16. Menuju Yamato!
III. The Flower Maiden
"Jadi, Yamato dan Gerbang Migrasi itu apa?"
Pertanyaan itu terus berputar dalam benak Ayato sejak semalam. Pertanyaan yang baru bisa dia tanyakan setelah duduk di kompartemen kereta yang baru saja meninggalkan stasiun Bluewood, bersama kedua rekan barunya.
Sebenarnya, Ayato sudah agak sangsi ketika semalam Eve dan Sakura membuat rencana perjalanan tanpa melibatkan dirinya. Walaupun dia mungkin tidak akan terlalu banyak membantu...
Eve, yang duduk di depan Ayato, menyandarkan diri ke kursi kereta. "Yah, mungkin sudah waktunya memulai kelas geografi untuk dik Ayato, benar begitu?" Ayato mendengus. "Pertama, kau tahu ada berapa benua di dunia ini?"
"Selain benua Safir, ada Zamrud, Rubi, Topaz, dan Obsidian. Total ada lima." Ayato menghitung dengan jarinya. "Aku pernah diberitahu soal ini di Iberia. Kalau tidak salah, benua Safir terletak paling barat, 'kan?"
"Tepat. Nah, Yamato sendiri berada di ujung timur benua Zamrud. Menurutmu, berapa lama waktu yang diperlukan untuk tiba di sana jika melewati perjalanan biasa?"
Eve menggerakkan tongkatnya di udara dan memunculkan untaian sihir. Persis seperti yang pernah dilakukan Alastor. Hanya saja untaian buatan Eve berwarna biru cerah. Ayato bisa melihat untaian tersebut membentuk suatu daratan besar, rangkaian benua. Eve menunjuk titik kecil yang berada di ujung timur, sebuah pulau.
"Paling cepat lima belas hari dengan kereta kuda," timpal Sakura. "Karena kita harus melintasi dua benua."
"Gerbang migrasi dibuat untuk menghemat waktu perjalanan itu." Eve membuyarkan untaian itu menjadi uap air. "Masing-masing gerbang dibangun di Ingla dan kota Wallett, menghubungkan dunia sebelah barat dan timur."
"Aku mengerti, jadi itu semacam media untuk berteleportasi." Ayato menyimpulkan.
"Negara Yamato sering juga disebut negerinya matahari terbit," jelas Sakura.
"Karena letaknya paling timur, 'kan?" timpal Eve.
Sakura mengangguk. "Betul, ada juga legenda yang menyebut bahwa matahari lahir di Yamato."
Negeri matahari terbit. Sejenak, Ayato terenyak. Yamato terdengar mirip sekali dengan Jepang, bahkan penampilan Sakura sudah menjelaskan semuanya. Mendadak Ayato jadi teringat akan rumah.
"Tapi aku senang sekali, Tuan Ayato sudah bersedia membantu kami. Terima kasih."
Kata-kata Sakura membuyarkan lamunan Ayato. Dia menatap gadis itu. Yah, sebenarnya dia pergi karena tidak punya pilihan lain sih...
"Ah, tidak apa-apa, semestinya memang begitu, 'kan," kilah Ayato. "lalu, tidak perlu formal begitu, kok. Kau boleh memanggil namaku saja."
Alis Sakura terangkat, Ayato jadi berpikir apakah Sakura keberatan dengan permintaan itu. Tapi dia menyahut, "Baiklah, Ayato?."
Ayato agak lega mendengarnya.
Mereka tiba di depan gerbang migrasi saat matahari tepat di atas kepala. Di lapangan tanah yang cukup luas, banyak orang berkumpul. Beberapa tampak membawa barang bawaan yang terlihat berat. Bahkan ada juga yang membawa kereta kuda.
Menjulang tinggi di tengah lapangan itu, Ayato bisa melihat sebentuk gerbang batu besar dengan tinggi kira-kira lima meter. Di bagian tengah yang seharusnya menjadi pintu, tampaknya seperti ruang hampa berwarna hitam kelam. Ayato jadi berpikir apakah gerbang itu benar-benar bisa membawa mereka ke sisi lain dunia.
"Gerbang migrasi hanya terbuka sekali sehari. Masih ada sedikit waktu sampai gerbangnya benar-benar terbuka," jelas Eve.
Setelah berkata begitu, cowok itu lalu mengedarkan pandang ke sekitar lapangan. "Harusnya di sekitar sini ada satu... nah, itu dia!"
Terlihat seperti menemukan sesuatu, Eve mengajak kedua rekannya mengikuti ke sisi lapangan. Sebuah papan informasi besar berdiri di sana. Ayato membaca beberapa informasi yang tertulis di sana, tentang gerbang migrasi, jadwal pemindahan, dan ketentuan migrasi. Namun, Eve menunjuk ke gambar besar yang tercetak di ujung papan.
"Kau belum pernah melihat peta seluruh dunia ini, 'kan, Ayato?"
Ayato melihat gambar yang ditunjuk Eve. Itu memang sebuah peta. Bentuk benua Safir dan Zamrud tampak seperti dua dataran besar yang saling tersambung, persis seperti untaian yang dibuat Eve saat di kereta. Benua Topaz dan Rubi ada di bawahnya, masing-masing dipisahkan lautan luas. Kemudian Ayato menyadari beberapa titik di tempat tertentu.
"Kenapa ada titik di Ingla?" Ayato menunjuk pulau di utara benua safir. Sebelumnya dia pernah melihat peta Benua Safir di rumah Eve, jadi dia tahu pulau itu adaah Ingla.
"Itu letak dimana gerbang migrasi didirikan, lihat." Eve menunjuk titik lain di benua Zamrud. "Disini kota Wallett, tempat tujuan kita."
"Karena Yamato adalah negara pulau, jadi setelah tiba di Wallett, kita harus naik kapal menuju kesana," tambah Sakura. Dia lalu menunjuk sebuah pulau di ujung timur benua Zamrud.
Suara gemuruh menghentikan percakapan itu. Ayato bisa melihat pintu gerbang yang tadinya gelap perlahan mulai bercahaya.
"Ayo, gerbangnya hanya terbuka selama satu jam."
Mereka bertiga bergabung dengan antrian panjang di depan gerbang. Sakura memberitahu mereka bahwa maksimal hanya boleh lima orang yang memasuki gerbang sekali waktu. Jadi mereka harus menunggu agar bisa masuk bersama.
Ketika memasuki gerbang itu, cahayanya begitu terang sampai Ayato harus terus menutup matanya. Hingga saat kakinya kembali menginjak tanah, dia bisa merasakan cahaya mulai berkurang disekelilingnya.
Ayato membuka mata, kini gerbang migrasi berada di belakangnya. Bersamaan dengan orang-orang yang lalu-lalang di sekitar gerbang. Lapangan ini agak kecil, lentera gantung dipasang di sekeliling area gerbang.
"Mataku yang salah atau memang tiba-tiba jadi sore?" Ayato mengerutkan kening. Padahal mereka jelas berangkat tengah hari, tapi tiba-tiba matahari sudah hampir terbenam saja.
Eve mendengus, "Kau yang bodoh, ada perbedaan waktu enam jam antara kota Wallett dan Ingla. Jelas saja si tempat ini sekarang sudah sore."
Ayato bergumam tanda mengerti. Jadi di dunia inipun juga ada perbedaan waktu.
"Kapal terakhir menuju Yamato akan berangkat dua jam lagi. Kita bisa pergi ke pelabuhan dahulu sembari beristirahat," ajak Sakura.
Sepanjang perjalanan menuju pelabuhan, Ayato melihat banyak karavan dagang dan orang-orang yang bertransaksi. Kota itu seolah-seolah hanya diisi aktivitas perdagangan saja. Ayato lantas menanyakan hal ini pada Sakura.
"Wallett adalah kota transit,"jelas Sakura. "Para pedagang dari berbagai tempat berkumpul di kota ini untuk menjual, membeli, atau menukar barang dagangan mereka. Bisa juga sekedar singgah sebelum melanjutkan berdagang ke daerah lain. Intinya, pusat ekonomi benua Zamrud berada di kota ini."
Sembari mendengarkan penjelasan Sakura, mereka telah sampai di pelabuhan. Menurut Sakura, perjalanan akan makan waktu semalaman dan mereka akan tiba di Yamato pagi hari keesokan harinya.
Laut begitu tenang. Ayato hampir lupa bahwa saat ini dia tengah terombang-ambing di atas laut. Hari masih gelap. Sayangnya, Ayato bangun terlalu awal dan dia tidak yakin apakah bisa melanjutkan tidur lagi.
Ayato melompat dari tempat tidur dan mengintip melalui jendela kabin, dia bisa melihat sedikit semburat oranye di langit jauh di sana. Hari telah berganti, Ayato lalu memutuskan sebaiknya dia tidak kembali tidur.
Eve masih tertidur pulas di sampingnya. Sebenarnya mereka beruntung bisa mendapat kabin yang kondisinya cukup baik. Menurut Sakura, beberapa kabin penumpang di kapal itu kondisinya tidak terawat dan biasanya diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak sanggup membayar lebih. Walaupun pada akhirnya Ayato dan Eve harus berbagi kabin untuk menghemat pengeluaran.
Berniat untuk tidak membangunkan Eve, Ayato berjalan perlahan ke wastafel dan mencuci muka. Mungkin dia akan keluar saja dan melihat matahari terbit di haluan.
Ayato sempat mengerling kabin sebelah saat keluar, kabin Sakura. Dia bertanya-tanya apakah cewek itu juga masih tidur. Ayato melihat jam besar di ujung lorong, masih jam empat pagi.
Baik lorong dan haluan sangat sepi. Hanya ada beberapa awak kapal dan penumpang yang bangun terlalu pagi seperti dirinya.
Kemudian Ayato melihatnya, sosok ber-yukata yang sudah tidak asing itu.
"Kau juga sudah bangun?" Ayato menghampiri sosok itu. Sakura tengah menyandarkan tubuhnya ke tepi haluan. Pandangannya menatap lurus ke arah terbitnya matahari.
"Ayato... selamat pagi." Menyadari Ayato sudah berada di sampingnya, Sakura menoleh.
Ayato turut menyandarkan tubuhnya ke haluan. "Yang di sana itu, tujuan kita, 'kan?" Ayato menyadari titik-titik gelap tepat di bawah semburat oranye, yang dia yakini sebagai pulau Yamato, negerinya matahari terbit.
"Iya." Sakura mengangguk.
"Yamato itu negeri yang seperti apa?"
"Yamato itu negeri yang indah!" Sakura terdengar sangat antusias saat menjawab. "Karena sekarang musim panas, mungkin udaranya jadi agak lembap. Tapi kita bisa mendengar suara jangkrik di malam hari. Lalu akan ada festival kembang api di waktu-waktu tertentu..."
Dibanding penjelasan Sakura, antusiasme anak itu saat bercerita jauh lebih menarik menurut Ayato. Senyum alaminya sangat manis, Ayato jadi ikut senang saat melihatnya. Diam-diam dia jadi merasa bersalah karena sudah meragukan Sakura sebelum ini.
"Oh iya, Ayato dan Eve berteman baik, kan?" Mendadak Sakura mengubah topik pembicaraan.
"Eh, yah... tidak juga, kami belum lama bertemu..." Ayato agak kaget saat ditanya begitu.
"Aku juga mau." Sakura menggenggam tangan Ayato. Tubuh Sakura sedikit lebih tinggi dari Eve, jadi mereka bisa saling bertatapan.
Langit semakin cerah, matahari mulai menampakkan wujudnya di kejauhan. Saat itu, senyuman Sakura terlihat begitu hangat dibawah terpaan sinar matahari pertama pagi itu.
"Aku juga ingin menjadi teman kalian!"
-----
Published on: 02/07/2021
1406 words
-Eri W. 🍁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro