07. Pahlawan Tak Berbakat
I. The Talentless Hero
Mungkin tidak ada remaja enam belas tahun yang lebih sial daripada Ayato.
Sekarang dia bahkan tidak bisa memikirkan hal baik akan terjadi.
Diego bilang, pengumpulan calon pengikut dilakukan melalui formulir yang sudah dibagikan ke penonton pertunjukan. Lalu pagi ini, sehari setelah pertunjukan, para pahlawan akan menemui calon pengikut mereka yang sudah berkumpul. Satu yang pasti, Ayato tidak mungkin mendapat banyak pengikut.
Ayato pergi ke lapangan depan istana tempat pertemuan. Mulanya dia berpikir yang ada di sana hanya keempat pahlawan dan Diego, seperti biasa. Dia jadi agak terkejut ketika mendapati lapangan jauh lebih ramai daripada biasanya.
Beberapa orang menunjuk-nunjuk dan saling berbisik waktu melihatnya datang. Perasaan Ayato jadi tidak enak. Dia menerobos gerombolan orang yang tak henti-hentinya melemparkan tatapan aneh, sampai dia menemukan Andrew diantara lautan manusia itu. Mungkin Ayato harus bertanya sebenarnya ada yang terjadi di sini.
"Andrew!" seru Ayato. Rasanya agak sulit memanggil laki-laki itu sementara dia dikelilingi banyak orang. Tapi begitu melihat Ayato, Andrew menyeringai lebar dan langsung menarik cowok itu ke arahnya.
"Bung, aku tak percaya orang-orang yang mengisi formulirku ada segini banyak," katanya cepat-cepat. "terus, mana pengikut barumu?"
"Formulir? Apa--tapi aku tidak mendapat formulir apapun." Ayato mengerutkan kening. Setengah tidak mengerti akan situasinya.
Andrew tertegun. Kelihatannya tidak percaya atas apa yang baru saja dia dengar.
"Eh... sebentar. Ikut aku sini." Andrew memberi isyarat pada orang-orang yang mengelilinginya agar menunggu. Lalu dia menarik Ayato ke tepi lapangan yang agak sepi.
"Serius, kau tidak menerima formulir pengikut? Tidak ada pelayan yang mengantarkan formulir ke kamarmu? Tidak satu pun??" Andrew bertanya beruntun.
Mulanya Ayato hanya menggeleng tidak mengerti. Tapi kemudian paham akan situasinya. "Tunggu. Orang-orang ini... para pengikut? Yang menyaksikan pertunjukan kita kemarin?"
Andrew mengusap wajahnya. "Diego bilang, mereka memang boleh memilih ingin mengikuti Pahlawan mana. Tapi masa sih dari sekian banyak orang nggak ada satupun yang memilihmu? Kau jadi tidak punya pengikut kalau begitu."
Jadi begitu, tidak ada yang mau menjadi pengikutnya. Sebenarnya Ayato tidak begitu kaget soal ini. Kemampuannya jauh di bawah pahlawan lain. Orang-orang juga pasti tidak mau dipimpin oleh pahlawan lemah 'kan?
"Kalau begini, apa boleh buat." Andrew tiba-tiba merangkulkan lengan ke bahu Ayato. Dia ingin protes, tapi Andrew keburu menariknya ke kerumunan.
"Hoi, semua! Dengarkan aku!" Itu sukses menarik perhatian kerumunan pengikutnya. "adakah yang bersedia beralih jadi pengikut anak ini? Tenang saja, dia ini cukup kuat, kok!"
Tidak ada yang menyahut. Mereka semua memandang Ayato dengan gugup.
"Benar-benar tidak ada?" ulang Andrew. "apa perlu kupilihkan?"
"Sudahlah, Andrew." Ayato menepis tangan Andrew yang masih merangkul bahunya. "tidak ada gunanya memaksa orang lain. Aku paham alasannya, aku sendiri juga tidak mau jika seandainya mendapat pemimpin yang..." Dia mengalihkan pandangan, berusaha untuk tidak menatap siapa pun. "...lemah."
Tapi Andrew malah melemparkan tatapan kasihan padanya. Ayato tidak suka dikasihani. Lagipula, apa yang terjadi hingga saat ini sama sekali bukan salahnya.
"Tapi kuhargai usahamu barusan. Terima kasih." Mendengar pernyataan itu, rona muka Andrew bertambah cerah. Kemudian dia merangkul Ayato (lagi!?) dan terkekeh.
"Baiklah! Kalau begitu untuk sementara kau akan menjadi bagian dari Tim Andrew. Ada yang keberatan?" Andrew mengumumkan.
"Tim apa--"
Kali ini terdapat gumaman kecil dari kerumunan, Andrew lantas menganggap itu sebagai tanda setuju. Pasti sulit memiliki pemimpin yang suka seenaknya seperti pria besar ini.
Andrew menyeringai dan mengacungkan jempol pada Ayato. Tentu saja lagi-lagi Ayato tidak punya pilihan selain mengikutinya.
Ayato menghabiskan sepanjang pagi itu dengan duduk dan mendengar orasi Andrew di depan pengikut barunya. Misha dan William sudah lama pergi dengan pengikut mereka, mungkin mencari tempat yang lebih lega.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Ayato juga merasa tidak nyaman. Beberapa orang mengajaknya bicara, namun mereka terlihat gugup. Seolah Ayato tidak seharusnya berada di sana.
Menjelang siang, Ayato kembali ke kamar. Andrew tidak memperhatikan karena dia terlalu fokus pada orasinya, dan Ayato sedikit lega karenanya. Bagaimanapun, dia tidak mungkin terus-terusan berada di bawah bayangan pria itu, Ayato harus mencari cara untuk dapat bertahan sendiri.
Ketika tengah berjalan di lorong istana, mata Ayato menangkap sosok familiar. Itu Regina. Tapi kali ini rasanya lain, dia berjalan menatap lantai dengan ekspresi wajah keras, seolah sedang dibebani masalah berat.
Ayato yakin Regina sempat mendongak dan bertemu mata dengannya. Tapi kemudian dia kembali menunduk dan mempercepat langkahnya ke arah lain.
"Regi-" Diurungkannya niat untuk memanggil, gadis itu sudah terlalu jauh. Lagipula, melihat tingkahnya tadi, kelihatan sekali dia tidak ingin bicara pada Ayato.
Setelah kembali ke kamar, Ayato menghempaskan diri ke atas kasur sembari memandang langit-langit kamar. Angin musim panas berhembus dari balkon yang dibiarkan terbuka.
Ayato menghembuskan napas berat. Terlalu banyak yang terjadi akhir-akhir ini. Awalnya, semuanya menerima dirinya dengan baik sama seperti ketiga pahlawan lain. Bahkan Regina mau susah-susah datang ke kamarnya hanya untuk berkenalan, sekarang gadis itu bersikap seolah dia dan Ayato tidak saling kenal. Ditambah, Ayato tidak mendapat seorangpun pengikut.
Sebenarnya Ayato tidak begitu peduli dengan urusan pengikut ini. Tapi sepertinya untuk pahlawan dunia ini, banyak tidaknya pengikut adalah hal yang krusial. Tapi semua orang menatapnya ragu hanya karena Ayato tidak sekuat pahlawan lain. Apakah menjadi pahlawan lemah adalah hal tabu?
Lemah. Tak berbakat. Memikirkannya saja membuat Ayato pusing. Dia duduk dan meraih pedang yang disandarkan di dekat kaki kasur. Dilihat bagaimanapun, itu hanya pedang biasa, tidak akan ada yang mengharapkan pedang semacam itu dapat mengeluarkan hembusan angin kencang atau sambaran petir.
Tapi senjata ketiga pahlawan juga begitu. Terlihat biasa diluar, namun menyimpan kekuatan besar di dalam. Ayato mencabut pedang itu dari sarungnya dan membolak-baliknya di tangan. Jika memang pedang ini tidak memiliki kekuatan, maka ia harus digunakan oleh pengguna yang kuat sebagai penyeimbang.
Pengguna yang kuat. Itu dia!
Kenapa baru terpikir sekarang? Segera disarungkan kembali pedang itu dan berlari keluar. Pedang Ayato mungkin hanya pedang biasa, tapi jika digunakan oleh pengguna yang kuat, pedang itu pasti dapat digunakan semaksimal mungkin.
Ayato tiba di taman istana, tempat sebelumnya dia berlatih dengan Diego. Taman itu jadi kelihatan agak berantakan setelah digunakan untuk latihan selama beberapa hari terakhir ini. Ayato mencabut pedang. Jika terus berlatih secara rutin, mungkin dia bisa jadi kuat seperti yang lain.
Ayato terus berlatih sendirian hingga tanpa sadar matahari sudah condong ke arah barat. Dia pikir, hari ini cukup sampai di sini saja. Karena lelah, Ayato beristirahat sebentar di bangku taman sebelum kembali ke kamar.
Saat itu, dia mendengar.
"Tuan..."
"Tuan Ayato!"
Panggilan itu membuat Ayato menoleh dan mendapati dua orang anak laki-laki berdiri di belakangnya. Mereka menatap Ayato dengan ekspresi gugup dan kelihatannya ingin mengatakan sesuatu.
Didatanginya kedua anak itu. Dilihat-lihat, sepertinya mereka hanya lebih muda satu atau dua tahun dari Ayato. Karena wajah mereka mirip, mungkin mereka kembar.
"Ada perlu apa? Dan siapa kalian?" tanya Ayato.
Sikap mereka sangat gugup. Lalu Ayato ingat, dua anak itu ada diantara orang-orang yang menjadi pengikut Andrew tadi pagi.
"Benar juga, kalian pengikut Andrew, 'kan? Apa dia yang mengirim kelian kemari?" Ayato memastikan.
"Bu-bukan." Salah satu dari mereka menyahut. "Eeh... sebenarnya, sesuatu yang gawat terjadi. Dan Bos Andrew meminta kami untuk memanggil Tuan Ayato..."
Ayato menunggu. Tapi keduanya hanya saling sikut seolah-olah ingin menimpakan informasi itu pada satu sama lain. Ayato terus memandang keduanya menuntut, sampai anak satunya akhirnya menyahut.
"Bos Andrew dalam bahaya!"
----
Published on: 21/04/2021
1195 words
-Eri W.🍁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro