12. Bukit Bluebell
II. The Young Sorcerer
Hujan baru saja turun.
Tanahnya basah dan baunya masih terasa. Eve meregangkan badannya yang agak pegal setelah menempuh perjalanan jauh. Stasiun Bluewood masih sama seperti saat terakhir kali dia pergi.
"Kita harus tiba di bukit Bluebell sebelum hari gelap, ayo," kata Eve sambil setengah berlari.
Mereka menyebrangi bantaran stasiun, menuju bukaan hutan berbukit. Tidak kelihatan ada rumah di sana, namun Eve membawa mereka berdua lebih jauh ke dalam hutan.
"Kalian para penyihir apa selalu tinggal di tempat terpencil begini?" Ayato berusaha mengejar Eve. Beberapa kali dia hampir terjatuh karena tersandung akar pohon.
"Tidak selalu." Akhirnya Eve memperlambat jalannya. "Tapi memang tidak ada rumah lain di sekitar hutan Bluebell selain rumah Guru, desa terdekat ada di seberang stasiun."
Mereka melewati jalan menanjak yang ditumbuhi semak Bluebell di sisi kanan-kirinya. Semakin ke dalam, pohon-pohon semakin jarang dan banyak semak Bluebell memenuhi petak-petak tanah. Ditengah pemandangan menyejukkan itu, sebuah rumah bergaya Viktoria bertingkat dua jadi kelihatan begitu kontras.
"Kita sampai."
Rumah itu tidak sebesar manor milik orang-orang kaya di kota, tapi sangat nyaman. Sebidang tanah kosong mengitari rumah itu dalam radius satu setengah meter, seolah-olah ada pagar transparan yang mencegah semak-semak tumbuh di sana.
Eve berjalan ke pintu masuk yang terbuat dari kayu ek. Tidak dikunci. Jadi dia membukanya dan berteriak, "Aku pulang!!"
Tidak ada sahutan. Tapi Eve melihat seorang pria tengah duduk di kursi ruang tamu, melemparkan tatapan tajam pada mereka berdua.
"Guru." Eve menghampiri pria itu. Dia adalah Alastor Reiss, guru sihir Eve sekaligus pemilik rumah itu. Kelihatannya pria itu baru berusia akhir dua puluh-an, tapi Eve yakin usia sebenarnya jauh lebih tua daripada itu. Rambut cokelat panjangnya diikat ekor kuda di belakang punggung, dia memakai jubah biru malam yang sama seperti milik Eve.
"Aku tahu Guru pasti akan menungguku, tapi karena suratku tidak dibalas--ADUH!!"
Eve menghentikan kata-katanya ketika Alastor mendaratkan sebuah cubitan di pipinya. Pria itu mendengus. "Bukankah aku menyuruhmu untuk bergabung dengan salah satu pahlawan?"
"Tidak mau, lagipula Ayato 'kan juga pahlawan!" sanggah Eve sambil mengusap pipinya yang memerah.
"Apa itu jadi alasan untuk membawanya kemari? Kau ingin rumah ini ambruk gara-gara kebanyakan muatan, hah?"
"Yang tinggal di sini cuma aku dan Guru!"
Saat itu, Eve baru menyadari Ayato yang sedari tadi hanya berdiri mematung di ambang pintu. Tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menginterupsi pertemuan guru dan murid itu.
"Masuklah Ayato, biar kuperkenalkan." Eve berdiri di tengah-tengah kedua lelaki itu. "The Great Sage of Ingla, Alastor Reiss. Guru sihirku."
Eve beralih menatap Alastor. "Lalu, Guru, ini Ayato--"
"Sudah tahu." Pria itu menginterupsi. Alastor berjalan mendekati Ayato, menatapnya tajam.
"Eh... selamat sore?" kata Ayato gugup. Jelas sekali aura keberadaan Alastor telah mengintimidasinya.
Alastor mengusap dagunya. "Aku sudah baca surat dari Eve, kau pahlawan tak berbakat itu, 'kan?"
"Tadinya, iya..." jawab Ayato. "Tapi dua hari lalu, entah bagaimana kekuatanku bangkit. Aku juga tidak mengerti."
Alastor mengangkat alis. Kemudian dia menoleh pada Eve untuk minta penjelasan, yang ditanya hanya mengangkat bahu. Eve mengirim surat saat Ayato belum sadar, jelas dia juga tidak mengerti soal kebangkitan kekuatan itu. Eve sendiri juga kaget ketika Ayato memanggil petir dengan pedangnya waktu di hutan.
"Haaah... ini kasus yang langka, ya..." Alastor menggaruk tengkuknya. "Pokoknya biar kulihat dulu sekuat apa dirimu. Ayo keluar."
"Eh? Baik!" Ayato tadinya juga agak bingung, tapi pasti dia tak punya pilihan selain mengikuti pria yang baru ditemuinya itu.
"Lalu, Eve, bersihkan dirimu kemudian buatlah makan malam untuk kita bertiga," kata Alastor sebelum menutup ambang pintu.
Eve hendak memprotes. "Eh!? Tapi aku baru saja tiba--" Yang langsung diurungkannya begitu mendapat pelototan dari gurunya.
Sembari menyiapkan makan malam, Eve bertanya-tanya apa yang akan gurunya lakukan pada Ayato di luar. Sudah tujuh tahun Eve tinggal bersama Alastor dan dia tahu gurunya itu bukan tipe pria yang akan bersikap lunak.
Sekali waktu, dia bisa mendengar guntur menggelegar di suatu tempat di hutan, namun hanya itu. Saat matahari hanya tinggal segaris merah di ufuk barat, Alastor kembali.
"Bocah itu lumayan, dia akan bertambah kuat seiring waktu." Pria itu duduk di meja makan sambil bertopang dagu.
"Apa yang Guru lakukan padanya?" tanya Eve.
Alastor mengangkat bahu. "Hanya melihat sejauh mana dia bisa bertahan."
Terdengar suara pintu terbuka. Ayato masuk. Kemejanya agak kotor. Tapi sepanjang yang dilihat Eve, dia tidak terluka.
"Bersihkan dirimu lalu makanlah. Kamarmu ada di ujung lorong, nanti minta Eve untuk mengantarmu."
Ayato menjawab dengan gumaman Baik kemudian melangkah menuju kamar mandi yang sebelumnya ditunjuk Alastor. Saat Ayato sudah di luar jangkauan pendengaran, Alastor beralih menatap Eve.
"Jadi, apa alasan kau membawa Bocah itu kemari?"
"Aku ingin Guru mengajarinya cara mengontrol kekuatan," jawab Eve sambil sibuk menuang makan malam di piring, tanpa menatap lawan bicaranya.
"Cuma itu?"
Eve menghentikan kegiatannya. Dia menghela napas, tahu bahwa mustahil menyembunyikan apapun dari gurunya itu. Terlebih, Alastor sudah pasti mengetahui apa yang dia pikirkan.
Menangkap gelagat Eve yang berubah, Alastor menyeringai. "Dia mengingatkanmu pada orang itu, bukan?"
Eve meletakkan nampan berisi makan malam di meja. Dia duduk kemudian menenggelamkan wajah ke telapak tangannya.
"Iya." jawabnya singkat.
"Aku mengerti perasaanmu." Alastor bersandar pada kursinya. "Kuakui, memang ada sesuatu yang menarik pada diri Bocah itu. Kau sendiri, apa yang membuatmu tertarik padanya?"
Eve mengetukkan jarinya di permukaan meja, berpikir. "Aku tidak tahu. Saat pertama kali aku melihatnya di pertunjukan, atau saat dia sekarat di hutan, aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Lalu..."
Eve sendiri tidak mengerti bagaimana Ayato bisa begitu mengingatkannya pada sosok seseorang di masa lalu. Orang itu. Bagi Eve, keberadaan Orang itu adalah sepintas kenangan masa lalu yang manis, yang mungkin tidak akan pernah dia rasakan lagi.
"Kau tidak makan?"
Kata-kata Alastor sontak membuyarkan lamunan Eve. Pria itu masih duduk bertopang dagu. "Kau ingin masakanmu keburu dingin?"
Eve menggeleng. Tidak boleh! pikirnya. Dia tidak boleh tenggelam dalam masa lalu seperti ini. Jadi dia mengalihkan pikirannya dengan menyibukkan diri dengan makan malamnya.
Pembicaraan mereka berhenti ketika Ayato muncul, Eve mengisyaratkan padanya untuk bergabung di meja.
"Kulihat kau punya banyak potensi, tidak berniat kembali jadi pahlawan?" tanya Alastor saat Ayato sudah bergabung dengan mereka di meja.
Ayato diam sebentar sebelum menjawab, "Entahlah, aku tidak ingin berharap banyak untuk saat ini."
Ada rasa penasaran yang mengusik Eve, dia bisa melihat ada sesuatu dalam diri Ayato. Harusnya Eve membenci pahlawan, tapi kasus Ayato lain. Dan sekarang, dia jadi agak senang setelah tahu mungkin Ayato masih akan tinggal bersamanya sedikit lebih lama lagi.
----
Published on: 30/05/2021
1062 words
-Eri W. 🍁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro