14. Sang Penyihir Muda
II. The Young Sorcerer -last-
Alastor mungkin memang agak sinting, tapi dia hebat.
Selama beberapa hari terakhir ini, dia terus-menerus menyihir benda-benda menjadi hidup untuk bahan latihan Ayato. Setelah tumbuhan pemakan segala, golem tanah, lalu kemarin, pohon oak hidup yang bisa menghantamkan dahan-dahannya ke segala arah.
Berkat itu, kemampuan Ayato berkembang pesat. Sekarang dia bisa mengontrol kecepatan angin dari pedangnya, yang sekarang terasa lebih ringan dari sebelumnya. Berkat latihan ini jugalah Ayato jadi tahu jatah pemanggilan petirnya hanya sekali sehari.
Namun, Ayato tahu kemampuannya saat ini masih belum seimbang dengan ketiga pahlawan. Setiap hari, dia terus mengikuti berita mengenai pahlawan di surat kabar, mereka berkeliling dunia dan membasmi monster bersama pengikut masing-masing. Ayato sendiri tidak tahu apakah akan tetap berperan sebagai pahlawan atau mencari peruntungan lain setelah ini.
"Guru belum memberinya serangan ombak hidup?"
Kemajuan lainnya adalah, bagaimana hubungannya dengan Eve membaik. Ayato ingat bagaimana cowok itu bersikap kurang ramah padanya saat pertama kali. Sekarang, setelah Eve menceritakan sedikit kisah masa lalunya pada Ayato tempo hari, dia jadi lebih terbuka.
"Apa yang harus kulawan hari ini?" Ayato bertanya saat mereka sudah tiba di tepi hutan Bluebell, tempat dia biasa berlatih.
Alastor memutar-mutar ujung tongkat dengan jarinya. Kemudian dia menatap Eve.
"Eve, pergilah ke stasiun Bluewood. Mereka hampir kehabisan stok batu sihir." katanya.
Kekecewaan jelas sekali terlihat pada wajah Eve. "Aku tidak ikut latihan hari ini?"
"Sebenarnya mereka sudah meminta bantuan padaku sejak dua hari lalu, aku hanya malas menanggapinya. Bilang saja aku sedang ada urusan." Alastor mengibaskan tangan seperti sedang mengusir.
"Jika sempat, mampirlah sebentar ke desa. Kudengar penggiling gandum milik Pak Morland sedang bermasalah," lanjutnya.
Eve mengeluh. Tapi toh, dia tetap mengeluarkan sapu dan meluncur turun dari bukit. Alastor menunggu sampai sosok Eve menghilang di kaki bukit. Kemudian dia berbalik dan melemparkan beberapa bola api ke kaki Ayato, yang langsung membuatnya kaget setengah mati akan serangan tiba-tiba itu.
Alastor tersenyum miring. "Payah, serangan begitu saja sudah membuatmu kewalahan. Bagaimana saat nanti kau berhadapan dengan monster betulan?"
Serangan itu jelas membuat Ayato agak kesal. Tapi setelah asap dari bola api yang tadi dilemparkan mulai menipis, dia berucap, "Jadi... apa yang ingin Anda bicarakan?"
Alastor mengangkat alis, tidak mengira Ayato langsung mengerti tujuannya. "Kau sudah mengerti? Baguslah."
"Sesuatu yang tidak boleh didengar Eve?" terka Ayato sembari melirik ke kaki bukit.
Alastor menghela napas, dia lalu memunculkan sebuah kursi berlengan lewat ayunan tongkatnya. Ayato membelalak, pasti praktis sekali jika dia juga bisa memunculkan kursi dari udara kosong seperti itu.
Begitu duduk, Alastor melepaskan lencana yang tersemat di dadanya. "Kau tahu apa ini?"
Perisai dengan dua tongkat bersilangan dan dua ekor singa di masing-masing sisinya. Ayato tahu itu, sama seperti lencana yang dimiliki Diego di Iberia.
"Great Sage, 'kan? Eve sudah menceritakannya padaku."
"Tepat." Alastor mengusap pelan lencana itu dengan jarinya. "Kau tahu bagaimana gelar ini diwariskan?"
"Kalian yang memilih sendiri penerusnya," ucap Ayato. "Dan... Anda ini mewariskan gelar itu pada Eve?"
Tatapan Alastor padanya mengisyaratkan bahwa tebakan Ayato benar.
"Tapi dia menolaknya?"
"Dia selalu beralasan bahwa dirinya tidak cukup kuat untuk menjadi pewarisku." Alastor kembali menyematkan lencana itu di dadanya. "...anak bodoh, menjadi Great Sage tidak melulu soal kekuatan. Dia bahkan belum menyadari potensi dirinya sendiri."
Sebersit pertanyaan terlintas di benak Ayato. Dia jadi penasaran kenapa Alastor begitu yakin bahwa Eve adalah penerus yang tepat.
"Eve bilang Anda juga punya murid di tempat lain. Tapi kenapa Anda yakin sekali dengan Eve?" tanya Ayato.
"Bocah, sudah bertahun-tahun aku menjadi pengajar. Eve memang bukan muridku yang terkuat, tapi aku tidak bisa menyerahkan gelar ini kepada selain dia." Alastor membetulkan posisi di kursinya sembari mengatakan itu.
"Anak itu punya potensi besar. Aku menyadarinya sejak almarhum orangtua Eve menunjukku sebagai wali, lalu saat dia tinggal denganku, kuangkat dia menjadi murid secepat yang kubisa."
Hening sesaat. Jadi begitu, Ayato ingat Eve sebelumnya juga bilang bahwa Alastor adalah walinya. Orangtua Eve sudah tiada, dan karena itu sekarang dia tinggal bersama pria ini.
"Kau mendengarku, Bocah Petir?"
Lamunan Ayato buyar. "Ah, iya?"
Ayato bisa merasakan tatapan Alastor padanya bertambah tajam.
"Dari awal aku sudah menyuruh Eve untuk bergabung dengan pahlawan, tapi anak itu keras kepala. Sekarang karena hanya ada kau di sini, bisakah aku minta bantuanmu?"
Ayato menunggu, apa yang diinginkan seorang penyihir besar dari dirinya?
"Bawalah Eve bersamamu."
"Eh?" Ayato mengerjap. Masih berusaha mencerna permintaan itu.
Alastor mengusap kepalanya tak sabar. "Ada tugas yang harus kau jalani sebagai seorang pahlawan, 'kan. Untuk melakukannya kau tetap membutuhkan rekan, maka jadikanlah Eve sebagai rekan pertamamu. Atau kau berniat tinggal selamanya di tempat ini?"
"Tidak sih, tapi..." Ayato berkilah, "Mereka menyingkirkanku tempo hari, aku bahkan tidak yakin apakah sekarang masih bisa kembali dan menyandang peran pahlawan itu--"
"Kau harus, itu sudah seharusnya." Alastor menunjuk tepat ke wajah Ayato dengan tongkatnya, Ayato jadi khawatir kalau-kalau bakal ada bola api menyembur.
"Jika masih ragu, kenapa tidak coba buktikan dirimu saja. Menyelamatkan daerah tertentu dari monster, misalnya," saran Alastor.
Ayato menimbang-nimbang saran itu. Mungkin dia bisa sekalian menguji kekuatan barunya.
"Ah, tetapi itu saja tidak cukup, kau masih kurang latihan dalam hal teknik berpedang," kata Alastor.
"Latihanku dengan Anda masih belum cukup?"
Alastor mendengus, seolah jawaban dari pertanyaan itu sudah cukup jelas, "Aku ini penyihir, bukan ahli pedang. Jika kau ingin mengasah kemampuan berpedangmu, carilah seorang pengguna pedang."
"Jadi aku harus mencari seorang ahli pedang?" Ayato menyimpulkan.
"Tidak harus ahli. Selama dia bisa mengayunkan pedang, itu cukup." Alastor lalu mengayunkan tongkatnya pelan-pelan, untaian cahaya merah tipis muncul dari tongkat itu. Lama-lama Ayato bisa melihat sebentuk gambar dari untaian itu, figur tiga manusia berjejer, dua dari mereka membawa pedang.
"Untung-untung kau bisa mendapatkan rekan lagi," lanjut Alastor. Untaian itu seketika hilang saat dia menjentikkan tongkatnya. "Dua pendekar pedang dan satu penyihir, kombinasi yang sempurna."
Mendadak Ayato jadi teringat masalah pengikut. Apa Eve mau begitu saja menjadi pengikutnya?
Alastor berdiri lalu menghilangkan kursinya. "Yah, hari ini cukup segini saja, aku mau pulang."
"Eh, tidak ada latihan?" tanya Ayato.
"Tidak untuk hari ini." Sebelum Alastor beranjak pergi, Ayato bisa menangkap pria itu tersenyum tipis. "Kalau begitu, mulai sekarang, kuserahkan Eve padamu. Jaga dia baik-baik, ya"
Ayato menatap punggung pria itu saat dia berjalan menjauh. Kemudian dia bersandar pada sebatang pohon dan menghela napas. Alastor benar, dia tidak mungkin tinggal di sini selamanya. Tetap atau tidak menjadi pahlawan, dia tetap harus hidup mandiri di dunia ini.
Lalu mengenai saran Alastor untuk menemukan seorang pendekar pedang. Mengingat tidak ada seorang pun yang mau menjadi pengikutnya saat di Iberia, Ayato jadi ragu apakah dia bisa menemukan seorang pendekar pedang yang mau bergabung dengannya nanti.
*
Stasiun Queen's Cross merupakan stasiun tersibuk di Kerajaan Ingla, kau harus berlari-lari jika tidak ingin ketinggalan kereta. Beruntung Nyonya Rudolf berhasil melompat ke gerbong tepat sebelum pintunya tertutup.
Naik kereta api pada jam sibuk bukanlah hal yang menyenangkan, nyaris tidak ada kompartemen yang kosong. Mungkin kali ini Nyonya Rudolf harus berbagi dengan orang lain. Tapi Nyonya Rudolf tidak begitu suka berbagi kompartemen dengan pria.
Kemudian dia menemukannya, kompartemen yang hanya diisi seorang gadis muda. Dengan riang, Nyonya Rudolf menggeser pintu kompartemen dan menyapa gadis itu.
"Permisi, maukah kau berbagi tempat denganku?"
Mata sang gadis yang sewarna ranting pohon menatapnya. Kemudian dia mengangguk sopan dan berkata, "Iya, silakan Nyonya."
Nyonya Rudolf senang sekali, terlebih gadis ini ternyata sangat sopan. Ketika sudah duduk nyaman di kursi kereta, Nyonya Rudolf memperhatikan gadis itu dari atas ke bawah. Rambut hitam sebahunya berkilau tertimpa sinar matahari dari jendela, ditambah hiasan rambut berbentuk bunga di sisi kiri kepalanya yang semakin menambah kesan manis. Tapi yang paling menarik adalah pakaiannya. Jika Nyonya Rudolf tidak salah ingat, itu pakaian yang sering dipakai oleh orang-orang timur, bukan jenis pakaian yang bisa ditemui di benua Safir ini.
"Kau akan turun di mana?" Nyonya Rudolf bertanya sekedar untuk basa-basi.
Gadis itu menatap Nyonya Rudolf, kemudian dia menjawab pendek, "Stasiun Bluewood."
Nyonya Rudolf mengangkat alis. Hanya ada satu desa di dekat Stasiun Bluewood, dan gadis itu sepertinya tidak ingin pergi ke desa. Jadi hanya ada satu tempat yang ingin dikunjungi sang gadis.
"Ingin menemui Tuan Reiss? Butuh layanan sihir?" Nyonya Rudolf tahu mengenai sang Great Sage, Alastor Reiss, yang kerap mendapat tamu dari luar negeri.
Gadis itu memasang senyum penuh misteri.
"Bukan."
***
Arc II. The Young Sorcerer
End
To be continued to
Arc III. The Flower Maiden
coming soon...
***
Published on: 13/06/2021
1385 words
-Eri W. 🍁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro