Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09. Di Sisi Hutan

II. The Young Sorcerer

Masa bodo dengan keajaiban, bagi Ayato, masih hidup saja sudah sangat bagus.

Ini seperti deja vu. Sebelumnya Ayato sudah pernah mengalami sensasi 'bangkit dari kematian' waktu pertama kali terpanggil di kuil Iberia. Waktu itu yang dirasakannya adalah rasa dingin dari batu altar dan perasaan tidak nyaman karena baru saja mati. Tapi kali ini berbeda, rasanya hangat dan nyaman.

Saat ini Ayato tengah terbaring di sebuah kasur empuk berukuran kecil, dengan selimut menyelubungi tubuh. Bahu Ayato terasa begitu pegal sampai dia kesulitan untuk duduk. Entah sudah berapa lama dia tertidur, dua hari? Atau mungkin seminggu?

Perutnya diperban, lukanya sudah tidak terasa sakit. Begitu juga dengan luka di kakinya. Kemudian ingatan Ayato melayang ke kejadian malam itu. Dia sekarat oleh serangan naga berkepala tiga, lalu seseorang datang.

Seseorang. Benar juga. Siapapun itu, orang itu telah berbaik hari membawa Ayato kemari dan merawat lukanya.

Ayato mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kamar itu cukup kecil, mungkin memang dirancang hanya untuk digunakan satu orang. Rak buku memenuhi dinding sisi kiri, serta sebuah meja dan lemari di sisi kanan. Tapi pandangannya terpaku pada daun pintu yang sedikit terbuka, agak jauh di depan kaki ranjang. Ayato bisa mencium bau sesuatu yang lezat dari sana, sup barangkali. Mendadak dia baru menyadari betapa lapar dirinya.

Tentu saja, mungkin sudah berhari-hari Ayato tidak makan. Lagipula, dia harus melihat sosok sang penyelamat itu dan berterima kasih padanya (sekaligus mengisi perut).

Ayato turun dari tempat tidur dan menuju pintu, membukanya pelan-pelan sambil mengintip keadaan di luar.

Pondok itu tidak besar, tapi kelihatan nyaman. Ada meja kecil di tengah ruangan dan rak berisi benda-benda (yang setengahnya tidak Ayato ketahui namanya) di sekeliling. Pintu keluar berada tepat di seberang kamar. Yang paling menarik perhatiannya adalah panci di atas perapian, wangi sup menguar dari sana. Namun, tidak ada siapapun di tempat itu.

Ayato baru akan melangkah lebih jauh ketika daun pintu tiba-tiba berayun terbuka dan seseorang masuk. Membuat Ayato bertemu pandang dengan seorang perem-bukan, laki-laki yang diyakininya adalah penyihir yang semalam menyelamatkannya di hutan.

Ayato jadi tidak enak hati waktu menatapnya tajam seperti sekarang. Wajahnya terlalu manis untuk ukuran anak laki-laki, ditambah tubuh kecilnya, Ayato yakin banyak orang juga akan salah mengira ketika pertama kali bertemu. Warna jubahnya sama persis dengan malam itu, biru gelap seperti langit malam. Tapi matanya yang bertatapan dengan Ayato sebiru langit siang.

"Oh." Cuma itu yang dia katakan waktu melihat Ayato. Penyihir itu menutup pintu di belakangnya. Rambut pirangnya begitu cerah sampai sekilas kelihatan seperti berwarna putih.

Dia mengeluarkan sesuatu dari kantung tas yang dibawanya, lalu berkata, "Aku kehabisan seledri, jadi harus keluar untuk memetiknya. Mau sup ayam?"

"Ah, kau yang menyelamatkanku, kan? Itu... terima kasih," kata Ayato ketika sadar dari keterkejutannya. Dia memperhatikan waktu anak itu mencuci seledri dan memotong-motongnya di atas panci sup. "Ada yang bisa kubantu?" Ayato melangkah mendekatinya.

"Banyak yang terjadi waktu kau tidur, tapi duduk dulu." Cowok itu mengerling meja makan dengan sudut matanya. Ayato hanya mengikuti dengan menarik salah satu kursi dan duduk.

Dipikir lagi, penyihir itu belum memperkenalkan namanya. Jadi Ayato bertanya, "Anu... aku harus memanggilmu apa?"

Rasanya tidak mungkin Ayato memanggilnya dengan "Pak" mengingat penyihir itu masih sangat muda. Mungkin sepantaran atau malah lebih muda darinya.

Tapi anak itu malah menyodorkan segelas air pada Ayato. "Perutmu belum terisi apa-apa, 'kan," katanya.

"Ah, terima kasih." Ayato memang haus sekali. Jadi diambilnya gelas itu dan meneguknya.

"Ngomong-ngomong, kau tertidur selama lima hari, lho."

Ayato hampir tersedak. Diletakkannya gelas yang baru setengah habis ke meja dan terbatuk-batuk. Waktu dia menoleh, anak itu menyunggingkan senyum, dia sengaja. Ayato mengumpat dalam hati.

Ayato baru bicara lagi setelah mengatur napas. "Lima hari... dan tidak ada yang mencariku?"

Anak itu menarik sesuatu di lemari terdekat, selembar koran. Kemudian diletakkannya koran itu meja. "Baca itu."

Baru terpikir oleh Ayato. Tulisan di dunia ini pasti berbeda dengan tulisan di bumi. Tapi tetap coba diraihnya koran itu.

Di luar dugaan, Ayato bisa membacanya! Tulisan di dunia ini jelas bukan huruf kana, apalagi latin. Tapi entah bagaimana dia bisa memahaminya. Mungkin itu memang kemampuan khusus bagi orang dari dunia lain.

Berita utama di koran itu tertulis besar-besar PAHLAWAN TIMUR DINYATAKAN HILANG lalu keterangannya Kerajaan Iberia: Kita harus bertahan dengan tiga pahlawan sampai pemanggilan berikutnya!

"Tunggu, mereka tidak mencariku? Kenapa tiba-tiba membuat pernyataan seperti itu?" Ayato belum membaca keseluruhan berita itu, tapi dia sudah keburu kesal karena seenaknya dinyatakan hilang.

"Kuduga tidak." Anak itu menjawab sembari menuang sesendok besar sup ke mangkuk. "Batas pencarian orang hilang di Iberia biasanya sekitar dua minggu, tapi koran itu terbit dua hari yang lalu."

Artinya tiga hari setelah Ayato pingsan. Jelas mereka benar-benar tidak berusaha mencarinya.

Anak itu meletakkan nampan berisi dua mangkuk sup di meja. "Yah, mereka tidak akan mau meluangkan terlalu banyak waktu untuk seorang pahlawan lemah. Iberia memang kerajaan yang seperti itu." katanya sambil menyeringai.

Ayato menunduk, ada benarnya juga. Mungkin sejak mengetahui dirinya menghilang, pihak kerajaan bahkan tidak susah-susah mencari, pahlawan lemah tidak akan berguna. Selain itu, Ayato tidak punya pengikut yang akan mencarinya seperti pahlawan lain. Kalau begini, tamat sudah.

Lamunannya buyar saat anak itu menggeser mangkuk berisi sup ke hadapan Ayato. "Kau lapar, 'kan?" katanya.

Dia sendiri sudah mulai makan sejak tadi. Akhirnya Ayato menyerah dan mulai mengisi perut yang sejak tadi sudah keroncongan minta diisi.

Mereka makan dalam diam. Setelah selesai, Ayato berinisiatif untuk membereskan peralatan makan, sebagai bentuk rasa terima kasih.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya anak itu ketika Ayato selesai menyusun mangkuk di rak.

Kegiatan Ayato berhenti. Setelah tidak dianggap sebagai pahlawan, dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. "Entahlah. Aku tidak punya gambaran harus ke mana atau melakukan apa--tunggu, kita masih di Iberia, 'kan?"

"Kita ada di sisi lain hutan, tidak banyak orang yang kemari."

Mungkin hidup sebagai orang biasa di dunia ini adalah satu-satunya pilihan yang dimiliki Ayato. Tapi dia harus mulai dari mana? Ayato bahkan tidak memiliki rumah, uang, senjata-

Tunggu, senjata?

"Dimana pedangku!?" Ayato bertanya keras sampai anak itu yang sedang membaca koran yang tadi dia letakkan di meja sedikit terlonjak. Ayato ingat pedang itu sempat terlepas dari genggamannya ketika dia kehilangan kesadaran.

"Ada di bawah tempat tidur," jawab anak itu. Lalu dia berkata lagi ketika Ayato melangkah menuju kamar. "Senjata kalian juga suka cari perhatian, ya. Kalau itu tidak berpendar terang sekali waktu aku menemukanmu, mana mungkin aku akan membawanya juga."

Ayato mengerutkan kening. "Apa? Pendar pedangku tidak seterang itu."

Tidak ambil pusing, Ayato segera menyongsong bawah tempat tidur. Itu dia! Segera diraihnya pedang bergagang hijau tersebut. Syukurlah, setidaknya masih ada benda yang bisa dia gunakan. Seketika Ayato merasakan dorongan kuat untuk menyabetkan pedang itu pada sesuatu.

"Ada masalah?" Anak itu muncul dari ambang pintu.

"Ah, aku ingin coba menggunakan pedangku, bisakah?" tanya Ayato. Anak itu mengangkat alis. Lalu dia bergeser dan menunjuk pintu keluar.

"Mau coba menebang pohon?"

Ayato membuka pintu keluar. Terpaan sinar mentari tengah hari menghadang dedaunan pepohonan tinggi di depan. Rupanya mereka berada di sebidang tanah lapang luas yang dikelilingi pepohonan. Tidak tampak ada rumah lain di sekitar situ.

Ayato melangkah ke pohon terdekat dan menghunuskan pedang. Mungkin cuma perasaan, tapi sepertinya bilah pedang itu dikelilingi percikan kecil. Tiba-tiba angin berhembus dan awan gelap berkumpul. Sepertinya akan ada badai.

Menggenggam pedang erat-erat, Ayato berlari ke pohon. Satu tebasan tidak akan membuat pohon itu roboh, tapi itu cukup untuk membuatnya merasa lega. Bilah pedang Ayato beradu dengan kayu keras, dan...

KREKK

Hah? Suara mengerikan apa itu? Ayato menoleh dan mendapati pohon yang ditebasnya sudah setengah roboh. Dia melongo, bisa-bisanya serangannya sekarang sekuat ini? Ayato mendongak dan baru menyadari awan gelap sudah berkumpul di atas, dan seketika dia menyadari apa yang akan terjadi.

Guntur menggelegar, kilat menyambar pohon dan membuatnya hangus hingga roboh sepenuhnya.

-----
Published on: 09/05/2021

1293 words
-Eri W.🍁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro