng akan memperbaiki suasana hatinya. Tapi dia salah. Rin datang lagi setelah makan malam. Cewek itu mengusulkan sebaiknya mereka sedikit bersantai dulu malam ini sebelum menyusun rencana penyerangan besok pagi. Ayato setuju saja, mengingat saat ini dia tidak bisa fokus jika diajak berpikir serius.
Malam belum begitu larut, tapi Ayato langsung kembali ke kamar dengan alasan dia ingin cepat tidur agar besok tenaganya kembali pulih. Sakura sudah menyediakan kamar tamu sebagai tempat dirinya dan Eve bermalam. Sebenarnya, Ayato sama sekali belum mengantuk, dia hanya mencari alasan agar bisa sendirian.
Ayato membuka pintu geser yang menuju ke luar dan membiarkan cahaya bulan memasuki kamar. Dia menggertakkan gigi. Tempat ini terlalu mirip dengan Jepang. Pada akhirnya, Ayato hanya duduk di teras dan membiarkan angin malam menerpa wajahnya.
Secara teknis, dia sudah mati di dunia sebelumnya. Ayato paham betul akan hal itu. Namun, kenyataan bahwa dia sudah mati dan tidak akan bisa kembali seketika menghantamnya bagai bongkahan batu.
Pikirannya melayang ke hari itu, jika saja waktu itu dia tidak ceroboh saat menyeberang, mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi. Hari itu seharusnya dia bisa pulang dan memasak makan malam untuk Makiko.
Ayato terenyak. Apa yang ada di pikiran Makiko saat dia mendengar kabar itu? Ayato memikirkan Takato, yang pasti akan membatalkan semua kelasnya sore itu dan pergi ke rumah sakit. Lalu orang tuanya yang harusnya baru pulang dua hari lagi. Sungguh cara yang bagus untuk mengumpulkan seluruh keluarga, tapi tidak dengan dirimu.
Pintu geser terbuka di belakang Ayato, Eve masuk. Ayato bisa mendengar cowok itu memanggil namanya. Kemudian saat dia menoleh, Eve sudah berdiri di belakangnya.
"Kepikiran, ya?" Eve mengambil tempat di sebelah Ayato. Yang dimaksud Eve tentu saja mengenai pertanyaan dari Rin tadi. Ayato menoleh sebentar, kemudian dia menghembuskan napas.
"Banyak hal yang terjadi, aku jadi tidak sempat memikirkan tentang itu. Tapi kenyataan bahwa aku tidak bisa kembali ke dunia asal, itu ... agak tiba-tiba...."
Setelahnya, berbagai kenangan berputar dalam benak Ayato. Dia jadi tidak bisa menahan diri untuk tidak menceritakan mengenai dirinya pada Eve. Syukurlah, anak itu hanya mendengarkan tanpa berkomentar apapun. Mengingat semua kenangan masa lalu yang tidak akan pernah dia rasakan lagi, membuat Ayato merasa lega sekaligus sakit. Beberapa kali dia mengedipkan matanya yang mulai panas.
"Mungkin aku agak berlebihan. Tapi ini semua terlalu tiba-tiba, rasanya seperti kehilangan seluruh keluargaku dalam waktu singkat...."
Ayato tercekat, tidak sanggup lagi meneruskan kata-katanya. Keheningan terbit di antara mereka.
"Tidak apa-apa jika kau merasa sedih."
Kata-kata pertama Eve yang memecah keheningan. Ayato menatapnya. Sama seperti malam itu waktu di hutan, kali ini pun, suara Eve terdengar lembut. "Dulu waktu ibuku sakit, dia juga mengatakan itu padaku."
Kemudian Ayato teringat satu hal, kedua orangtua Eve sudah tiada. Dia pasti tahu betul rasanya kehilangan.
"Jika kau bersedih saat kehilangan seseorang," lanjut Eve. "Artinya kau benar-benar menyayangi orang itu, bukankah itu hal bagus? Jadi tidak apa-apa."
Ayato bergeming saat merasakan sesuatu yang hangat menyentuh tangannya. Dibiarkannya jari-jari Eve bertaut di punggung tangannya. Kata-kata Eve menyadarkannya, seketika pemandangan malam yang sudah gelap itu jadi semakin buram.
Dia tidak ingin menangis, tidak di depan Eve. Tapi Ayato tidak bisa menahan diri saat Eve kembali mengeratkan genggaman tangannya. Akhirnya dibiarkannya isakannya memecah keheningan malam sembari mengusap air mata dengan tangannya yang bebas.
"Bulannya indah, ya, Ayato."
Di bawah cahaya bulan, rambut pirang Eve terlihat sedikit berkilauan. Senyum tersungging di wajahnya sementara pandangannya terpaku ke kejauhan.
Ayato mendongak. Bulan purnama di dunia ini sedikit lebih besar daripada di bumi, dia jadi bertanya-tanya apakah di sana ada kelinci bulan. Eve benar, bulan yang menggantung diam di langit itu terlihat sangat indah.
Namun bagi Ayato, malam itu bukan hanya bulan purnama saja yang terlihat indah.
-----
Published on: 09/07/2021
1442 words
-Eri W.🍁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro