Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 2


Menjadi Editor di sebuah penerbitan memang tidak selalu menyenangkan. Jika banyak orang berpikir menjadi editor atau asisten editor itu hanya bekerja mengedit naskah, itu salah. Sebab, sekarang terasa sendiri sebagai editor masa kini, tentu saja Fady harus bisa mengusai Adobe indesign untuk mengoreksi dan melayout sebuah naskah. Tapi beruntung, sekarang ia sudah memiliki teman sekaligus asisten yang bisa membantu mengurus pekerjaannya. Seorang gadis muda yang Fady kenal satu tahun lalu.

Fady menoleh pada Naraya yang masih terpaku pada laptopnya sambil duduk di balik meja. Kejelian, kecermatan seorang Naraya itulah yang membuat seorang Fady suka dengan kinerjanya selama bekerja menjadi asistennya. Terlebih lagi usianya yang terpaut jauh dibawahnya. Membuat gadis itu tidak banyak protes saat ia meminta untuk mengurus sebagian dari pekerjaannya. Tetapi tidak dengan tadi pagi. Dengan gamblangnya Nara justru menolak sebuah naskah yang disodorkannya. 

Sebetulnya, Fady tidak bermaksud memberikannya pada Naraya. Tapi berhubung Dimas yang biasa mengedit genre tersebut sedang cuti bulan madu, maka Fady berikan naskah tersebut pada gadis itu. Alasannya karena memang hanya Naraya lah yang sedang menangani naskah jauh lebih sedikit dibanding yang lain untuk saat ini. Tapi di luar dugaan, Naraya justru memakinya.

Cuaca siang ini masih sama seperti empat hari sebelumnya. Hujan masih saja bermanja ria membasahi tanah  Jawa Barat,  tepatnya di Kota Kembang. Di dalam ruangan yang luasnya hanya sekitar delapan meter persegi, dengan meja dan kursi yang dibatasi oleh beberapa kubikel itu di isi sekitar enam orang tim dan salah satunya adalah Naraya. Dilihatnya gadis itu masih saja berkutat dengan laptop. Sesekali jemari lentiknya bergerak membetulkan kacamata anti radiasi yang bertengher di hidungnya sambil tetap fokus pada barisan aksara di depannya tanpa sedikit pun beralih tatap untuk sekadar meliriknya.  Fady pun beranjak dari kursi. Berjalan keluar meninggalkan ruangan. 

Nara sempat menoleh dan mengamati lelaki itu meninggalkan tempat duduknya lalu tak lama ia pun kembali fokus pada pekerjaannya yang memang tinggal beberapa halaman lagi untuk bisa ia selesaikan. Nara malas jika harus lembur lagi seperti bulan lalu hanya gara-gara naskah yang dikerjakan terlalu mepet dengan jadwal Deadline.

Jam sudah menunjukan pukul setengah lima sore. Itu artinya sudah hampir tiga jam Nara tidak beranjak dari tempat duduknya. Dilihatnya pemandangan di luar jendela dari lantai dua kantornya. Hujan masih deras mengguyur kota Bandung sore ini. Sudah biasa sebenarnya. Menjelang Natal dan Tahun Baru, cuaca memang selalu saja dihiasi rintik-rintik air langit. Tiba-tiba ia mendengar perutnya berbunyi. Ah, Nara ingat kalau ia belum sempat makan siang. Pantas saja jika kepalanya sedikit pusing dengan rasa perih di ulu hati. Baru saja ia berniat untuk berdiri dari tempat duduknya. Tetapi Fady sudah lebih dulu meletakan sebuah bungkusan pelastik warna putih.

"Nih, makan." Fady meletakan satu kotak makanan yang dipesannya melalui grab food dan dijemputnya di lantai bawah. Ia tahu Nara belum sempat makan karena sejak perdebatannya tadi pagi, Fady tak melihatnya sedikit pun beranjak untuk makan siang. 

"Buat gue?" Nara tak yakin. 

"Emang buat siapa lagi? Kan, gue nyodorinnya ke lo. Bukan ke yang lain. Gue tahu, Lo belum makan. Soalnya lo kan, kebiasaan suka nunda makan. Gue takut lo sakit. Entar gue juga yang repot, kerjaan gue jadi numpuk. " gerutu lelaki yang berdiri dengan kedua tangan berada di saku celana kanan dan kirinya.

Nara nyengir, "Dih, gak enak banget ujungnya omongan lo. Tapi Makasih, lho. Kebetulan ... gue belum makan siang. Maklum, anak kos mah makan siangnya dirapel jadi makan malam. Ngirit," tuturnya seraya menarik kotak makan itu menjadi lebih dekat ke arahnya dengan sebuah cengiran terukir di bibirnya. 

"Ngirit sih ngirit, tapi kagak usah nyiksa diri Lo juga kali, Ra."

Aroma spaghetti sudah menguar lebih dulu saat Nara membuka bungkus makanan itu. "Iyaaa. Bawel amat, sih!" gerutunya.

Fady diam sejenak selagi Nara membuka kemasan lalu menuangkan saus ke atas makanan tersebut. Menyiapkan garpu dan sendok pelastik yang terdapat dalam kemasan, menggulung spaghetti yang kemudian siap ia masukan ke dalam mulutnya. 

"Oh iya, Ra." lelaki itu mulai berbicara lagi, Nara terdiam sejenak menunggu apa yang hendak dikatakan seniornya itu. "Itu, cerita yang karyanya Mbak Indra Wahyutri, cepetan lo beresin ya. Semalam si Bos minta ke gue kalau lusa itu naskah harus udah selesai."

Baru saja Nara girang dengan sekotak makan siang yang lelaki itu berikan. Seketika itu juga nafsu makannya menjadi hilang total. Diletakkan garpu penuh gulungan spaghetti itu di tempatnya.

"Hah? DL-nya lusa?" Fady mengangguk enteng. "Gila! Jadi ini cuma bentuk dari cara lo supaya gue mau buru-buru beresin tu naskah?" Nara mendorong kotak makan itu jauh dari depannya sebagai ekspresi ngambek. "Mending nggak usah lo beliin gue makan dah kalau gitu," sewotnya seraya menghempaskan punggung pada sandaran kursi dengan tangan ia lipat di depan dada.

"Aww!" Fady menyentil kening gadis berambut sebahu yang duduk di kursi tepat di depannya. "Kebiaan banget sih, Lo. Suudhon melulu. Lagian, kagak ada hubungannya tuh makanan sama kerjaan lo. Gue cuma nggak mau Lo sakit, Oneng!"

Nara nyengir. "Ya kenapa lo baru ngabarin gue?"

"Gue baru ditelepon sama Pak Imam nya semalaaaam, Nona."

"Bukannya harusnya seminggu lagi?"

"Kalau diliat dari note gue sih emang harusnya kamis depan. Cuma katanya sih ada  apaaa gitu. Pak Imam belum cerita ke gue."

"Jadi gue mesti lembur lagi?" tanya Nara kemudian.

"Ya, mau gak mau."

"It's oke. ada tips tambahan nggak nih, buat beli kopi?"

"Bereeees.  Kerja aja dulu," tegas Fady. 
Nara bergeming. Fady berdecak, "Malah ngelamun. Cepetan dimakan. Biar kagak mubadzir tuh, duit gue beliin makan buat lo." Fady mendorong kotak makanan itu pada Nara.

Nara mengerjap. " Itung-itungan banget, sih! Udah, deh, mending nggak jadi makan lah," gerutunya.

"Kenapa? Nggak suka?"

"Nggak! Lo nya juga kayak kagak ikhlas gitu." Nara menjawab ketus. Ia masih juga belum mau menyentuh kotak makanan di depannya.

"Apa perlu gue suapin?!" Fady menarik kotak makanan itu. Nara gelagapan. 

"Dih, ogah! Kagak usah. Sini, gue bisa sendiri." dengan cepat Nara menarik dan membuka kotak itu dan melahapnya.

Setelah memastikan gadis tersebut makan, Fady beranjak dan berjalan menjauh dari tempatnya menuju pintu keluar. Sebelum Fady benar-benar menghilang, Nara sempat tersenyum kecil saat memandang punggung lebar yang berjalan menjauh.

"Fad!" panggilnya dan Fady menoleh ke arahnya. 

"Thanks, ya." Nara mengangkat kotak makanan yang diberi Fady. Dan lelaki itu pun mengacungkan ibu jarinya seraya berlalu dan hilang di balik pintu.

Nara pun memilih melanjutkan ritual makannya. Fady memang selalu perhatian. Meski ada saja yang membuat mereka berdebat, tetapi jujur, Nara bersyukur mengenal Fady. Sosoknya selalu bisa membuat dia merasa terlindungi. Satu tahun menjadi rekan kerja lelaki gondrong itu telah membuat Nara cukup dekat. Meski mereka terpaut usia cukup jauh, tetapi Fady yang masih memilih untuk tetap menjomblo itu, kukuh memintanya untuk tidak memanggilnya mas atau abang.

Nara tersenyum jika ingat kejadian satu tahun lalu saat perkenalannya dengan Fady yang menurut Nara cukup membuatnya senewen. Dulu, ia mengira Fady adalah orang yang dingin dan kaku. Tetapi ternyata dugaanya tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah.

Jam sudah menunjukan pukul 19.30 WIB. Nara menatap ke arah luar jendela. Pemandangan di luar sudah gelap. Hanya terlihat lampu-lampu kota dan gedung-gedung perkantoran juga lampu kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Hujan masih belum juga reda.  Bingung juga kalau sudah begini. Hujan bukan sembarang hujan. Biar bagaimana pun hujan selalu membuat jalanan jadi lebih rawan sebab licin. Apalagi sekelas Nara yang hanya menggunakan sepeda motor  matic kesayangannya yang beresiko bakalan basah kuyup sekaligus membuat alergi dinginnya kambuh.

Tak lama, suara pintu terbuka sekaligus tertutup lagi pun mulai terdengar dan membuatnya reflek menoleh pada sumber suara itu berasal.

"Di luar masih hujan, Ra. Lo balik bareng gue aja. Motor lo simpen di sini biar dititipin ke Pak Mamat aja. Lagian nih hujan bakalan sampe pagi.  Fady berkata seraya mengemasi beberapa perangkat kerja, mematikan laptop dan tidak lupa membawa beberapa berkas naskah yang bisa diedit secara manual lalu dimasukannya kedalam ransel miliknya. 

"Rumah lo sama kos-kosan gue kan, beda arah, Fad," ujar Nara.

"Sekalian, Ra. Gue mau ke rumah Pak Imam. Ada yang mau beliau bicarain, katanya." Fady beralasan meski harus berbohong. 

"Beneran?"

"Iya," jawabnya tanpa melihat gadis itu.

"Bukan akal-akalan lo doang kan, biar gue mau ikut pulang bareng lo?"

Fady sempat melirik sambil berdecak. "Keb-."

"Biasaan!" kekeh Nara melanjutkan kalimat Fady yang sengaja ia potong. "Becandaaa. Gue tahu lo pasti bakal ngomong gitu. Iya udah, ayo!" ajaknya. "Kebetulan gue juga ogah kalau suruh tidur di kantor sendirian." Nara cekikikan sambil meraih tas selempang yang biasa dibawanya dan dengan cekatan tanpa memberi waktu untuk Fady melanjutkan kalimatnya.

Dengan semangat, Fady pun berjalan beriringan dengan Nara yang menarik ujung  kemejanya yang sengaja tidak ia kancingkan karena hanya menjadi outer untuk melapisi kaos putih yang membalut tubuhnya.

"Soal naskahnya, Vivi. Gimana?"

Pertanyaan Fady seketika melepaskan pegangan Nara dari kemejanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro