Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Kenangan

II. The Young Sorcerer

Eve harus mengakuinya, hutan Bluebell adalah salah satu tempat terindah di dataran Ingla.

Dengan pepohonan yang jaraknya berjauhan dan semak Bluebell ungu tersebar di berbagai tempat, daerah itu jadi kelihatan sejuk dan indah.

Namun, sesuatu yang kelihatan indah seringkali berbahaya. Banyak tumbuhan karnivora dan makhluk-makhluk aneh lain yang berkeliaran di hutan itu, terutama saat malam tiba. Itulah alasan mengapa Alastor tidak pernah mengizinkan Eve keluar sesudah matahari terbenam. Rumah Alastor menjadi satu-satunya tempat teraman di hutan itu.

"Jangan menahan diri, ingat apa yang kukatakan kemarin."

Karakteristiknya yang unik membuat hutan Bluebell menjadi tempat yang sangat cocok untuk latihan. Dan di sinilah mereka sekarang.

Alastor serius saat dia bilang akan melatih Ayato. Dan sepertinya cowok itu juga sama seriusnya.

Ayato telah siap dengan pedangnya ketika Alastor mengacungkan tongkat padanya. Dengan sekali gerakan, tanah di depan Ayato bergerak dan mengumpul di satu tempat. Gumpalan tanah itu semakin mengeras dan membentuk sosok humanoid setinggi sembilan meter, sesosok golem.

"Ukurannya dua kali lebih besar dari kemarin!" teriak Ayato. Dia pasti sudah melebur dengan tanah jika tidak segera menghindari hantaman golem tepat ke tanah yang tadi dipijaknya.

"Dia tidak bisa ditebas dengan pedang begitu saja, coba temukan kelemahannya," perintah Alastor.

Sementara Eve sejak tadi bersandar pada batang pohon untuk ikut menyaksikan latihan Ayato. Dia berpikir hari itu dia bisa bersantai sembari mengawasi Ayato bersusah-payah melawan golem, tapi...

"Eve, di belakangmu!"

Hampir saja, Eve pasti sudah tergelincir jika Ayato tidak memperingatkannya. Tanah yang dia pihak bergetar dan membentuk sesosok golem, persis seperti tadi. Eve menoleh dan menyadari bahwa Alastor telah mengacungkan tongkat ke arahnya, disertai seringai di wajah.

"Kenapa aku juga!?" protes Eve. Dia mencabut tongkat dan bergerak menjauh untuk menciptakan jarak dengan si golem.

Tapi Alastor hanya melambai malas. "Nah, bersenang-senanglah kalian berdua, aku mau tidur siang." Dengan itu, dia berjalan menjauh dan meninggalkan kekacauan yang baru saja dia perbuat.

Untunglah gerakan si golem agak lambat, itu memberi cukup waktu pada Eve untuk berpikir. Tapi menghabisi sosok golem setinggi sembilan meter bukan perkara mudah. Saat dirinya tengah memanipulasi sulur-sulur pohon untuk membelit si golem, Eve bersinggungan dengan Ayato.

"Perlu bantuan?"

"Tidak. Urus saja dirimu sendiri." Eve melihat bagaimana tebasan pedang Ayato bahkan tidak berefek pada si golem. Bekas goresan dengan cepat melebur kembali menjadi tanah, membuat tubuh si golem tetap utuh.

Sekarang bagaimana? Sulur tanaman tidak cukup kuat untuk menahannya. Beberapa bola api dari Eve juga hanya membuat rumput di bawah kaki si golem jadi gosong, tanpa bisa melukainya.

Tanpa sadar, rupanya Eve sudah berada di area yang sedikit terbuka. Dia mendongak dan memandang arak-arakan awan putih di langit. Hari itu langit cerah.

Itu dia! Rasanya sekarang Eve tahu cara menghabisi dua golem sekaligus.

"Ayato! aku punya ide, pancing golem itu kemari!" teriak Eve. Beruntung Ayato mendengarnya. Dan sebenarnya memancing golem ke tempat itu bukan hal yang sulit karena sejak tadi dia terus menghindari serangannya yang begitu brutal.

"Kau bisa memanggil awan petir seperti di hutan waktu itu, 'kan?" tanya Eve ketika Ayato sudah di sampingnya.

"Akan kucoba. Tapi aku tidak yakin petir bisa menghabisi dua golem tanah--"

"Tidak masalah, aku hanya butuh awannya," potong Eve.

Meski masih tidak mengerti, Ayato tetap mengangkat pedangnya ke langit. Eve melemparkan beberapa bola api ke kaki para golem untuk mengulur waktu. Seketika, awan gelap mulai berkumpul tepat di atas para golem.

"Segini cukup?" Ayato menurunkan pedangnya. Awan hitam bergemuruh di atas mereka disertai kilatan-kilatan kecil, seolah siap menyambar apapun di hutan itu.

"Sudah cukup, terima kasih." Eve lalu mengarahkan tongkatnya tepat ke depan dua golem tersebut. "Sekarang, kuharap kalian tidak keberatan sedikit basah."

Guntur menggelegar, kali ini disertai hujan yang teramat deras, langsung ke atas kepala dua golem tersebut. Eve tersenyum puas saat menyaksikan tubuh kedua golem tersebut melebur akibat derasnya hujan.

"Pernah coba jadi tanah longsor?" katanya.

Awan gelap sudah hilang dan langit kembali cerah seperti sedia kala. Tidak ada yang tersisa pada diri golem kecuali gundukan tanah becek tak berbentuk. Eve jatuh terduduk karena kelelahan, dadanya jadi agak sesak akibat sihir berat semacam itu.

Ayato ikut duduk di sampingnya. Dia mengusap wajahnya yang basah kena hujan sembari bergumam, "Dia gila."

"Memang."

Eve langsung tahu yang dimaksud adalah Alastor.

Cukup lama mereka berdua duduk di tempat itu, beristirahat sembari mengeringkan pakaian yang masih agak basah. Untung saja hari itu Eve tidak memakai jubahnya, tapi kemejanya jadi terasa agak dingin.

"Jadi... apa itu Great Sage?"

"Eh?"

Ayato yang pertama kali memecah kesunyian. "Kau yang bilang, Pak Alastor itu seorang Great Sage. Aku juga pernah bertemu satu di Iberia, apa itu semacam gelar kehormatan?"

Eve berpikir sebentar. "Gelar kehormatan, ya, mungkin seperti itu. Pokoknya, itu gelar yang hanya diberikan pada penyihir terbijak di negaranya."

Ayato mengerutkan kening. "Terbijak? Orang itu?" katanya heran.

"Aku kurang mengerti bagaimana kualifikasi untuk mendapatkan gelar itu. Yang jelas, Great Sage penerus selalu dipilih oleh pendahulunya, biasanya mereka akan mengangkat murid untuk mencari calon penerus," jelas Eve.

"Itu berarti, kau akan menjadi penerus Alastor?" Ayato menyimpulkan.

"Tidak."

"Kenapa, bukankah kau muridnya? Kau bahkan tinggal bersamanya, 'kan?"

Eve mengganti posisinya menjadi bersandar pada pohon terdekat. "Sejak awal Pak Alastor itu waliku, jadi wajar jika aku tinggal dengannya. Lagipula, Guru juga mengajar di tempat lain, jadi aku bukan satu-satunya murid."

"Tapi kau kuat."

"Tidak cukup. Yang bisa menjadi Great Sage hanya orang yang sudah kuat dari awal, sedangkan aku..." Eve menarik napas. "...sampai usia sepuluh tahun, aku tidak bisa menggunakan sihir."

Hening sesaat, sampai kemudian Ayato bertanya, "Eh, apa itu gawat?"

"Seorang penyihir biasanya bisa mengeluarkan sihir sederhana sejak usia empat atau lima tahun, seperti ini." Eve menggosok tangannya dan memunculkan hembusan angin topan kecil di sana. "Tapi bahkan sampai usiaku menginjak sepuluh tahun, tongkatku tidak menghasilkan apa-apa.

"Aku lahir di desa penyihir. Dan karena keterbatasan ini aku  sering dirudung, sampai..."

Eve menghentikan kata-katanya. Apa tidak apa-apa menceritakan hal ini pada Ayato?

"Sampai?"

"Orang itu datang..." Eve memutar-mutar ujung tongkat dengan jarinya. Dia belum pernah menceritakan soal ini pada orang lain selain Alastor. Meski agak ragu, tapi Eve merasa Ayato perlu mendengar cerita ini.

"Siapa?" tanya Ayato.

"Aku tidak ingat nama maupun wajahnya, tapi dia cuma laki-laki aneh yang tiba-tiba muncul. Dan karena beberapa hal, dia tinggal di rumahku untuk sementara waktu.

"Dia bukan orang yang spesial, tapi sesaat setelah aku bertemu dengannya, aku bisa melakukan sihir untuk pertama kalinya."

"Apa dia melakukan sesuatu padamu?" tanya Ayato. Dia sudah menggeser posisi duduknya jadi lebih dekat pada Eve.

Eve menggeleng. "Seingatku tidak, dia bukan penyihir atau semacam itu."

Kemudian dia melanjutkan, "Setelah aku bisa menggunakan sihir, dia pergi."

"Pergi?"

"Dia hilang begitu saja. Tapi sebelum pergi, dia bilang begini padaku..." Eve berusaha menahan suaranya agar tidak gemetar. "'Kita akan bertemu lagi. Mau lewat berapa tahun pun, kau pasti akan menemukanku. Aku janji'."

"Tunggu, bagaimana kau bisa menemukannya jika wajah atau namanya saja kau tak ingat?" tanya Ayato.

"Entahlah, sudah lewat tujuh tahun sejak saat itu. Dan sekarang... aku tidak berharap banyak..."

Eve bisa menangkap raut muka Ayato berubah serius. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

"...Dia akan datang?"

"Eh?"

Eve mengerjap mendengar kata-kata Ayato barusan. Tapi kelihatannya Ayato sendiri kurang yakin dengan kata-katanya.

"Dia sudah janji padamu... mungkin dia akan datang bagaimanapun caranya. Yah, kalau aku ada di posisinya... aku tidak akan mengingkari janji itu begitu saja..."

Eve melongo. Bagaimana Ayato bisa berpikiran seperti itu? Apa itu sekedar kata-kata penghiburan untuknya? Tapi kedengarannya tidak seperti itu.

Yang manapun itu, ucapan Ayato barusan tidak bisa tidak membuat Eve tertawa.

"Apa sih, kau bicara seolah-olah kenal baik dengannya," kata Eve di sela-sela tawanya.

"Ap-bukan begitu, aku hanya mengatakan apa yang ada dalam pikiranku!" bela Ayato. Kelihatannya dia kesal karena Eve malah tertawa, tapi ada sedikit rona merah di pipinya.

"Iya, iya... aku ngerti kok, Tuan Sok Tahu."

"Oi!"

Ada beban berat yang terangkat dari dadanya. Eve bersyukur dia memilih menceritakan hal itu pada Ayato hari ini. Mungkin Ayato benar, tidak ada salahnya masih menyimpan sedikit harapan. Siapa tahu kelak Eve benar-benar bisa bertemu orang itu lagi.

-----
Published on: 06/06/2021

1334 words
-Eri W. 🍁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro