02. Dunia Lain
I. The Talentless Hero
"Selamat datang di Kerajaan Iberia, wahai Pahlawan Empat Mata Angin!"
Hah, tadi dia bilang apa?
Kelihatannya tidak masuk akal. Tapi Ayato dapat mendengar suara itu dengan jelas, yang berarti Indra pendengarannya masih berfungsi. Dicobanya menarik napas perlahan, paru-parunya terisi. Entah bagaimana, dia masih hidup.
Perlahan, Ayato membuka matanya yang masih agak berat. Pemandangan langit-langit batu tinggi yang dipenuhi ukiran rumit memenuhi pandangannya. Bagus, indra penglihatannya juga masih berfungsi dengan baik.
Meski masih agak pusing, Ayato mencoba duduk. Dia berada di semacam altar dalam sebuah kuil, dengan tiang-tiang besar mengelilingi altar tersebut. Tempat itu agak gelap karena sumber cahaya hanya berasal dari jendela-jendela tinggi yang berada di dekat langit-langit. Orang yang bersuara tadi rupanya adalah seorang pria yang tengah berdiri di podium yang terletak di depan altar. Dilihat dari pakaiannya yang mewah, Ayato menduga dia semacam bangsawan atau orang penting lain.
Rupanya Ayato tidak sendirian di altar itu. Disampingnya, seorang gadis tengah mencoba bangkit sambil merapikan rambut pirang panjangnya yang jatuh menutupi wajah. Pandangan mereka bertemu dengan ekspresi kebingungan yang sama, jelas sekali mereka berdua bernasib sama.
Ayato juga menyadari ada dua laki-laki lain di altar ini. Satu seorang pemuda berambut pirang klimis yang berpakaian resmi, lalu seorang pria bertubuh kekar dengan rambut berwarna merah kecoklatan. Total ada empat orang yang terpanggil di altar itu.
Laki-laki berpakaian bagus yang tadi menyapa turun dari podium. "Sungguh suatu kehormatan bisa menjadi orang pertama yang dapat menyapa Anda sekalian. Perkenalkan, namaku Henry Ferdinand de Iberia, penguasa kerajaan Iberia di benua Safir ini."
Ayato benar, laki-laki berpakaian bagus itu memang seorang raja. Sekarang setelah dia sepenuhnya sadar, dia mencoba mengurutkan rentetan peristiwa dari awal. Truk yang melaju kencang, tubuhnya terlempar, lalu semuanya gelap. Sesaat kemudian, dia terbangun di tempat yang sama sekali asing ini. Malah, Ayato ragu dia masih berada di bumi.
"Maaf, permisi." Suara menginterupsi itu datang dari si pemuda berambut pirang di ujung altar, "sebelumnya, bisa tolong jelaskan sebenarnya apa yang terjadi pada kami? Aku yakin bahwa aku sudah mati dalam kecelakaan mobil, tapi--"
"Ah, tentu saja, Anda semua pasti sangat kebingungan dengan semua hal ini." Pemuda pirang itu tampak kesal karena perkataannya dipotong oleh raja Henry, yang kemudian melanjutkan, "Anda sekalian adalah sedikit orang yang mendapatkan berkah Dewa. Meskipun sudah mati di dunia asal, namun mendapatkan kesempatan hidup untuk yang kedua kalinya di dunia ini. Karena itulah, sudikah kiranya Anda semua menggunakan kesempatan kedua ini untuk membantu melawan kegelapan benua Obsidian yang menghantui dunia ini, sebagai seorang Pahlawan?"
"Tapi bagaimana kami melakukannya!?" Kali ini pertanyaan datang dari si pria kekar berambut merah kecoklatan.
"Soal itu, nantinya Anda akan mendapatkan senjata khusus sebagai penunjang misi kalian di dunia ini. Sekarang, bisakah kita berpindah dahulu ke ruangan yang lebih lega? Dimana Anda semua akan mendapat penjelasan lebih detil mengenai dunia ini sekaligus untuk menerima senjata Anda?"
Samar-samar Ayato memahami situasinya. Tempat ini adalah dunia lain. Dia mati kemudian terpanggil ke dunia ini, entah bagaimana caranya. Lalu mengenai hal Pahlawan itu, sebenarnya agak klise, bagaimana orang yang baru bangkit dari kematian dapat diserahi tugas melindungi satu dunia? Tapi Ayato memutuskan untuk menyimpan pemikiran itu dahulu karena dia belum memiliki informasi apapun mengenai dunia ini.
Sang raja membawa mereka ke luar kuil. Matahari bersinar terik, Ayato menebak saat itu sudah lewat tengah hari. Agak jauh di sebelah kiri kuil, sebuah istana megah berdiri. Kerajaan Iberia, seperti yang dikatakan Henry tadi.
Mereka memasuki istana, ke sebuah aula luas dengan karpet merah terhampar di tengahnya. Pada ujung hamparan karpet tersebut, terdapat podium tinggi yang memuat tiga singgasana. Sepertinya ini adalah ruang singgasana. Di podium, dua dari singgasana itu diduduki masing-masing seorang wanita dan seorang gadis, mungkin sang permaisuri dan putri kerajaan ini. Sementara kursi di tengah, yang seharusnya diperuntukkan untuk sang raja, kosong.
Seorang pria yang menggenakan jubah layaknya penyihir berdiri di ujung podium. Ketiganya kelihatan sekali sudah menunggu kedatangan mereka.
Henry memanjat naik ke podium, berbincang-bincang sebentar dengan si penyihir, sebelum berbalik lagi.
"Biar kuperkenalkan." Sang raja berkata bangga sambil menunjuk penyihir di sebelahnya, "The Great Sage of Iberia, Diego Fernandes, penyihir terhebat di daratan Iberia. Dia yang akan memimpin penyerahan senjata sekaligus memandu Anda sekalian mulai dari sekarang."
Setelah berkata begitu, raja Henry berbalik untuk duduk di singgasananya, karena perannya sudah digantikan oleh Diego-si penyihir-itu. Diego mengenakan jubah berwarna merah gelap. Dan jika diperhatikan, Ayato bisa melihat sebentuk lencana disematkan di dada si penyihir, perisai dengan dua tongkat bersilangan, dengan dua ekor singa berdiri di kanan kirinya.
Jujur saja, Ayato kurang suka melihat tampangnya yang angkuh. Tapi gelar yang dimilikinya tadi, 'Great Sage', sepertinya itu gelar yang cukup terhormat.
Diego turun dari podium dan menyapa mereka. "Selamat datang, para pahlawan sekalian. Rasanya aku tidak perlu memperkenalkan diriku lagi karena Baginda Raja sudah melakukannya. Jadi bagaimana jika kita langsung ke inti masalahnya saja.
"Aku yakin Baginda Raja sudah menyinggung ini sebelumnya, kalian dipanggil kemari untuk melindungi dunia ini dari kegelapan benua Obsidian. Mengenai apa itu benua Obsidian, akan kujelaskan setelah ini."
Sambil memberi penjelasan panjang lebar, Diego berjalan ke sisi samping ruangan dimana terdapat meja panjang. Ayato tidak begitu memperhatikan meja itu sebelumnya karena tertutup kain.
"Ada lima benua di dunia ini. Selain benua Safir tempat kita berada sekarang, terdapat benua Rubi, Zamrud, Topaz dan Obsidian. Keempat benua yang disebut pertama letaknya berdekatan dan secara umum kondisinya stabil, beberapa pertikaian antar negara masih bisa kami atasi sendiri.
"Lalu benua Obsidian yang letaknya terpencil, sering disebut juga tanah kegelapan. Tempat yang ditinggali oleh para monster. Dan tidak jarang pula para monster datang kemari untuk menyerang kami, bangsa manusia penghuni keempat benua."
Ayato bisa merasakan nada bicara Diego yang menjadi serius saat mengatakan itu. Kemudian, sambil mengeluarkan tongkat sihirnya, dia melanjutkan, "Keberadaan mereka berarti teror bagi keempat benua, dan kami sendirian tidak sanggup untuk melawan kuasa dari monster-monster itu. Karena itulah..." Dia mengarahkan tongkatnya pada para pahlawan, "...kami membutuhkan bantuan kekuatan dari kalian, Pahlawan Empat Mata Angin.
"Kemudian, sebagai penunjang kekuatan kalian di dunia ini, kami akan memberikan senjata khusus." Kali ini Diego berbalik menghadap meja panjang. Dengan satu sentakan tongkatnya, kain penutup meja tersibak, "...dibuat dari bahan berkualitas tinggi, ditempa oleh pengrajin senjata terbaik, dan dibuat khusus untuk sang pahlawan!"
Di atas meja panjang tersebut, tampak empat buah senjata berlainan jenis. Ada kapak besar, tombak, busur, dan sebuah pedang. Senjata yang berlainan untuk keempat Pahlawan.
------
Published on: 17/03/2021
1061 words
-Eri W. 🍁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro