11. Menuju Ingla!
II. The Young Sorcerer
Dunia itu lucu. Atau, begitulah pikir Eve.
Setelah Benturan Besar tiga ratus tahun yang lalu, dunia dibuat kalut. Monster datang dari belahan dunia lain dan menyerang kota-kota. Orang-orang kewalahan. Namun, haruskah sampai membuka gerbang dimensi dan minta bantuan dari dunia lain? Sepayah itukah dunia ini?
Eve benci pahlawan. Dia tidak terima ada orang asing yang datang ke dunia ini dan mendapatkan kekuatan besar. Kekuatan yang pada umumnya baru didapat seseorang setelah latihan bertahun-tahun.
Tapi sepertinya hanya dia sendiri yang berpikir demikian. Pahlawan begitu dipuja, begitu banyak yang ingin mengikuti mereka. Eve sendiri sudah muak melihat berita-berita mengenai pahlawan di surat kabar selama beberapa hari terakhir ini. Bahkan gurunya sendiri menyarankan Eve untuk bergabung dengan salah satu pahlawan, tentu saja dia tidak mengikuti saran itu.
"Eve."
Hanya satu pengecualian. Entah bagaimana, Eve tidak bisa mengabaikan Ayato dengan ketiadaan kekuatannya saat di pertunjukan, juga saat dia sekarat di hutan setelah mendapat serangan naga. Padahal secara teknis, Ayato juga menyandang gelar pahlawan.
"Kau bilang akan menjelaskan detailnya setelah sarapan, 'kan?" Ayato bertumpu pada kursi dengan muka masam. Dia baru saja selesai membereskan peralatan makan. Setelah cowok itu siuman kemarin siang, tugas beres-beres otomatis diserahkan padanya. Toh, Ayato sendiri tidak keberatan, hitung-hitung sebagai tanda terimakasih.
Eve melipat surat kabar terbaru yang tadi dibacanya. Tidak ada berita penting, topik mengenai pahlawan masih mendominasi. Dia menatap Ayato.
"Kau yakin mau ikut aku?" tanya Eve.
Ayato kelihatannya tidak sabar. Dia menarik kursi meja makan dan duduk, tepat menghadap Eve. "Sudah kukatakan aku tidak punya pilihan lain. Dan aku ingin lebih mengenal dunia ini," jelas Ayato. "Lagipula, kau sendiri yang mengatakan dari awal ingin mengajakku."
Eve tidak menyangkal. Sejak awal, dia memang berniat membawa Ayato pergi. Ada sesuatu yang menarik pada diri cowok itu. Dan entah mengapa, keberadaan Ayato mengingatkan Eve pada orang itu. Dia merasa agak risih juga, padahal dia sudah mulai berhenti berharap. Sudah lewat tujuh tahun, dia tidak akan datang begitu pikir Eve.
Mereka berdua sudah punya rencana. Eve akan pulang ke kampung halamannya dan membawa Ayato, mengenalkannya pada gurunya. Kemudian dia akan meminta sang guru agar dapat mengajari Ayato bagaimana cara mengontrol kekuatannya. Dia sudah menulis surat pada gurunya mengenai ini, tapi balasannya tak kunjung datang. Eve sendiri tidak begitu peduli.
Eve menarik selembar perkamen agak besar lalu melampirkannya di meja. Gambar pada perkamen itu menarik perhatian Ayato.
"Peta Benua Safir," kata Eve. Dia lalu menunjuk satu titik di ujung barat. "Kerajaan Iberia berada di ujung barat Benua Safir. Kita akan pergi ke utara..."
Ayato memperhatikan saat Eve menarik tangannya ke atas, ke sebuah pulau. "Melintasi Franka, selat Dover, lalu Kerajaan Ingla, kampung halamanku."
"Rupanya kau bukan penduduk asli Iberia?" tanya Ayato.
"Tentu saja bukan, tidak ada penduduk asli Iberia yang warna rambutnya pirang cerah," tandas Eve.
Dia melanjutkan. "Kita bisa melintasi Franka dengan kereta dari stasiun terdekat, berangkat jam sebelas tepat. Tapi karena perjalanan ke kota terdekat juga butuh waktu, kita akan berangkat sekarang juga."
Eve menggulung petanya. Saat itu baru pukul delapan. Tapi dia tidak ingin ambil risiko terburu-buru saat di stasiun nanti.
Eve menyukai wajah Ayato yang tercengang seperti orang bodoh saat dia mengerutkan pondok dan mengubahnya menjadi tas selempang dari serutan kayu, dengan sihir, tentu saja.
"Bagaimana kau melakukan-" Ayato terbata.
"Tas ini sudah dimodifikasi dengan sihir ruang." Eve menepuk tasnya. "Bisa diubah menjadi pondok kecil dengan segala perabotannya. Sangat praktis untuk perjalanan jauh, sekaligus menghemat ongkos penginapan."
Ayato menganggukkan kepala tanda mengerti. Tapi matanya tidak henti-hentinya beralih dari tas Eve ke sebidang tanah tempat pondok tadi berdiri. Sepertinya dunia asal Ayato tidak ada sihir, dan Eve senang mendengarnya. Mungkin lain kali dia akan mengerjai anak itu.
"Jalan setapak di sana itu tembus sampai ke kota terdekat, ikuti saja." Eve menunjuk jalan tanah tak jauh di depan. Dia lalu mengeluarkan sapu terbangnya.
Melihat itu, Ayato cepat-cepat menyela, "Tunggu, kau tidak ikut jalan denganku?"
"Jalan itu cuma satu arah, kok, kau tidak akan tersesat," kata Eve seraya melompat ke atas sapunya. "Pokoknya ketemu lagi di kota satu jam dari sekarang, sampai nanti."
Mengabaikan seruan protes Ayato dibelakangnya, Eve terbang menjauh.
"Sudah capek? Stasiun masih agak jauh, lho."
Itu hal pertama yang diucapkan Eve ketika Ayato tiba di batas kota. Dengan napas terengah akibat berjalan kaki selama hampir satu jam, dan langsung mengeluarkan protes.
Pada akhirnya, Ayato minta waktu untuk beristirahat. Sementara Eve membeli beberapa potong sandwich tuna di kedai terdekat, sebagai bekal sepanjang perjalanan. Menurutnya, makanan di kereta harganya terlalu mahal.
Mereka perlu berjalan kaki kurang lebih lima belas menit untuk sampai di stasiun. (Eve ikut jalan kaki dengan Ayato karena terbang dengan sapu di tengah kota itu berbahaya).
Mereka sudah tiba di stasiun dan Eve sepertinya harus membuat daftar Aku Tidak Mengerti Orang Ini atas Ayato. Cowok itu tercengang ketika melihat praktik sihir, namun ketika lokomotif uap besar terpampang didepannya, dia hanya mengamati benda itu sekilas lalu kembali mengalihkan pandang ke arah lain. Seolah lokomotif uap bukan sesuatu yang harus diberi perhatian lebih.
Padahal menurut Eve, lokomotif penyembur uap yang bisa menarik banyak gerbong berat sekaligus adalah salah satu hal paling menakjubkan yang pernah dia lihat sepanjang tujuh belas tahun hidupnya.
Kereta mulai bergerak saat mereka sudah duduk di kompartemen. Eve lalu menjelaskan perjalanan seperti apa yang akan mereka lalui.
"Batu sihir tidak bisa digunakan terus-menerus, paling tidak, kereta harus berhenti selama sepuluh menit di tiap stasiun. Lalu karena jarak tempuh yang panjang, mereka harus berhenti di stasiun Avion selama satu jam untuk dilakukan pemeliharaan. Kira-kira butuh waktu dua puluh dua jam untuk tiba di stasiun Dover."
Ayato mengangkat alis. "Batu sihir? Kukira kalian menggunakan batu bara."
"Apa itu?"
"Lupakan, mungkin aku salah. Tapi apa itu batu sihir?" tanya Ayato.
"Awalnya itu cuma batu biasa yang diberi sihir, dipasang pada benda-benda tertentu untuk mempermudah pekerjaan."
Eve melempar pandang ke luar jendela, mereka sudah meninggalkan kawasan perkotaan. "Banyal hal jadi lebih praktis berkat batu sihir. Ingat lampu-lampu jalan di kota tadi? Batu sihir di dalamnya akan menyala secara otomatis saat gelap."
"Lalu bagaimana benda itu membuat kereta bergerak?"
Ada ketertarikan di mata Ayato, Eve bisa melihatnya. Sebenarnya, Eve tidak begitu ahli di bidang peralatan, tapi akan dia coba jelaskan apa yang dia tahu.
"Ah... aku tidak begitu mengerti detailnya, tapi sepertinya mereka melancarkan sihir pemanas pada batu itu. Mungkin panas dari batu dapat menggerakkan roda?"
Ayato menggaruk dagunya seperti sedang berpikir. "Tidak, mereka memanaskan air, lalu panas dari uapnya akan menggerakkan roda."
"Eh, kau mengerti?"
"Kurang lebih, sepertinya aku mengerti bagaimana penggunaan batu sihir ini."
Sepanjang perjalanan itu, Eve memiliki banyak waktu untuk menjelaskan pada Ayato apa yang sudah terjadi selama dia tidur. Para pahlawan sudah bergerak dan nama mereka selalu terpampang di halaman depan surat kabar, bersama kemunculan monster yang tidak ada habisnya.
Eve juga menjelaskan bahwa pemanggilan pahlawan sudah dilakukan sejak tiga ratus tahun yang lalu setiap sepuluh tahun sekali. Artinya, masa tugas Ayato pun juga akan berakhir dalam waktu sepuluh tahun.
Menjelang petang, kereta berhenti di stasiun Avion. Eve memutuskan itu adalah saat yang tepat untuk berjalan-jalan sebentar sebelum kereta berangkat lagi saat hari sudah benar-benar gelap.
Pagi harinya, kereta berhenti di stasiun Dover. Eve tidak begitu suka tidur di kereta karena tubuhnya jadi agak pegal. Jika saat ini mereka langsung menuju dermaga dan mencari kapal, mereka akan tiba di tujuan menjelang sore.
Mereka tiba di dermaga saat kapal menuju Ingla akan berangkat. Eve lega sekali, dia lebih menyukai kapal daripada kereta.
"Eve, sebenarnya sedari tadi ada yang mengganggu pikiranku."
Eve menoleh. Ayato memang agak diam setelah turun dari kereta, entah apa yang ada dalam pikirannya.
Ayato menggaruk tengkuknya, menimbang-nimbang. "Sebelumnya kau bilang akan mempertemukanku dengan seseorang. Tapi bagaimana kalau orang ini ternyata malah menolakku?"
"Memang, dia pasti akan menghajarmu. Aku yakin," kata Eve cepat.
"Apa!? Lalu kenapa--" Jelas Ayato jadi syok begitu mendengar pernyataan itu.
Tapi Eve tersenyum. "Tidak apa-apa, dia orang baik. Dia pasti akan menerimamu."
Ayato kelihatannya masih agak ragu. Tapi dia bertanya, "Jadi, siapa orang itu?"
Sebelum menjawab, Eve mengalihkan pandang pada Kerajaan Ingla yang masih agak jauh di depan. Dia akan pulang. "Alastor Reiss." Eve menatap Ayato. "Wali sekaligus guruku."
-----
Published on: 23/05/2021
1351 words
-Eri W. 🍁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro