Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Prolog

"Awalnya, saya tidak berniat atau bercita-cita menjadi seorang penulis. Hanya saja, pada tahun 2013, karena kegalauan, saya jadi sering menuliskannya di blog saya. Ketika itu, tidak sedikit pun saya berpikir atau berniat kalau kisah yang saya tulis akan menginspirasi banyak orang."

Begitulah tutur penulis bernama Naraya Naladhipa yang novelnya telah berhasil menginspirasi banyak pembacanya. Tulisan yang tak sengaja ia tulis di blog lalu ia kumpulkan menjadi sebuah kisah, kemudian dibukukan karena berniat ingin memiliki karyanya secara fisik, ternyata mendapat sambutan hangat dan membuat bukunya banyak dipesan. Bukan hanya penggemarnya di Indonesia, tapi sampai juga kepada beberapa penggemarnya di negara lain. Seperti di Inggris, Malaysia, Prancis dan lainnya.

Jam di tangan sudah menunjukan angka dua belas nol-nol. Itu artinya sudah empat jam acara diskusi dan bedah buku ini berlangsung. Nara yang diundang sebagai pembicara pun akhirnya menyudahi setelah ia berhasil menjawab semua pertanyaan yang terkumpul dari panitia. Jawaban terakhir dari Nara pun mengakhiri sesi tanya jawab dari para siswa dan siswi salah satu sekolah di Purbalingga.

Acara memang berakhir, tapi tidak dengan keriuhan dari para penggemarnya yang mayoritas adalah para remaja yang masih duduk di bangku SMA.

"Makasiiih, Kak." Teriakan dari puluhan adik-adik pelajar itu masih Nara dengar dari kejauhan. Nara pun tersenyum seraya melambaikan tangan ke arah mereka.

"Kak, boleh minta fotonya, Kak?"

"Foto ya, Kak...."

Seperti itulah riuhnya mereka pada saat Nara baru saja turun dari podium bersama beberapa orang dari staf sekolah dan penerbitan yang menerbitkan bukunya.

Nara tentu saja tidak bisa menolak keinginan adik-adik pelajar itu. Sebab, bagaimana pun ia tahu, apalah arti dirinya tanpa mereka. Nara pun akhirnya membiarkan jepretan kamera ponsel mengarah kepadanya, sambil berpose memasang senyum manis bersama mereka. Beruntung, panitia penyelenggara menyudahi kerumunan para remaja berseragam putih abu itu menjauh dan membawa Nara menuju sebuah ruangan, di mana ia bisa segera beristirahat.

"Ke mana lagi kita, Mas?" tanya Nara pada lelaki berambut gondrong yang berjalan sejajar dengannya.

Fadillah Iskandar, seorang editor berwajah tampan berdarah melayu sudah menjadi pusat perhatian sejak pertama kali lelaki itu datang dan berjalan mendampinginya.

"Kita pamitan dulu. Nunggu Pak Dewandaru," tutur Fady.

Gadis 24 tahun itu pun hanya mengangguk mengiyakan apa yang dikatakan Faddy selaku editornya. Belum sempat Nara menimpali perkataan lelaki bermata sipit dan berhidung bangir di sampingnya.

Suasana koridor sekolah di lantai satu masih ramai oleh lalu lalang para staf pengajar yang sesekali mengangguk hormat dan melempar senyum ke arahnya. Walau ada sebagian staf wanita harus melabuhkan tatapan terpana pada seseorang yang berjalan di sampingnya.

Tak lama, Faddy sempat berhenti karena seseorang berbicara kepadanya agar segera naik ke lantai dua. Faddy pun mengangguk dan langsung mengajak Naraya ke ruangan di mana ia di tunggu. Hanya menaiki beberapa anak tangga, Naraya dan Faddy sudah Tiba di depan pintu ruangan tersebut. Belum sempat mereka mengetuk pintu, Naraya mendengar ketukan sepatu yang beradu dengan lantai, dari langkah kaki seseorang yang berjarak tidak jauh dari lawan arah kedatangannya.

"Assalamualaikum, Naraya Naladhipa."

Sapaan itu spontan membuat Nara dan Fady berhenti melangkah dan mereka pun berbalik arah dan melihat ke arah sumber suara. Sontak Nara tak mampu menyembunyikan keterkejutannya saat melihat pria berkemeja biru muda itu tersenyum seraya berjalan menghampirinya.

"Hai, apa kabar? Kenapa? Kaget ya sampai gak jawab salamku?" pria itu berdiri tepat satu meter di depannya sambil mengulurkan tangan.

Sekilas Nara dan Fady saling tatap, lalu beralih pandang pada pria di depannya lagi. Melihat uluran tangan lelaki di depannya itu, kini Nara pun tersenyum lalu segera mengatupkan tangan di depan dada.

"Wa'alaikumussalam." maaf, bukan mahram! Lanjut bathin Nara yang sebenarnya ingin ia ucapkan seperti dulu ketika pertama kali Nara mengenalnya, delapan tahun lalu.

















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro