Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06. Pertunjukan

I. The Talentless Hero

Ayato ingin sekali menarik kata-katanya bahwa jadi pahlawan di dunia ini bukan hal buruk.

Latihan dilanjutkan hari berikutnya. Baik Andrew, Misha, maupun William, ketiganya berkembang pesat, baik dari segi teknik menyerang dan kemampuan senjata. Bahkan sekali waktu, William memunculkan petir kecil dari tombaknya.

Sedangkan Ayato, satu-satunya hal bagus, menurut Diego, hanya gerakannya yang semakin luwes. Tapi tidak ada yang istimewa dengan pedangnya. Tidak ada hembusan angin atau apapun, dan daya serangnya sama seperti pedang biasa.

Lalu soal pertunjukan. Sejujurnya Ayato kurang suka cara Diego mengatakan pertunjukan seolah mereka adalah bahan tontonan. Pahlawan membutuhkan pengikut dari dunia ini untuk menjalankan misi, yang perekrutannya dilakukan dengan pertunjukan itu. Secara teknis, para pahlawan akan menunjukkan kemampuan masing-masing di depan calon pengikut dan mereka boleh memilih ingin bergabung dengan pahlawan mana.

Ayato tidak akan berharap banyak. Ketiga pahlawan lain sangat kuat dan mereka akan menarik lebih banyak perhatian. Dengan kekuatannya yang sekarang, mana bisa Ayato melampaui mereka bertiga.

"Berjuanglah agar kau tidak mati."
Kata-kata Diego terngiang-ngiang dalam benak Ayato. Yang dampaknya hanya memperparah keadaan.

Malam itu, Ayato tidak bisa tidur. Yah, siapa juga yang bisa tidur nyenyak jika tahu mungkin keesokan harinya akan mati (dalam kasus Ayato, lagi).

Untunglah dia tidak telat bangun. Setelah sarapan, Ayato segera turun ke halaman depan istana tempat mereka akan berkumpul dahulu.

"Ah, Ayato, selamat pagi..."

Kebetulan dia berpapasan dengan Regina. Tapi sejak kemarin gadis itu jadi lebih kaku daripada sebelumnya. Mungkin Ayato tahu sebabnya, keluarga kerajaan pasti sudah tahu soal keterbatasannya. Semalam saat Ayato meninggalkan aula besar setelah makan malam pun, Raja Henry melemparkan tatapan berbeda padanya, prihatin? Atau getir? Entahlah...

Regina kelihatan gugup. Dia memainkan ujung pita di gaunnya dan bersikap seolah ingin mengatakan sesuatu. Akhirnya dia menghembuskan napas dan berkata, "Berjuanglah, kau pasti bisa." Dia memaksakan seulas senyum ketika mengatakan itu.

"Terimakasih. Tapi kau tahu, aku sendiri tidak berharap banyak..." jawab Ayato, berusaha tetap terdengar tenang.

Bukan bermaksud pesimis, tapi Diego selalu berkata padanya untuk berjuanglah agar tidak mati. Itu terdengar seolah Ayato akan mati mudah, entah apa yang akan dia hadapi dalam pertunjukan nanti.

Sesampainya di halaman depan, yang lain sudah berkumpul. Terdapat dua kereta kuda yang nampaknya akan membawa mereka ke tempat pertunjukan.

Diego sudah menjelaskan apa yang harus dilakukan. Di arena pertunjukan nanti, mereka harus melawan Monster yang sudah ditangkap sebelumnya, dengan disaksikan penonton. Itu akan menjadi ajang pembuktian bahwa mereka adalah pahlawan yang layak dijadikan panutan. Tolonglah, jangan buat segalanya jadi tambah berat batin Ayato.

Menurut Diego, pertunjukan Pahlawan selalu menjadi acara paling ditunggu selama bertahun-tahun. Para petualang, prajurit, penyihir, maupun profesi lainnya akan berkumpul di satu tempat untuk menyaksikan sekuat apa pahlawan yang baru dipanggil itu. Kalau beruntung, mereka bahkan bisa direkrut sebagai bawahan dari para pahlawan, itu kehormatan besar.

Itu berarti pemanggilan Pahlawan ke dunia ini bisa dibilang sudah menjadi tradisi? Ayato bertanya-tanya.

Butuh waktu lima belas menit dengan kereta kuda untuk mencapai arena pertunjukan, sebuah stadion besar.

Begitu masuk, mereka langsung disambut sorakan dari segala sisi. Dua pertiga bagian stadion penuh dengan orang-orang yang penasaran, penduduk dunia ini. Ayato bisa melihat mereka memanggul bermacam jenis senjata, beberapa juga mengenakan jubah seperti milik Diego.

Diantara hujan sorakan itu, terdengar pula suara geraman teredam yang berasal dari seberang stadion, tempat sebuah gerbang besar yang sepertinya terhubung dengan sebuah ruangan.

"Semuanya, dengarkan aku dulu." Diego melambaikan tangannya untuk menarik perhatian. "kurang lebih ini sama seperti latihan, latihan melawan Monster. Kami akan melepas dua Monster ke arena dan kalian boleh melakukan apapun untuk membunuh mereka."

"Kami harus... membunuh?" ulang Misha, kelihatannya jadi agak ragu.

Diego mengangguk. "Tidak masalah, sebab memang itu tugas kalian seterusnya." Dia kemudian berjalan ke tengah arena, menyentakkan tongkatnya ke atas hingga menimbulkan percikan kembang api ke langit di atas stadion.

"Itu isyaratnya, sekarang mari kita lihat apa yang akan kalian hadapi!"

Suara geraman memenuhi arena, bercampur dengan sorakan penonton dari berbagai sisi. Pintu di ujung terbuka dan selusin prajurit kerajaan tengah menyeret keluar dua Monster.

Satu Monster menggeram. Yang ini rupanya seperti gorila berbulu hitam, mungkin tingginya saat berdiri tegak sekitar tiga setengah meter. Terdapat tanduk mencuat di tengah wajahnya sehingga Monster itu jadi kelihatan seperti persilangan antara gorila dan badak.

Yang satunya tidak lebih baik. Sekilas itu kelihatan seperti singa, tapi ukurannya dua kali lebih besar dari singa biasa. Kemudian di tengah surainya, terdapat wajah seperti kakek tua berusia delapan puluh tahun. Singa jadi-jadian itu mengeluarkan suara seperti orang mendengkur.

"Manticore biasanya jarang muncul," kata Diego, "para pahlawan terdahulu menangkap mereka beberapa waktu lalu sebagai bahan latihan kalian hari ini."

Selusin prajurit yang menahan Monster itu sudah kewalahan. Mereka lalu melepaskan tali kekang dari kedua Monster dan membiarkan dua makhluk buas itu merangsek ke arena.

"Mengamuklah sesuka kalian, perlihatkan seluruh kekuatan pada penonton." Diego berujar. "Aku akan memastikan para penonton tidak terluka. Nah, semoga berhasil."

Dia berlari ke tepi arena. Sekarang hanya tinggal mereka berempat. Si gorila-badak menggeram buas, Ayato melihat ada kepulan asap tipis dari bawah culanya. Sementara di manticore... sebenarnya dia tidak begitu menyeramkan dengan tampang kakek tua-nya, seandainya dia tidak mengais tanah dengan kukunya hingga meninggalkan bekas cakaran sedalam lima belas senti di tanah.

"Hei, hei, dengar, kurasa kita harus membagi tugas." Ditengah-tengah hiruk pikuk penonton, Andrew harus setengah berteriak agar suaranya menjangkau ketiga rekannya, "...kalian berdua urus gorila gede itu, aku dan Ayato mau menjinakkan singa dulu!"

William mendengus tidak setuju. "Jangan seenaknya memutuskan!"

Andrew tidak mendengarkan, dia menarik Ayato ke sisinya. "Pedangmu mungkin tidak cukup kuat untuk memotong singa itu, tapi tolong alihkan perhatiannya selagi aku menyerang. Dari dulu aku selalu kepingin berantem lawan singa. Tenang saja, kau nggak bakal kubiarkan mati."

"Makasih perhatiannya," jawab Ayato sarkas. Setidaknya jangan ungkit-ungkit soal pedang di saat begini, dong.

"Kalau aku mati, kau yang pertama kali kuhantui," ucap Ayato sambil menghunus pedang. Dia berlari ke sisi lapangan, berusaha agar si manticore memusatkan perhatian padanya.

Setidaknya kedua monster itu sudah terpisah. Si manticore mengikuti Ayato ke sisi lain arena. Ayato menoleh sebentar untuk melihat perkembangan dua orang lainnya, sepertinya mereka baik-baik saja. Gorila itu sekarang kewalahan akibat panah yang menancap di antara kedua mata dan perutnya. Sementara Misha mengencangkan busurnya lagi, penonton bersorak, kebanyakan dari kalangan pria.

Perhatian Ayato teralih sampai tidak sadar singa itu menerjang dengan kakinya. Cepat-cepat ditangkisnya serangan itu dengan pedang, menghasilkan bunyi dentingan logam nyaring. Tunggu, kuku singa seharusnya tidak sekeras itu, kan?

Ayato melemparkan tubuh untuk melebarkan jarak. Singa itu kelihatannya kesal karena tidak berhasil membelah targetnya jadi dua.

"Tahan sebentar, bung, aku dataaang!" Andrew berlari dari sisi lapangan sambil memutar-mutar kapaknya, topan kecil berdesir di sekeliling mata kapak. Tapi dia kurang cepat, Ayato pasti sudah jadi daging cincang jika dia tidak segera menghindar dari terkaman kedua si singa.

"Kenapa dia tidak menyerang!?" Suara menuntut terdengar dari bangku penonton. Ayato bisa merasakan mereka mulai meragukannya, tapi dia tidak yakin bisa melukai singa itu dengan pedangnya.

Terkaman ketiga datang, Ayato menahan dengan pedang. Bagaimana dia bisa menyerang jika menahan satu cakarnya begini saja sudah kesulitan? Tapi ditebaskannya pedang ke sela-sela jari kaki si manticore, membuatnya mengeluarkan dengkuran kasar dan melepaskan terkamannya. Darah menetes dari sela-sela jarinya.

Andrew sudah berada di belakang singa itu. "Hoi, kucing! Lihat kemari!" Kapaknya terangkat tinggi. Dan sebelum si manticore menoleh, diayunkannya kapak besar itu ke pinggang bawah manticore, menorehkan luka robekan besar.

Dengkurannya berubah parau. Si manticore kini memusatkan perhatian pada Andrew sementara darah membasahi kaki belakangnya.

Andrew menyeringai puas. Kejadian selanjutnya berlangsung cepat. Dia menerjang ke depan dan, dengan kecepatan luar biasa, diayunkannya kapak ke bawah leher di singa hingga wajah kakek tua bersurai itu terpisah dari badannya disertai bunyi berderak mengerikan.

Geraman parau terdengar dari sisi lapangan. Rupanya si gorila-badak sudah mencapai batasnya. Tubuhnya dipenuhi luka tusukan dan sabetan tombak, panah-panah patah bertebaran di bawah kakinya, dua lagi masih tertancap di bahu kirinya.

Si gorila ambruk disertai bunyi berdebam. Seketika, kedua monster itu terbuyarkan menjadi serpihan debu yang memenuhi setengah arena. Sorakan menggelora dari deretan bangku penonton.

Ayato jatuh terduduk, terengah-engah. Pedang dijadikan tumpuan, baru sadar ternyata dia sudah selelah ini. Tapi sepertinya ketiga orang itu tidak kelihatan lelah. Lagi-lagi Ayato menyadari perbedaan kemampuan antara dirinya dengan ketiga pahlawan.

Andrew bisa saja mengalahkan manticore itu sendirian. Bahkan orang-orang yang menyaksikan juga sudah tau betapa lemah dirinya. Bagi Ayato, bertahan hidup saja takkan cukup, apa yang bisa diharapkan dari seorang pahlawan lemah?

-----
Published on: 14/04/2021

1398 words
-Eri W. 🍁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro