01. Awal Mula
I. The Talentless Hero
Suara apa yang paling menyebalkan di dunia? Jika ditanya begitu, tentu saja Ayato akan menjawab suara alarm di pagi hari.
Cowok itu memang tidak pernah mengingat mimpinya. Tapi siapa yang tidak kesal saat mendengar bunyi berdering yang akan menghancurkan moodmu seharian. Masih dengan mata setengah terpejam, Ayato meraba nakas samping tempat tidur demi menemukan jam beker sumber masalah itu dan mematikannya, kemudian kembali bergelung dalam selimut demi melanjutkan tidurnya. Lima menit lagi saja, rasanya bukan masalah besar.
Tapi rencana Ayato gagal saat terdengar suara berderap dari depan kamarnya, disusul suara pintu dibanting terbuka dan suara teriakan cempreng yang pasti akan membangunkan seluruh rumah.
"AYA-NIIIIII!! BANGUUUUN!!!"
Di rumah itu, tidak ada yang memiliki suara sekeras dan setinggi itu selain Makiko, putri sulung keluarga Yukimura yang usianya baru menginjak sepuluh tahun.
Gadis kecil itu memanjat dipan dan menimpa tubuh kakaknya yang masih setengah sadar. "Kalau nggak bangun Aya-nii nggak bakal dapat sarapan lho!" katanya dengan nada ceria.
Sebenarnya Makiko tidak berat, tapi tertimpa dalam kondisi setengah sadar, tetap saja tidak enak. Sambil mengelus pucuk kepala adiknya, Ayato mengguman, "Hei, mana bisa aku bangun kalau kamu ada di sana, bagaimana kalau Maki turun dan bantu Taka-nii menyiapkan sarapan?"
Makiko terkikik, lalu dia melompat turun dari tempat tidur. "Tidak bisa! Maki harus memastikan Aya-nii benar-benar sudah bangun, terus kita bisa sarapan bersama!"
Yah, lupakan rencana untuk kembali ke alam mimpi, ada hari lain untuk dijalani. Begitu pikir Ayato. Jadi dia segera bangkit dari tempat tidur dan melangkah keluar, Makiko mengikuti dari belakang sambil melompat riang.
"Oh, akhirnya bangun juga. Padahal tadi aku berniat menyiramkan air es ke wajahmu jika teriakan Maki tidak berhasil."
Hanya satu orang di dunia ini yang akan mengatakan itu sebagai ucapan selamat pagi, setidaknya begitulah pikir Ayato. Pemuda yang tengah sibuk membolak-balik telur goreng itu adalah Takato, putra sulung keluarga Yukimura dan kakak lelaki Ayato yang hanya terpaut tiga tahun lebih tua darinya.
Makiko langsung berlari memeluk kakak tertuanya tersebut. "Taka-nii, Maki mau dua telur goreng!" katanya sambil mengacungkan dua jarinya.
Takato tertawa sambil menepuk puncak kepala adik bungsunya. "Baik, baik. Dua telur goreng untuk tuan putri Maki. Tapi sebelum itu, tolong tata piring-piring ini di meja ya?"
"Lalu, Aya," setelah Makiko disibukkan dengan piring-piring yang harus ditata, pemuda itu beralih pada Ayato yang baru saja selesai mencuci muka. "...hari ini aku pulang terlambat, jadi urusan makan malam kuserahkan padamu."
Ayato menjawab dengan gumaman oke, kemudian kembali menaiki tangga menuju kamarnya untuk berganti pakaian.
Ayato sudah terbiasa melewatkan sarapan dengan dua saudaranya saja. Orangtua mereka jarang di rumah karena sibuk bekerja, jadi Takato, selaku putra sulung, yang biasanya mengurus pekerjaan rumah. Dia kuliah di luar kota dan butuh waktu satu setengah jam naik kereta dari rumah. Jadi sewaktu-waktu kedua adiknya juga akan membantu jika dia sedang sibuk.
Selesai sarapan, Ayato dan adiknya bersiap-siap berangkat ke sekolah. Mereka selalu berangkat bersama karena sekolah mereka yang juga searah.
"Bye, bye Aya-nii!" Makiko melambai dari depan gerbang sekolahnya. Ayato mengawasinya sampai anak itu hilang dari pandangan, sebelum melanjutkan perjalanan ke sekolahnya sendiri.
Setelah sampai di kelas, Ayato menyimpan tas dan menghempaskan diri ke bangkunya yang berada di samping jendela. Baru beberapa detik dia sudah dikejutkan oleh sebentuk tangan yang melambai-lambai tepat di depan wajahnya
"Hei, hei, Ayato, tahu nggak..." Pelakunya adalah Seiji, teman sekelas yang duduk di depan Ayato. Sambil memundurkan bangkunya, dia melanjutkan, "...katanya Tachikawa-senpai baru putus lho."
"Oh, terus kenapa...?" balas Ayato. Kentara sekali lebih tertarik pada awan berbentuk seperti kelinci yang terlihat dari sudut jendela daripada pembicaraan itu. Tachikawa-senpai yang dibicarakan Seiji adalah siswi kelas tiga sekaligus primadona sekolah itu. Dia pintar, cantik, dan sangat menawan. Dan kabar bahwa dia putus dengan pacarnya berarti kabar baik bagi seluruh laki-laki di sekolah yang mengincarnya.
"Haah... maksudku adalah, kau nggak ingin coba kesempatan emas ini untuk merebutnya atau apa..." dengus Seiji, "tahu nggak, kemarin Tatsumi sudah coba menembaknya dan langsung ditolak lho."
"Tidak bisakah sehari saja kau tutup mulut embermu itu?" Tatsumi adalah teman sekelas Ayato yang lain, sekarang dia mendatangi mereka berdua dengan raut wajah kesal karena aib-nya baru saja terbongkar. Sementara pelaku pembongkarannya malah tertawa.
"Eh... kenapa aku harus melakukannya?" kata Ayato lagi. Sekarang setelah diperhatikan, awan bentuk kelinci tadi jadi lebih mirip sapi.
"Tentu saja harus, kau layak mencobanya, Ayato," kata Seiji di sela-sela tertawanya, "...wajahmu itu lumayan tampan dan nggak sedikit anak cewek yang tertarik padamu. Sayangnya, kau itu terlalu pasif dan sifatmu membosankan, mereka jadi kehilangan minat. Setidaknya, cobalah cari pacar untuk mengurangi sifat pasifmu itu." Seiji mengakhiri pidatonya dengan ekspresi bangga. Ayato kagum dia bisa menuturkan itu semua hanya dalam satu tarikan napas.
"Itu mustahil, Ayato bahkan belum pernah jatuh cinta dengan seorang gadis," celetuk Tatsumi yang duduk di bangku sebelah Seiji.
"Itulah masalahnya!" Sekarang Seiji setengah berteriak dan menggebrak meja, beberapa murid sampai mengerling ke arah mereka karena kaget, "kau nggak akan bersikap pasif pada orang yang kau sukai kan? Katakan, seperti apa tipe cewek idealmu!?"
"Ayato itu suka sesuatu yang imut." Tatsumi menyeletuk lagi, "...mungkin jika suatu hari dia melihat gadis yang menurutnya imut, dia bakal langsung jatuh hati."
Seiji mengangkat alis. Seolah berkata Bagaimana?. Ayato menanggapinya dengan hembusan napas. "Mana kutahu, aku saja nggak tahu rasanya suka pada seseorang," dengusnya kemudian.
Pembahasan mereka harus terhenti bersamaan dengan bel tanda dimulainya pelajaran. Begitulah, Ayato hanya seorang siswa kelas 2 SMA yang entah kenapa belum tertarik dengan hal-hal berbau romantis. Bukan karena apa, menurutnya memang belum ada gadis yang mampu menarik hatinya. Sebenarnya Ayato tidak begitu awam juga di bidang ini. Dulu saat SMP ada anak perempuan yang menembaknya, yang sebetulnya diterima hanya untuk menghargai anak itu. Tapi dia memutuskannya secara sepihak hanya beberapa hari setelahnya, katanya Ayato terlalu membosankan. Anak perempuan itu bahkan tidak pernah menghubungi Ayato lagi setelahnya.
Pelajaran hari ini selesai juga. Setelah mengemasi barangnya, Ayato segera bergabung dengan Seiji dan Tatsumi untuk pulang bersama. Sebelum itu, dia harus mampir ke minimarket dulu untuk membeli bahan makan malam.
Mereka berpisah di persimpangan jalan. Minimarket yang ingin dituju Ayato berada tepat di seberang jalan ini. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada kedua temannya, dia hanya tinggal menyebrang saat lampunya sudah hijau.
Namun, entah darimana datangnya, perasaan dingin yang aneh tiba-tiba menyergap Ayato saat dia menyebrang.
"AYATO!!"
Ayato baru menyadarinya dari teriakan teman-temannya, juga dari suara klakson yang begitu memekakkan telinga. Entah karena rem-nya blong atau supirnya sedang mabuk, sebuah truk tengah melaju kencang ke arahnya.
Ah, gawat. Sudah terlambat untuk lari dan menyelamatkan diri. Sepertinya kata "Selamat tinggal" yang tadi diucapkan Ayato pada kedua temannya, benar-benar bermakna selamat tinggal.
***
Saat kesadarannya pulih, hal pertama yang muncul dalam pikiran Ayato adalah, aku sudah mati.
Dia masih ingat suara klakson dari truk yang kehilangan kendali, juga saat tubuhnya terlempar setelah tertabrak benda sialan itu. Dan sekarang, Ayato yang tidak bisa merasakan apapun, yakin sekali bahwa dia seharusnya sudah mati.
Namun, sistem kordinasinya perlahan mulai pulih, dia bahkan bisa merasakan tangan dan kakinya, sepertinya masih utuh. Lalu Ayato sadar bahwa dia tengah berbaring di tempat yang terasa dingin dan keras, mungkin pada semacam lantai batu atau tanah.
"Selamat datang di Kerajaan Iberia, wahai Pahlawan Empat Mata Angin!"
-------
Published on: 10/03/2021
1202 words
-Eri W. 🍁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro